Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pada abad ke 17 dan 18 di wilayah Sumatera dan Jawa para bangsawan Aceh dan Yogyakarta akrab dengan kitab Tuhfat al Mursalah ila Ruh an Nabi, kitab tasawuf yang mengupas Martabat Tujuh dan pemikiran spiritual Ibnu Arabi.
Kitab karya ulama India, Syekh Fadhlullah Burhanpuri (w. 1620 M) ini membumi seiring dengan dominasi Tarekat Syattariyah di lingkungan elit keraton. Tarekat ini pun didirikan oleh ulama India, Syekh Abdullah Asysyattari (w. 1485), dan disebarkan oleh orang India pula, seperti Syekh Sibghatallah al-Barwaji (w. 1606 M, sebagian mengejanya al-Baruji, atau Barauch, Gujarat), ulama India keturunan Persia. Syekh Sibghatallah ini menjadi penyebar dua kitab terkenal tarekat Syattariyah, yaitu Tuhfat al-Mursalah-nya Al-Burhanpuri dan Jawahir al-Khamsah karya Muhammad Ghauts al-Hindi (w. 1563 M).
Begitu populernya kitab Tuhfah al-Mursalah ini, sehingga Pangeran Diponegoro yang menjadi pengamal Tarekat Syattariah menjadikannya sebagai kitab kesayangan, selain kitab Taqrib (kalau Kiai Mojo memilih Fath al-Wahhab sebagai kitab pegangan, bahkan pengajaran kitab ini terus berlangsung pada saat bergerilya).
Sosok tarekat Syattarsiyah memang unik. Dia menyebal dari kelaziam tarekat yang cenderung sufiistik dengan melakukan 'uzlah' terhadap soal dunia. Cendikiawan DR Azyumardi Azra sempat menyebut bila tarekat Syattariyah berubah bentuknya dari tarekat Nasqabandinyah biasa, menjadi tarekat yang lebih agresif.
Kala itu, tarekat menjadi 'sumber api' perlawanan terhadap kolonial. Ini tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di anak benua India, Timur Tengah, hingga kawasan negara-negara di Afrika Bagian Utara. Di sana guru-guru pendidikan Islam (di Indonesia lazim disebut pesantren) menjadi pemimpin perlawanan terhadap penjajah. Mereka mengobarkan 'perang suci' yang pada masa kini 'digebyah uyah' (disebut secara gampangan) dengan 'jihad' yang makna sebenarnya adalah 'sikap bersungguh-sungguh'.
Nah, bila disebut 'jihad', perjuangan pangeran Diponegoro memang sangat berat dan sangat serius alias sungguh-sungguh. Selama dalam gerilya dia harus hidup secara berpindah-pindah untuk menghindari kejaran pasukan Belanda. Setelah rumahnya yang berada dipinggiran kota Yogyakarta --di Tegalrejo -- di serbu pasukan Belanda yang pasukannya terdiri tak hanya orang kulit putih Eropa, tapi juga terdiri dari kalangan bangsa sendiri misalnya orang Jawa, Ternate, dan Maluku, Diponegoro lari ke arah barat. Menyusuri pegunungan Menoreh hingga pegunungan Serayu Selatan (masyarakat di sana lazim menyebut sebagai pegunungan Urut Sewu) di Banyumas.
Bekas dan jejak gerilya perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun itu (1825-1830) tetap lestari hingga kini. Di sepanjang wilayah Jawa Tengah bagian selatan itu bertabur makam para pengikutnya dan sanak-keluarganya. Sebutan warga di sana akan sebuah ruas jalan yang disebut Jalan Diponegoro di pinggir pantai selatan Jawa sudah menjadi hal biasa. Mereka hanya bisa menyebut makam para pengikut Diponegoro dengan sebutan 'mbah wali', 'kyai wulung', eyang, atau berbagai sebutan kehormatan sejenis lainnya. Makam mereka pun selalu ramai diziarahi.
Mengapa dan apa kredo Diponegoro sehingga kuat dan berani berjuang? Jawabnya ada di buku yang ditulisnya selama dalam pengasingan di Sulawesi: Babad Dipanegara.
Diponegoro mengatakan begini:
“Ngantepi Islam samya nglampahi parentah dalil ing Qur'an pan ayat katal (Bersama memantapkan Islamnya, melaksanakan perintah dalil Alquran tentang ayat qital (jihad)!"
Uniknya, sisa semangat itu terlihat jejaknya sangat jelas di kawasan yang dahulu menjadi wilayah kecamuk perang Jawa. Area perang ini memang terjadi di Jawa tengah --terutama bagian selatan -- dari wilayah sekitar Madiun (sebelum Surabaya) di bagian timur, hingga sungai Citandui (di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa barat). Perang ini sangat meletihkan dan membangkrutkan kolonial, sehingga seusai perang berakhir Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan memberlakukan sistem tanam paksa untuk memenuhi pundi-pundi kas negaranya.
Alhasil, tanam paksa membuat negeri Belanda makmur. Sementara rakyat Jawa menderita kelaparan akut. 1/3 penduduknya mati kelaparan dan kemiskinan mengganas di sekujur pulau terpadat di dunia ini. Kala itu, dari catatan arsip Belanda di laporkan sosok manusia yang nyaris mirip kerangka berjalan banyak ditemukan di wilayah Pantai Utara. Penyakit beri-beri dan burung lapar menjadi hal lazim. Ini semakin menyeramkan karena wabah penyakit pes dan kolera kerap meluas.
Alhasil sampai kini, jejak perang ini masih nyata di depan mata. Tak hanya jejak budaya, jejak situs dan kisah keperwiraannya pun berserakan di seantero wilayah itu. Tak hanya cerita soal peperangan, jejaknya juga menyatu dalam kisah penyebaran budaya dakwah Islam. Semua tersublim satu dalam beragam ekpresi.
Sosok Diponegoro memang sempat menghilang dari ingatan publik Jawa setelah dia ditaklukan dalam peruncingan yang licik di kediaman Residen Magelang seusai lebaran 1830. Setidaknya dalam kurun lima pulih tahun setelah kematiannya yang terjadi pada tahun 1850, keberadaan dia menghilang.
Tapi, bertepatan dengan munculnya Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada awal dekade pertama tahun 1900-an, nama dia muncul ke publik. Berbagai poster dan rapat-rapat kedua pelopor organisasi pergerakan kebangsaan menuju Indonesia itu, mulai memunculkan namanya.
Pemerintah kolonial pun mulai mencermati sekaligus mengkhawatirkan munculnya sosok dia. Apalagi itu kemudian 'mengejewantah' pada sosok ' raja Jawa tanpa Mahkota', HOS Cokroaminoto, yang merupakan guru Bung Karno itu, Semaun, hingga Kartosuwiryo. Maka para pejabat kolonial saat itu mulai mengkerenyitkan kening ketika melihat poster wajah Diponegoro terpajang di tembok dan pepohonan pinggir jalan.
Di kalangan para pendidik, terutama pendidikan pribumi/swasta (Belanda menyebut sekolah-sekolah liar), sosok Diponegoro dipopulerkan dari mulut ke mulut. Anak-anak sekolah misalnya baru tahu kisah Diponegoro sekilas dari perbincangan para orang tua. Perjuangan Diponegoro baru diakui dan dimasukan dalam materi ajar pendidikan siswa sekolah usia datangnya kemerdekaan, atau sekitar tahun 1950-an.
''Saya mendengar kisah Pangeran Diponegoro dalam perjalanan menggunakan kereta api ketika hendak kuliah di Jogja pada awal tahun 1950-an. Itu pun diceritakan oleh seorang penumpang yang tampaknya sangat terpelajar dari perjalanan naik kereta api dari Purwokerto ke Jogja. Sebelum itu di sekolah kisah dia tak pernah saya kenal,'' kata Sucipto, seorang pensiunan guru ketika menceritakan masa awal sekolah tingginya di Jogja di awal tahun 1950-an.
Nah, dari cerita ini, ditarik pelajaran bahwa sejarah itu harus ditulis sendiri oleh kaumnya. Sejarah tak lagi perlu ditulis oleh sang pemenang saja. Dan juga, sejarah kazanah perjuangan Islam di Indonesia pun harus ditulis oleh umat Islam itu sendiri. Baik ditulis secara pribadi, maupun di fasilitasi ormas biasa sampai ormas atau organisasi politik semacam Sarekat Islam (SI) itu.
Ingat, dari sejarahlah kita bisa bercermin mengenai: Siapa sebenarnya kita itu!