Oleh: Dian Widiyanarko, Penulis dan Jurnalis
Pemerintah kolonial Belanda tidak akan pernah lupa nama itu. Bangsawan keraton yang memilih hidup dan berjuang bersama rakyat itu, telah begitu merepotkan mereka.
Dia telah mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Perang lima tahun itu adalah masa di mana untuk pertama kalinya sebuah pemerintahan kolonial Eropa menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa. Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang pantai utaranya, terkena dampak.
Meski akhirnya Belanda menang. Namun itu adalah sebuah kemenangan yang pahit. Karena 7000 serdadu pribumi pemerintah kolonial dan 8000 tentara pemerintah kolonial tewas. Belanda juga dibuat bangkrut karena biaya perang sangat amat mahal, sekitar 25 juta gulden atau setara USD 2,2 miliar saat ini.
Ini adalah pemberontakan pertama sepanjang sejarah Jawa modern yang pecah dengan akar persolan yang terletak pada masalah penderitaan sosial dan ekonomi, bukan pada ambisi dinasti para elit istana. Tidak seperti doktri aktivis kiri yang mencoba mereduksi perlawanan Diponegoro, yang dikatakan hanya karena tersinggung makam leluhurnya dilewati proyek jalan Belanda. Doktrin keliru ini diajarkan di pelatihan-pelatihan gerakan mahasiswa. Mungkin karena Diponegoro dianggap mereka sebagai representasi kaum feodal.
Tapi tidaklah demikian. Diponegoro juga melawan kaum feodal. Dia justru berhasil menyatukan banyak elemen sosial berbeda. Dia dengan cepat bisa menyatukan para bangsawan dan pejabat tinggi yang dipecat, menyatukan guru agama dan para bandit dalam barisan yang sama. Ada juga kuli angkut, buruh harian, para petani, hingga kaum tukang, dalam satu gerakan dan perjuangan.
Pemimpin kharismatik bersurban putih ini menghimpun mereka semua di bawah panji-panji Islam Jawa. Para pengikutnya meyakini bahwa dialah sosok Ratu Adil yang akan hadir membebaskan rakyat dari penindasan. Seperti Musa yang membebaskan Bani Israel dari penindasan Mesir.
Maka mereka pun berjuang total menghadapi perang yang disebut sebagai perang sabil (perang suci). Chairil Anwar menggambarkan semangat itu dalam puisi
"Diponegoro"nya:
"Ini barisan tak bergenderang-berpalu Kepercayaan tanda menyerbu. Sekali berarti Sudah itu mati. MAJU"
Buku “Kuasa Ramalan” karya Peter Carey ini adalah referensi terbaik soal Sang Pengeran. Hasil penelitian selama 30 tahun dengan sumber Jawa/Indonesia, Belanda, juga Inggris. Saking lengkapnya sumbernya, jilid tiga isinya cuma catatan dan rujukan.
Saya rekomendasikam untuk dibaca.
Semoga semakin banyak yang memahami siapa Diponegoro dan bagaimana perjuangannya. Agar namanya tak hanya diingat sebagai nama jalan saja.