REPUBLIKA.CO.ID, Beberapa hari terakhir ini, banyak orang latah ikut-ikutan mencoba aplikasi FaceApp. Aplikasi ini bisa membuatkan wajah usia lanjut dari sembarang foto orang yang kita pilih. Kita bisa saja menguji kemampuan aplikasi ini dengan menggunakan, misalnya, foto muda Jokowi atau Prabowo, lalu 'foto tua' rekaan FaceApp kita bandingkan dengan foto mereka sekarang.
Sebagian Muslim mengharamkan penggunaan FaceApp. Ada tiga alasan yang mengemuka. Alasan pertama mengatakan, mengubah foto makhluk hidup termasuk aktivitas tashwir (melukis makhluk bernyawa), berdasarkan hadist: "Pelaku tashwir, akan diazab pada hari kiamat, dan akan dikatakan kepada mereka: ‘hidupkanlah apa yang kalian buat ini’." (HR Bukhari-Muslim).
Alasan kedua itu termasuk kebohongan karena FaceApp menghasilkan foto yang tak sesuai realitas. Sedangkan alasan ketiga itu mirip mendatangi dukun ramal dan bertanya seperti apa wajah kita kala tua, padahal Nabi pernah berkata, “Barang siapa mendatangi tukang ramal maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR Muslim no. 2230).
Manatul hukmi dari fatwa di atas ditolak oleh sejumlah ilmuwan Muslim. Manipulasi foto adalah hal yang biasa dilakukan, bahkan kadang tidak disadari pengguna. Perangkat lunak pada kamera ponsel sekarang pun, misalnya, sudah dilengkapi algoritme seperti autobalancing, agar wajah tampak lebih jelas. Pada situasi tertentu, wajah yang gelap akan tampak lebih cerah. Apakah proses yang memanipulasi sebagian pixel foto ini termasuk tashwir?
Teknologi manipulasi gambar atau image processing memang dapat digunakan untuk apa saja. Yang positif bisa membuat foto yang diambil dalam kondisi kurang cahaya, menjadi seindah aslinya bila cukup cahaya. Namun, kadang ini digunakan berlebihan sehingga menjadi lebih indah dari aslinya.
Walhasil, sampai ada calon anggota DPD yang melaporkan lawannya (yang menang) ke Mahkamah Konstitusi karena konon lawannya itu mengedit fotonya menjadi jauh lebih cantik dari kenyataannya. Sedangkan soal FaceApp itu hanya perangkat lunak prediksi sebagai hasil algoritme deep learning, maka tentu berlebihan untuk menyamakan itu seperti tebakan dukun ramal, yang sama sekali tidak menggunakan dasar ilmiah, tetapi bisikan jin atau khayalan belaka.
Sebenarnya, FaceApp adalah produk teknologi 4.0, yaitu kecerdasan buatan (artificial intelligence atau AI). Seperti juga revolusi industri 1.0, kehadiran teknologi sering disikapi berlebihan oleh sebagian agamawan. Ketika penerangan kota dengan gas dipasang di Kota Koln, Jerman, pada 1819, koran Kolnische Zeitung pada editorial 28 maret 1819 masih mencela proyek itu. Alasannya, “Gelapnya malam adalah ciptaan Tuhan, dan seharusnya manusia tidak mengubah ciptaan Tuhan”.
Kondisi umat Islam pada abad ke-21 ini, berbeda dengan nenek moyang mereka. Umat Islam generasi awal masih memiliki sikap yang jauh lebih positif terhadap sains.
Hasilnya, tahun 950 M, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak! Tidak ada yang mengharamkan penerangan malam hari dengan alasan itu, mengubah ciptaan Tuhan berupa gelapnya malam.
Sains memang memiliki dua fungsi utama. Fungsi pertama, untuk lebih memahami cara kerja alam semesta. Sains memberikan penjelasan yang lebih masuk akal, mengapa ada hujan, mengapa ada petir, atau mengapa ada gerhana.
Sains menunjukkan, fenomena alam itu memiliki kaidah kausalitas. Sains mengonfirmasi sabda Nabi bahwa gerhana bulan atau matahari tak berhubungan dengan kelahiran atau kematian seseorang, tetapi merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah.