Senin 01 Jul 2019 15:55 WIB

Masa Depan Pembangunan Kelistrikan Kita

Sektor kelistrikan merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat.

Chief Economist Sunarsip memberikan paparan saat media gathering dan buka bersama di Jakarta, Kamis (23/6). (Republika/ Tahta Aidilla)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Chief Economist Sunarsip memberikan paparan saat media gathering dan buka bersama di Jakarta, Kamis (23/6). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip

Empat tahun terakhir, pembangunan sektor kelistrikan kita terbilang cukup berhasil, meskipun beberapa target belum tercapai. Rasio elektrifikasi nasional hingga akhir 2018 telah mencapai 98,3 persen. Itu artinya, hanya sekitar 1,7 persen dari seluruh wilayah nusantara yang belum teraliri listrik.

Menariknya, realisasi rasio elektrifikasi yang berhasil dicapai PLN selalu di atas target yang ditetapkan pemerintah. Pada 2016, target rasio elektrifikasi sebesar 88 persen, sedangkan realisasinya 91,2 persen. Pada 2017, target rasio elektrifikasi 92,75 persen, realisasinya 95,4 persen. Terakhir, pada 2018, target rasio elektrifikasi 97,5 persen, realisasinya 98,3 persen.

Capaian rasio elektrifikasi secara nasional ini memperlihatkan upaya pembangunan di sektor kelistrikan terus bergerak, meskipun pertumbuhan konsumsi listrik cenderung melambat dalam beberapa tahun terakhir. Biasanya, pertumbuhan konsumsi listrik setidaknya berada di sekitar 1,5 kali pertumbuhan ekonomi nasional.

Itu artinya, bila pertumbuhan ekonomi mencapai sekitar lima persen, pertumbuhan konsumsi listriknya sekitar 7,5 persen. Namun, beberapa tahun terakhir ini terjadi anomali. Pertumbuhan konsumsi listrik melambat, bahkan angka pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Di tengah realisasi elektrifikasi nasional yang terus meningkat (yang berarti konsekuensi terjadinya peningkatan biaya investasi, khususnya investasi transmisi) dan pertumbuhan konsumsi listrik yang melemah (yang berarti pertumbuhan penjualan listrik tidak signifikan), PLN tetap mampu melanjutkan investasi di sektor pembangkitan listrik (power plant). Kemampuan PLN dalam membiayai kegiatan investasinya ini tak lepas dari aksi korporasi PLN yang didukung pemerintah.

Aksi korporasi tersebut, antara lain (i) revaluasi aset yang diikuti dengan (ii) penyertaan modal negara (PMN). Kedua aksi korporasi ini meningkatkan kemampuan finansial PLN sehingga PLN mampu memproleh pendanaan eksternal melalui pinjaman (external fund raising).

Kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, terkait penetapan harga batu bara khusus untuk sektor kelistrikan juga turut membantu kemampuan finansial PLN. Pada Maret 2018, Menteri ESDM menetapkan harga jual batu bara 70 dolar AS per ton khusus untuk kelistrikan.

Kebijakan ini membantu memperbaiki struktur biaya produksi listrik karena sebelumnya harga batu bara yang dibeli PLN sangat tinggi, bahkan sempat mencapai sekitar 100 dolar AS per ton, mengikuti harga pasar.

Tentunya, tidak hanya PLN yang terlibat kegiatan investasi di sektor pembangkitan listrik. Bahkan, investasi PLN di sektor pembangkitan ini termasuk minoritas bila dibandingkan investasi swasta.

Kegiatan investasi di sektor pembangkitan listrik ini terutama untuk mengejar target pembangunan kelistrikan sebesar 35 gigawatt (gw). Dari kegiatan pembangunan sektor kelistrikan 35 gw ini porsi PLN hanya sekitar 8,7 gw (atau sekitar 25 persen dari total 35 gw). Sedangkan, keterlibatan swasta (independent power producer/IPP) mencapai 26,6 gw (sekitar 75 persen).

Meski porsinya yang lebih rendah dibandingkan IPP, kemampuan PLN dalam menjaga finansialnya memiliki peran strategis dalam menumbuhkan kepercayaan swasta berinvestasi di sektor pembangkitan listrik.

Sejauh ini, realisasi pembangunan sektor kelistrikan dalam rangka 35 gw telah memperoleh hasil relatif baik. Kapasitas pembangkit listrik telah mencapai sekitar 63 gw atau meningkat 10 gw dibandingkan empat tahun lalu, yang sebagian merupakan hasil dari program 35 gw. Pada akhir tahun ini diperkirakan beroperasi beberapa pembangkit listrik baru berdaya besar (super critical power plant) di Jawa. Beberapa proyek kelistrikan yang dibangun melalui program fast track (FTP)-1 sejak 2006 kemampuan produksinya juga makin baik.

Tentunya, berbagai kemajuan pembangunan di sektor kelistrikan yang telah diraih ini perlu dilanjutkan. Pemerintah telah mencanangkan bahwa program 35 gw akan selesai pada 2024-2025, menyesuaikan dengan kebutuhan listrik rakyat. Namun, untuk melanjutkan pembangunan di sektor kelistrikan, pemerintah menghadapi tantangan yang tidak mudah. Ini mengingat, lingkungan yang dihadapi sektor kelistrikan kita sudah berbeda. Beberapa tantangan tersebut, antara lain sebagai berikut.

Pertama, ketika memulai kegiatan external fundraising dalam rangka membiayai investasinya, PLN memiliki ruang yang cukup untuk meningkatkan kemampuan berutangnya (leveraging-nya). Strateginya antara lain, sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu melalui kebijakan revaluasi aset dan PMN.

Saat ini, manfaat kebijakan revaluasi aset tersebut telah cukup efektif dimanfaatkan PLN guna memperoleh sumber pendanaan pinjaman eksternal. PLN telah relatif mampu memperoleh pendanaan eksternal dari sumber-sumber pendanaan dengan biaya dana (cost of fund) yang efisien.

Namun, implikasinya, rasio utang PLN meningkat, sekalipun kemampuan membayar utang PLN masih tetap terjaga. Meningkatnya rasio utang PLN menyebabkan ruang leveraging PLN menjadi semakin terbatas. Di sisi lain, ruang dilakukannya kebijakan revaluasi aset yang dapat meningkatkan leveraging PLN diperkirakan makin kecil. Konsekuensinya, untuk menaikkan leveraging PLN, tinggal satu sumbernya, yaitu penambahan modal. Penambahan modal sumbernya dari dua jalur, yaitu (i) peningkatan profitabilitas dan (ii) kebijakan PMN.

Kedua, keberhasilan program pembangunan kelistrikan memang tidak semata dari PLN. Keterlibatan swasta juga sangat menentukan, mengingat porsi swasta dalam investasi di sektor kelistrikan yang sangat besar. Namun, keterlibatan swasta juga kini menghadapi tantangan terutama dari aspek kepastian hukum investasi. PLN telah melakukan sejumlah inovasi pengadaan untuk mempercepat pembangunan sektor kelistrikan. Salah satunya inovasi pengadaan di proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1 yang kini dipermasalahkan.

Proyek PLTU Riau-1 adalah model inovasi pengadaan dari PLN. Dalam pengadaan ini, semua pihak diuntungkan. PLN diuntungkan karena memiliki saham mayoritas (51 persen), tapi hanya dengan menyetorkan dana kas 10 persen. Negara juga diuntungkan karena mendapatkan sumber listrik murah, yaitu hanya 5,6 sen dolar AS/kwh (bandingkan dengan solar cell sekitar 12 sen dolar). Kelemahannya, model pengadaan pada proyek PLTU Riau-1 adalah pemilihan langsung. Karena pemilihan langsung, hasil pengadaannya potensial "diganggu" oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan karena "kalah" dalam pengadaan.

Ketidakpastian hukum ini berpotensi menimbulkan keraguan pihak swasta untuk masuk berinvestasi di sektor kelistrikan. Kondisi ini juga berpotensi menimbulkan kekhawatiran bagi PLN dalam melakukan proses pengadaannya.

Sektor kelistrikan merupakan kebutuhan vital bagi masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan kelistrikan harus tetap jalan. Berbagai tantangan di atas perlu diselesaikan untuk memberikan kepastian bahwa proyek kelistrikan tetap jalan. Pemerintah dan PLN perlu menjaga kemampuan finansialnya agar tetap mampu membiayai kebutuhan investasinya. Sementara itu, pihak terkait lainnya seperti penegak hukum perlu mencarikan solusi bagi terciptanya kepastian hukum investasi di sektor kelistrikan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement