REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh Haedar Nashir
Di negeri ini dan di forum global banyak pihak mencemaskan radikalisme dan politik identitas. Keduanya menjelma menjadi hantu dunia, sebagai problem kehidupan kontemporer seperti ditulis Francis Fukayama dalam karya terbarunya, Identity. Apalagi jika dibalut kredo fanatik-buta yang menyebar secara terstruktur, sistematis, dan masif dalam kehidupan bangsa-bangsa di era abad 21.
Namun, kita layak bertanya. Radikalisme dan politik identitas apa yang sedang ditakutkan itu? Jangan sampai ketakutan berlebihan atas keduanya berubah menjadi bentuk radikalisme dan identitas radikal baru. Sebaliknya, ketika ada pihak yang tidak memercayai radikalisme dan menganggapnya suatu ilusi dan konspirasi, berpotensi menjadi proradikalisme.
Sama halnya dengan kecemasan berlebih atas berbagai problem yang mengancam negeri ini. Bahwa Indonesia telah bubar dan hilang kedaulatan oleh asing dan aseng. Meminjam diksi Fukayama, “The End of Indonesia”. Suatu pandangan kritis manakala dikonstruksi ekstrem apalagi disertai politik partisan tanpa topangan pemikiran yang komprehensif, muaranya dapat berpotensi menjadi alam pikiran radikal.
Demikian pula ketika di tubuh bangsa ini terjadi silang sengketa dan saling tuding antarsesama. Komponen Orde Baru menyalahkan Orde Lama, generasi Reformasi menyalahkan dua orde sebelumnya. Setelah itu tumbuh arus balik menerdakwakan Reformasi. Pola pikir sumbu pendek, apriori, dan kacamata kuda bertumbuh menjadi narasi publik saling berseberangan dengan sikap fanatik dan politik partisan.
Masalah bangsa maupun dunia memang kompleks, tidak sederhana seperti dibayangkan khalayak secara dangkal. Masalah ringan pun manakala didekati dengan pikiran dan cara yang keliru bisa menjadi berat dan sulit dicari jalan keluar. Apalagi disertai sikap saling tuding dan menyalahkan, muaranya boleh jadi seperti kata pepatah “menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri”.
Pandangan Radikal
Cemas dan takut akan ancaman itu normal. Sebaliknya, menjadi tidak normal kalau hidup tanpa rasa cemas dan takut. Namun, ketika semua dihadapi overdosis, boleh jadi yang ditemukan bukan solusi tetapi frustrasi. Sabda Nabi, “Khyaira al-‘umur auwsathua,” sebaik-baik urusan ialah yang tengahan. Ketika dikedepankan pikiran dan sikap ghuluw atau berlebihan, itulah yang disebut ekstrem dan radikal.
Pandangan dan sikap ekstrem atau radikal terjadi di semua aspek dan kalangan karena keduanya merupakan alam pikiran yang mengalir seperti air dan berembus laksana angin ke semua arah kehidupan. Radikal itu pada dasarnya konsep netral. “Back to radic” atau kembali ke akar, tulis Giddens.
Tetapi, ketika pola pikir dan sikap “kembali ke akar” atau “kembali ke prinsip” itu bersifat serbadogmatis dan merasa paling benar sendiri, kemudian lahir pikiran dan sikap keras, tidak toleran, apologi, dan membenarkan sedikit kekerasan, maka itulah yang dimaksud dengan radikal dan radikalisme dalam makna yang berkembang.
Sebagian kaum radikal karena antikemapanan, menurut Giddens, bersikap revolusioner meski tidak selalu demikian. Lahirlah sikap serbaekslusif, antisegala hal, dan konfrontasi melawan kemapanan atau apa pun yang dipandang berseberangan.
Karenanya, perlu saksama memaknai radikal dan radikalisme. Ketika radikalisme dalam berbangsa dan bernegara yang dimaksud adalah setiap paham dan tindakan yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Kebinekaan tentu jelas.
Tetapi, perlu parameter perundang-undangan yang dapat dijadikan rujukan bersama secara objektif. Sekaligus tidak dikembangkan pandangan orang-perorang maupun golongan yang mengonstruksi sendiri-sendiri, apalagi menghakimi pihak lain dengan gampang sebagai radikal dan terpapar radikal.
Jangan sampai ada pihak yang sekehendaknya bertindak melakukan sweeping terhadap pihak lain yang bersebarangan atas tuduhan radikal. Jika hal itu terjadi, berarti sama-sama radikal dan dapat menimbulkan konflik sosial. Isu dan cara menangani radikalisme dengan cara radikal atau deradikalisme berpotensi menimbulkan radikalisme baru dan lebih jauh dapat membelah integrasi nasional.
Semua pihak penting bermuhasabah dan meninjau ulang pandangan mengenai masalah-masalah keindonesiaan, termasuk seputar radikalisme. Pihak yang kritis dan antikemapanan atau bahkan oposisi terhadap pemerintah perlu merefleksi diri, apakah pikiran dan tindakannya masih berada dalam koridor kebangsaan yang benar secara konstitusional disertai sikap adil dan objektif dengan berpijak pada Pancasila dan kepentingan bersama.
Jauhi sikap apriori dan berlebihan yang menyebabkan pandangan dan sikap berbangsa menjadi radikal karena merasa paling benar sendiri sehingga menjurus pada orientasi nonkonstitusional, anarki, disintegrasi, dan hilangnya komitmen kebangsaan yang luhur.
Pihak yang propemerintah juga mesti berpaham dan bersikap moderat dengan berdiri tegak di atas konstitusi dan kepentingan bersama tanpa merasa paling benar dan paling memiliki Indonesia. Jangan merasa paling berkuasa dan memiliki Indonesia sendirian. Siapa pun yang mengklaim moderat niscaya menjauhi pandangan dan tindakan radikal atas nama kontraradikalisme, sebab yang terjadi dapat membentuk paham ekstrem tengah atau radikalisme baru.
Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dengan seluruh institusi negara juga niscaya berdiri tegak di atas konstitusi serta menjalankan kekuasaannya sebagaimana diamanatkan konstitusi dasar dan perundang-undangan dengan kewajiban mewujudkan tujuan nasional secara benar tanpa penyimpangan. Bahwa seluruh lembaga pemerintahan itu milik bangsa dan negara Indonesia, bukan milik satu-dua golongan, apalagi perorangan!