Jumat 02 Aug 2019 15:48 WIB

Membumikan Green Constitution

Masyarakat harus terlibat aktif dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Elfian Fauzy
Foto: dokpri
Elfian Fauzy

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Elfian Fauzy, Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Dewasa ini, sebagian masyarakat kita mengartikan lingkungan hidup hanya sebagai objek sederhana yang mencakup alam, tumbuhan, dan hewan. Padahal, ruang lingkup lingkungan hidup jauh lebih luas daripada hal tersebut, yaitu menyangkut entitas menyeluruh di mana semua makhluk hidup berada. 

Akan tetapi, dewasa ini masyarakat dunia khususnya Indonesia merasakan bahwa krisis lingkungan nampaknya semakin nyata. Menurut Mattias Finger, krisis lingkungan hidup yang terjadi dewasa ini disebabkan karena kebijakan yang salah dan gagal, teknologi yang tidak efisien bahkan cenderung merusak.

Kemudian, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya merugikan lingkungan, dan merebaknya pola kebudayaan seperti konsumerisme serta individu-individu yang tidak terbimbing dengan baik.

Berangkat dari permasalahan tersebut, maka terdapat beberapa kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan lingkungan hidup, contohnya penerapan teknologi yang ramah lingkungan, dan menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro lingkungan hidup seperti green economy, green entrepreneruship, dan green politics.

Namun, ada satu gagasan tentang green yang masih belum dipahami dan dikaji lebih luas karena merupakan hal yang baru di kalangan akademisi dan praktisi yang berfokus pada isu lingkungan hidup, yaitu green constitution (konstitusi hijau) yang merupakan gagasan yang diperkenalkan oleh Prof Jimly Asshiddiqie. 

Pada prinsipnya, green constitution adalah melakukan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan ke dalam konstitusi dengan cara menaikkan dejarat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat konstitusi. Sejatinya, konstitusi Indonesia pasca amandemen telah mengadopsi ke arah konstitusi hijau dan memberikan perlindungan konstitusi terhadap lingkungan hidup, yakni pasal 28 H ayat (1) dan pasal 33 ayat (4) UUD NRI 1945. 

Dua pasal tersebut menjadi pijakan yang fundamental terhadap perlindungan lingkungan hidup. Implikasinya kemudian dituangkan dalam sebuah regulasi yakni UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH 2009). Namun kendala yang ditemukan dalam UU PPLAH yakni masih terbatasnya lingkup pengakuan dan pemberdayaan green constitution.

Maka penulis berikhtiar dalam rangka membumikan green constitution melalui beberapa langkah. Pertama, melalui keserasian regulasi. dalam UU PPLH 2009 belum terlihat konsep yang terintegrasi dengan jaminan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan pembangunan lingkungan hidup berkelanjutan sebagaimana diamanatkan konstitusi.

Kedua, melalui akademisi. Perlu diadakan kegiatan seperti seminar, kajian ilmiah, dan diskusi publik yang berkaitan tentang isu lingkungan hidup. Terakhir, melalui kesadaran masyarakat. 

Dalam hal ini masyarakat harus terlibat aktif dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga, akan melahirkan budaya yang positif dan menjadi baik untuk perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement