Ada kekeliruan yang sistematis di zaman ini yang terus diikuti banyak pihak. Kekeliruan ini salah satunya memaksa orang biasa menempuh cara-cara instan untuk menang dalam sebuah perlombaan. Apa pun namanya, mau idol, pencarian bakat dan sebagainya. Bukan siapa pemenangnya yang kita bicarakan, tetapi pada mentalitas prosesnya yang serba instan. Memaksa harus ada juara di sebuah lomba tentu saja akan mengabaikan kualitas yang ada.
Dan event model idol-idol ini ternyata menerpa dunia zakat. Model perlombaan jadi yang terbaik di bidang apa saja sebenarnya silakan saja. Namun menjadi tidak fair ketika dengan partisipan seadanya dipaksa harus ada pemenang di dalamnya. Bukan hanya akan menurunkan derajat dan kualitas lomba itu, namun juga hasilnya pasti akan kurang dianggap bergengsi. Lha wong kenyataannya biasa saja kok bisa menang, begitu yang "dirasani" komunitas yang ada.
Idealnya lembaga zakat fokus saja pada solusi, jangan tergoda untuk malah mengedepankan prestasi. Apalagi kemudian memasang hasil lomba yang dimenangkannya dalam sejumlah publikasi lembaganya. Apa salah? Jelas tidak, tetapi yang kita khawatirkan justru cara-cara edukasi seperti ini bisa menggeser fokus lembaga.
Lembaga-lembaga yang belum lama masuk gelanggang dunia zakat bisa salah fokus, mereka karena prosesnya belum panjang, bisa tergoda mengejar prestasi layaknya peserta lomba. Ini sangat mungkin terjadi, karena proses internalisasi lembaga di dalam gerakan zakat tak instan prosesnya. Memahami, kemudian mengerti dan memiliki kesadaran gerakan jelas tak secepat mengurus legalitas sebuah lembaga.
Mulai dari mana Membangun Ekosistem Zakat?
Dalam istilah lingkungan hidup, ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Dalam konteks dunia zakat, ekosistem zakat ini bisa dikatakan merupakan suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan yang ada di dunia zakat yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Ekosistem zakat merupakan penggabungan dari setiap unsur dunia zakat yang melibatkan interaksi timbal balik antara Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) dan lingkungan gerakan zakat sehingga aliran energi kebaikan zakat menuju kepada suatu perbaikan umat dan bangsa. Dalam ekosistem zakat ini, OPZ yang tergabung dalam sejumlah komunitas yang ada semoga bisa tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan lingkungan gerakan zakat yang baik sebagai sebuah sistem global gerakan kebaikan. OPZ -OPZ sendiri pada dasarnya harus terus tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan gerakan zakat, baik di level nasional, regional maupun internasional.
Harus diakui, OPZ sebagai organisme aktif ekosistem sangat berperan mempengaruhi lingkungan gerakan zakat. OPZ secara bersama-sama sesungguhnya dapat mengubah lingkungan zakat dan menghasilkan suatu sistem kebaikan yang sangat bermanfaat untuk umat dan bangsa. Dan demi mengembangkan ekosistem zakat ini, idealnya ada 4 tahapan yang harus dilakukan, yaitu: edukasi, standarisasi, kompetisi dan evaluasi.
Pertama, edukasi. Peran ini bukan hanya tanggungjawab pemerintah, atau dalam hal ini Kementrian Agama Republik Indonesia semata. Peran edukasi ini bisa dilakukan oleh berbagai pihak, baik komunitas, lembaga pelatihan zakat apatah lagi pemerintah. Edukasi ini menempati urutan pertama soal membangun dan memperbaiki terus ekosistem zakat. Sejumlah pihak, harus bersedia menjadi bagian penting dan serius untuk mengembangkan ekosistem zakat ini.
Untuk terus mengembangkan ekosistem zakat ini, setidaknya para pihak penanggungjawab zakat harus sudah mulai mengembangkan secara serius kluster edukasi dunia zakat. Kluster-kluster ini dibentuk minimal dalam tiga garis besar: kluster penghimpunan, kluster pendayagunaan, dan kluster support sistem (SDM, keuangan, IT dan operasional). Kluster yang dibangun ini selain akan menghimpun para ekpertis di bidang masing-masing, juga bertanggungjawab merintis, mengembangkan, dan mengevaluasi sejumlah project rintisan program-program dan pengembangannya sekaligus.
Demi mengembangkan edukasi ekosistem zakat yang lebih baik, perlu juga segera dilakukan digitalisasi dalam proses edukasi ini. Ini selain sudah tuntutan jaman yang tak bisa dihindari, juga memudahkan prosesnya sehingga bisa lebih cepat, massal dan murah. Selain diperlukan dukungan para ahli di bidang-bidang pengelolaan zakat juga diperlukan dukungan teknogi yang memadai dan terus terkoneksi dengan perkembangan situasi terkini.
Kedua, standardisasi. Istilah standardisasi sendiri berasal dari kata standar yang berarti satuan ukuran yang dipergunakan sebagai dasar pembanding kuantita, kualita, nilai, hasil karya yang ada. Dalam konteks lembaga zakat, maka standar meliputi aspek pengetahuan, keterampilan serta kemampuan layanan amil zakat. Semua standar ketika telah jadi, lalu dibakukan, maka sedapat mungkin harus bisa diikuti supaya OPZ yang ada memiliki kemampuan dan layanan yang sama. Bila ini telah terbangun, maka masyarakat akan merasa bangga bahwa OPZ apa saja, dan di mana saja kemampuan dan standar layanannya telah sama dan tak ada ketimpangan.
Mendesain sebuah standar selain bisa berangkat dari kebiasaan-kebiasaan atau perilaku keseharian OPZ yang dipolakan dan dibuat titik temunya dari semua lembaga yang ada, juga bisa dimulai dari ekspektasi yang ingin dibangun gerakan zakat di masa yang akan datang. Dengan begitu, diperlukan kerja sama pihak-pihak yang berkepentingan dalam gerakan zakat di negeri ini.
Misalnya untuk membuat standar layanan mustahik, para pihak pembuat standar yang ditunjuk harus menyusun proses ini berbasis layanan eksisting sekaligus harapan di masa depannya seperti apa. Begitu draftnya jadi, bahan ini harus masuk tahap pengujian publik internal gerakan zakat untuk mendapat kesepakatan dan persetujuan untuk diteruskan prosesnya.
Mengapa harus diuji di tengah publik gerakan zakat? Hal ini agar industri zakat dan ekosistemnya nyambung. Semua yang kemudian distandarkan dapat digunakan di semua OPZ yang ada di negeri ini.
Standarisasi OPZ juga merupakan penentuan ukuran yang harus diikuti dalam memberikan pelatihan, layanan maupun pengembangan lembaga masing-masing. Bila hal ini telah berjalan baik, maka berapapun jumlah OPZ dan di mana pun serta di level manapun lembaga berada, maka orang-orang akan nyaman dan merasa ada jaminan kualitas yang sana terhadap semua lembaga yang ada.
Ketiga, Kompetisi. Kompetisi sejatinya adalah fitrah pada diri manusia. Begitu pula bagi lembaga-lembaga yang dibentuk manusia, termasuk lembaga zakat ini. Kompetisi bila berlangsung adil akan bagus untuk lahirnya lembaga zakat yang berkualitas. Namun prosesnya tetap dalam kerangka edukasi dan berangkat dari spirit kerja sama dan saling menguntungkan bagi perbaikan ekosistem zakat negeri ini.
Proses kompetisi ini tetap harus berada bagian penting dalam mencapai output bersama ekosistem gerakan zakat. Kompetisi harus berlangsung dengan sistematis, adil dan tetap berada dalam kerangka peningkatan perbaikan ekosistem zakat. Kompetisi yang tak dibingkai spirit yang baik justru akan menjerumuskan ekosistem gerakan zakat hanya menghasilkan semangat menang dan kalah.
Kompetisi yang dibutuhkan ekosistem gerakan zakat adalah sebuah kompetisi dalam balutan kerja sama yang baik agar kompetisi menghasilkan manfaat besar bagi pembangunan sosial kemanusiaan. Tanpa muncul dan berkembangnya semangat kerjasama, kompetisi hanya melahirkan pemenang, bukan esensi kebaikan bagi gerakan zakat.
Memenangkan kompetisi tanpa esensi di dunia zakat, hanya akan menghasilkan kebanggaan organisasi, tetapi tak akan banyak memberi arti dan manfaat bagi ekosistem gerakan zakat. Kompetisi dengan bingkai spirit kerja sama akan lebih berguna bagi masa depan gerakan zakat.
Keempat, Evaluasi. Evaluasi ini penting, baik bagi OPZ, maupun seluruh bagian ekosistem zakat yang ada. Bagi para penanggungjawab gerakan zakat, evaluasi ini sifatnya mandatori. Harus dilakukan apapun yang terjadi. Kata Sherina dalam filmnya, ia mengatakan: "lihat segalanya lebih dekat, dan kau akan mengerti". Jadi evaluasi ini tak lain adalah bagian dari proses melihat lebih dekat lagi dan menemukan kelebihan dan kekurangan yang ada.
Evaluasi ini layaknya cerita tentang seorang nelayan yang diminta untuk mengecat sebuah perahu. Saat mengecat, ia menemukan sebuah lubang kecil di lambung perahu lalu ditambalnya diam-diam. Ia sadar pekerjaaan dia memang hanya mengecat, namun membiarkan lobang tetap menganga dalam sebuah lambung perahu pastilah akan berbahaya bagi yang menumpanginya.
Dengan kesadaran ini, ia berijtihad tak hanya membuat indah seluruh permukaan perahu dengan cat warna-warni yang ia goreskan. Apa jadinya bila ia hanya fokus mengecat dan mengabaikan yang bocor. Tentu perahu seindah apa pun, bila ada kebocoran di dalamnya cukup berbahaya.
Itulah makna sederhana evaluasi, memastikan kekurangan dan mengantisipasinya agar terus selamat mencapai tujuan yang akan dicapai. Evaluasi yang baik di gerakan zakat, pada dasarnya harus mengantarkan OPZ mampu eksis dan berperan terus dalam membantu dan menolong orang lain. Evaluasi yang dilakukan menyangkut amal-amal atau aktivitas gerakan zakat yang sudah dilakukan selama ini. Seluruh kebaikan dan aktivitas OPZ harus memberikan manfaat besar untuk umat dan bangsa.
Evaluasi bagi OPZ dan amil di dalamnya penting, terutama untuk proses pembelajaran dan perbaikan gerakan zakat. Hal ini juga adalah proses pengukuran dan penilaian terhadap standar yang digunakan bersama selama ini. Dengan proses evaluasi yang transparan dan adil, pihak penanggungjawab gerakan zakat bisa secara terbuka mengumumkan hasil evaluasinya ini. Moment ini pada dasarnya bisa disatukan dengan moment kompetisi antar OPZ.
Evaluasi gerakan zakat sangatlah penting dilakukan untuk mengetahui efektif atau tidaknya standar yang sudah dibuat. Selain itu, ia juga akan menjadi parameter perkembangan gerakan zakat dari waktu ke waktu. Dengan evaluasi yang dilakukan secara rutin, standar yang ada bisa diukur dilapangan, termasuk proses rancangan barunya akan segera disiapkan begitu ada bagian yang tidak lagi sesuai dengan situasi dan kondisi gerakan zakat.