Saat suatu kali berkunjung ke luar daerah, contohnya saat saya ke Palu, pertanyaan pertama ketika bertemu dengan warga di sana adalah, “bapak berasal dari mana?” Saya jawab daerah asal saya. Oh daerah sana, kata lawan bicara saya, sambil menyebutkan daerah domisili saya.
Hal yang sama juga saya alami jika berada di daerah lain. Obrolan berikutnya adalah bersejarah, bercerita tentang daerah masing-masing. Walhasil saya selalu merasa bagaikan orang asing ketika berada di wilayah lain di luar domisili saya, paling tidak warga setempat menganggap saya bukan bagian mereka, hal yang saya juga rasakan tentang mereka.
Kondisi yang hampir sama pernah juga dialami ketika masuk ke Ambon, Kupang, Aceh, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Kondisi seolah-olah kita adalah orang asing, bukan bagian dari masyarakat setempat, sangat kentara dirasakan. Jika saya jawab bahwa “saya adalah orang Indonesia”, respon dari lawan bicara seperti menganggap saya bergurau.
Apa yang saya alami di atas, mungkin juga hampir sama dengan dirasakan oleh orang lain yang berkunjung ke suatu daerah baru, walaupun itu masih Indonesia. Sepintas tampak sederhana dan wajar karena kita baru menginjak sebuah daerah, tetapi dalam makna lain muncul pikiran, mengapa kita selalu dianggap orang asing?
Sampai sekarang kiranya masalah kebangsaaan, kesatuan dalam satu bangsa belum tuntas terselesaikan. Para pendahulu dan pendiri negara ini sudah sejak jauh-jauh hari memikirkan soal keragaman dan keunikan etnis di Indonesia. Sabang-Merauke bukanlah wilayah yang kecil, karena itu gagasan tentang Nusantara, wawasan kebangsaan menjadi prioritas sekaligus pelik.
Beberapa orde yang dilewati, terutama masa setelah kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga ke Orde Reformasi, usaha merekat kebangsaan dan kenusantaraan ini terus dilakukan. Semua sisi dicoba, baik kebijakan pembangunan, perangkat hukum, metode pendidikan, sosial, budaya, bahkan secara politik. Mengandalkan kekuatan kendali negara juga pernah dilakukan. Tetapi ikatan itu tetap lemah, ke atas dia mengikat, tapi ke bawah sangat rapuh.
Fatamorgana kebangsaan mungkin analogi yang tepat. Rasa kebangsaan itu tidak juga mengakar, cenderung mengabur bertahun-tahun kemudian.
Di era yang katanya milenial, generasi Y kata para analis, kelemahan pada pondasi berbangsa menjadi semakin menemukan momentumnya. Dulu kita mungkin masih berharap, generasi 80-an bisa mengenal siapa pahlawan nasionalnya, tahu dengan film Janur Kuning, paham dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke, Rayuan Pulau Kelapa, generasi yang masih paham dengan para pendiri negara ini. Tapi sekarang, generasi kita adalah generasi yang besar di zaman gadget, lekat dengan K-Pop, tak terlalu paham dengan berdarah-darahnya pendirian negara ini.
Ini tentu saja bukan lagi sebatas soal ekonomi ataupun politik. Lebih tepatnya ini adalah masalah kebudayaan. Ini berkaitan dengan filosofis apa yang kita pahami mengenai negara dan bangsa ini. Apa yang menyatukan atau melekatkan sesama kita, disitulah pertanyaan harusnya memperoleh jawaban. Mutia Swasono (2006) pernah berkata bahwa sikap ekslusifisme semakin jor-joran saja di era reformasi.
Sebagian elite malah terjerumus pada distorsi nilai-nilai budaya nasional yang sebenarnya secara tulus disiapkan oleh pendiri bangsa. Koentjaraningrat sendiri pernah pula berkata bahwa masalah terbesar bangsa ini adalah integrasi nasional.
Integrasi nasional, penguatan identitas, jati diri, sebenarnya kembali pada satu kata Nasionalisme. Menarik kemudian mengutip pendapat Mutia Swasono bahwa nasionalisme adalah soal perasaan, soal komitmen dan soal keberkahan. Bila hal-hal ini tidak kita kenal, maka tentu bagi kita nasionalisme memang tidak ada. Apakah nasionalisme merupakan hal yang masuk akal atau tidak dari segi sejarah kelahirannya, hal itu tidaklah menjadi masalah.