REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nur Efendi, CEO Rumah Zakat
Wanita paruh baya berjilbab merah itu masih sumringah, tak percaya melihat kain yang membentang di hadapannya. Ia terheran-heran, ternyata dirinya bisa membuat sebuah karya seni yang tak hanya indah, tapi juga menghasilkan.
“Saya sendiri kagum dengan hasil ecoprint ini, bahkan saya tidak menyangka saya bisa berpenghasilan dari sana,” kata Risdayanti berseri-seri. Yanti, sapaan karibnya, tak sendirian. Ia bersama kelompok ‘ecoprint’ adalah salah satu penerima manfaat dari ecoprint di Desa Berdaya Rumah Zakat Brontokusuman Yogyakarta.
Sepenggal 2017, komunitas Ecoprint Jogja atau Eco.J tahun 2017 terbentuk setelah Rumah Zakat, bersama-sama warga berkolaborasi dalam program Desa Berdaya, sebuah program memberdayakan desa dengan kekhasannya atau potensi masing-masing.
Ecoprint sendiri dikenal sebagai teknik memberi pola pada bahan atau kain menggunakan bahan alam seperti daun, bunga, dan bahan ramah lingkungan lainnya.
Seorang fasilitator Rumah Zakat pria Jogja yang sudah 11 tahun berkecimpung dalam dunia pemberdayaan, mas Indra, mengatakan kalau pada awalnya dirinya tertarik dan hanya bermodal 20 kain pashmina yang tak disangka laris di pasaran.
Melihat potensi daerah Brontokusuman yang besar dalam bidang batik dan seni, akhirnya ia bersama ‘emak-emak’ desa melakukan banyak hal, mulai dari mendirikan komunitas ecoprint, hingga membuat produk makanan.
“Alhamdulillah dengan adanya kegiatan ecoprint ini saya bisa membantu keuangan keluarga dan meringankan biaya sekolah anak-anak,” tambah Ibu Cinderarin yang kini sehari-hari mengolah dedaunan menjadi karya seni ecoprint.
Selang beberapa bulan hasil karya Bu Cin dan anggota Eco.J lain menjadi sorotan warga lokal Yogyakarta, kota lain, hingga mancanegara. Bahkan, beberapa waktu lalu, karya warga ini sudah mampir hingga Melbourne Australia.
“Kami belum ke sana tapi Eco.J sudah. Yang penting kenal dulu, kalau warga sana ada yang suka kami kan jadi bisa buka pasar juga di sana,” kata mas Indra terkekeh.
Pembaca, di usia Rumah Zakat ke-21, kampung EcoJ ini setidaknya menjadi bagian salah satu dari 1.453 Desa Berdaya di Indonesia. Bisa dibayangkan, apa jadinya ada ribuan orang penggerak desa di negeri ini?
Berapa banyak warga yang terberdayakan? Berapa banyak mustahik yang bisa bangkit dan menjadi muzakki? Berapa banyak perputaran uang dan ekonomi di sana?
Energi Kebaikan
Kisah mas Indra di Yogyakarta yang ‘setia’ menemani ibu-ibu kita ini adalah sefragmen dari kisah-kisah para penggerak ini, yang kami sebut sebagai Relawan Inspirasi. Mereka ini adalah dai dan sekaligus pemberdaya sebenarnya.
Yang berpeluh, sehari-hari menemani para petani, ibu, anak, kaum papa. Yang berjibaku dengan segala keruwetan kisah mereka. Ada yang harus menempuh berkilo, berkalan kaki, melewati hutan, sungai dan bukit.
Ada yang sampai harus meluluhkan ‘preman’, berjuang menghadapi rentenir, hingga menikahi tokoh setempat. Subhanallah!. Jika bukan karena pertolongan Allah, tentu saja hal ini sangat sulit di lakukan.
Melihat mereka dari dekat membuat diri ini semakin terenyuh dengan mereka, para pemberdaya masyarakat. Dengan kesungguhan, mereka melawan segala keterbatasan.
Terkadang, bulir-bulir mata ini menggunduk di sudut mata, ketika berkali-kali kami melihat perjuangan mereka. Dan ribuan kisah ini terjadi di negeri ini, dari Aceh hingga Papua.
Lantas, apa yang membuat mereka terus bersemangat? Tahun lalu, dalam tulisan kami Energi Kebaikan, saya teringat sekali bahwa senyum mustahik adalah satu energi terbesar kita untuk terus bergerak.
Bahwa energi ini tumbuh karena pemberian Allah SWT, yang terus menguatkan kita untuk beraktivitas. Kita pernah menerima beberapa lembaga amil zakat dan NGO baik local maupun global datang ke kantor kita, untuk saling sharing, berbagi dan berkolaborasi.
Rupanya mereka mengamati aktivitas para pejuang zakat. “Ini betul-betul orientasinya akhirat mas,” kata seorang pegiat zakat. Mereka melihat bagaimana menjelang azan, aktivitas sudah disetop, untuk bersiap shalat berjamaah.
Tak sampai disitu, para pejuang zakat ini melanjutkan dengan tilawahnya. Bahkan, orang-orang ini sampai selesai jam kerja masih ‘betah’ dengan aktivitasnya. Wajah wajah teduh nan ikhlas mereka inilah, yang boleh jadi, di usianya ke-21 tahun, membuat Rumah Zakat terus dipercaya dan tumbuh hingga sekarang.
Maka, izinkan kita, membersamai masyarakat, memberdayakan Indonesia hingga Dunia. Tentu saja, dengan para pejuang zakat ini, insya Allah kami optimistis bahwa negeri ini memiliki harapan yang besar.
Tahun lalu, saya sudah menulis bagaimana energi kebaikan ini menyebar. Tiada ungkapan kecuali rasa syukur, bahwa saya masih diberi kesempatan di lembaga ini untuk bersama memberdayakan Indonesia dan Dunia dengan dua keyakinan bahwa saya ingin berbuat sebaik-baiknya dan bermanfaat untuk orang lain, sekecil apa pun.