REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Iman Sugema
Sangatlah memprihatinkan ketika kita mendapati kenyataan bahwa Jakarta merupakan salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Kita sudah terlalu lama merasakan bahwa Ibu Kota dari negeri tercinta ini bukan merupakan tempat yang layak untuk dihuni.
Jakarta is no longer a live able city. Begitu celoteh teman-teman dari manca negara. Malu rasanya ketika mereka berkata demikian. Rasanya kita ini seperti bangsa yang kurang beradab, dengan senang hati tinggal di suatu wilayah yang kurang layak huni.
Untuk sekadar memberi peringatan terhadap diri kita sendiri, kota-kota yang lain pun tak jauh berbeda situasinya dengan Jakarta. Polusi udara, air dan tanah bukan hanya ada di Jakarta. Sampah dan banjir sering kali kita dapati di wilayah lainnya. Semua itu membuat kualitas hidup kita menjadi rendah.
Bolehlah kita bangga dengan kenaikan pendapatan, tetapi apalah artinya jika hidup kita tidak berkualitas. Semakin tinggi pendapatan, seharusnya semakin tinggi kualitas hidup. Sebagai negara yang dikategorikan berpendapatan menengah, kita seyogyanya mulai serius dalam memperhatikan masalah kualitas lingkungan hidup.
Kembali ke masalah pencemaran udara di Jakarta dan kota-kota lainnya di seluruh penjuru Indonesia, mulai saat ini kita harus cerdas dalam mengelola paru-paru kehidupan kita. Keseimbangan antara volume polutan dengan kemampuan menghilangkan polusi udara harus dapat terjaga. Prinsipnya relatif sederhana.
Tidak mungkin aktifitas kita sehari-hari sama sekali tidak meninggalkan jejak karbon (carbonfoot-print). Apapun aktivitasnya, selalu meninggalkan jejak karbon. Jadi sudah menjadi hukum alam bahwa semakin tinggi aktifitas ekonomi, semakin besar jejak karbon.
Jadi yang paling mungkin kita lakukan agar kita memiliki kualitas udara yang baik dan sekaligus pendapatan yang meningkat adalah dua hal berikut ini.Pertama adalah mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk mengadopsi teknologi yang paling ramah lingkungan.
Dengan cara ini, emisi karbon ke udara akan menjadi lebih rendah. Kedua, memperbesar kemampuan untuk menyerap karbon dari udara. Sejatinya, karbon atau dalam hal ini karbondioksida, merupakan nutrisi bagi tumbuhan. Jadi, alam sendiri sudah menciptakan mekanisme anti polusi. Dimana diciptakan polusi CO2, di situlah kita harus lebih banyak menanam tanaman penyerap karbon.
Tetapi masalahnya di daerah perkotaan justru mekanisme penyerapan karbon sangatlah terbatas. Apalagi untuk kawasan megapolitan Jakarta-Depok-Tangerang-Bekasi atau Jadetabek, ruang-ruang hijau justru dikalahkan semata untuk kepentingan ekonomi. Karena itu alternatif untuk wilayah perkotaan hanyalah satu hal yakni beralih ke teknologi yang paling ramah lingkungan.
Kita tahu dengan pasti bahwa penyumbang emisi karbon terbesar di wilayah perkotaan adalah sektor transportasi. Terutama sekali adalah polutan yang dihasilkan dari kendaraan bermesin kombusi (combusionengine). Jenis mesin ini sangatlah tidak efisien karena dua per tiga energi yang dihasilkannya dilepas dalam bentuk panas.
Panas itu bukan hanya sia-sia, tetapi jugamenyumbang terhadap temperatur lokal. Itulah sebabnya di kepadatan lalu lintas, suhu udara terasa lebih menyengat. Jadi selain karbon, kendaraan bermotor juga menghasilkan polusi panas.
Oleh karena itu negara berkewajiban untuk menggiring masyarakat beralih ke teknologi transportasi yang lebih ramah lingkungan yaitu kendaraan bertenaga listrik (electricvehicle).
Teknologi kendaraan listrik ini sekarang lebih terjangkau dan dalam tiga tahun ke depan harganya akan kurang lebih sama dengan kendaraan bermotor kombusi yang kita pakai sehari-hari.
Mulai tahun 2020, hampir semua produsen otomotif dunia akan menawarkan varian kendaraan listrik. Terima kasih untuk Tesla yang telah mendobrak mitos bahwa kendaraan listrik kurang diminati.
Tentunya para skeptis akan segera berteriak bahwa investasi infrastruktur kendaraan listrikyang harus ditanggung negara sedemikian besar. Dari mana uangnya? Sementara ini kan keuangan negara sangatlah cekak alias banyak utang.
Di sinilah peran dari pajak karbon. Pajak ini khusus dikenakan terhadap kendaraan bermesin kombusi dengan tiga tingkatan pajak. Tingkat pertama adalah pajak karbon yang dimaksudkan agar harga kendaraan bermesin kombusi menjadi lebih mahal. Misalkan untuk setiap CC mesin kombusi dikenakan pajak karbon sebesar 50 ribu rupiah.
Kalau anda beli motor 150 CC maka harganya otomatis akan lebih mahal 7,5 juta rupiah ketika membeli pertama kali di dealer. Kalau anda beli mobil 2000 CC, maka harga barunya akan naik sekitar 100 juta rupiah. Dengan cara ini, masyarakat akan lebih memilih untuk membeli kendaraan listrik.Jenis pajak ini berpotensi menciptakan penerimaan pajak sebesar 130 triliun rupiah per tahun.
Tingkatan yang kedua adalah pajak karbon yang ditujukan agar pemilik kendaraan kombusi segera mengkonversimenjadi bermotor listrik. Motor atau mobil lama diganti mesinnya dengan mesin listrik. Supaya itu terjadi, maka pemilik kendaraan kombusi dibebani pajak karbon tahunan. Misalkan besarnya adalah 10 ribu rupiah per tahun.
Jadi kalau anda memiliki mobil 1000 CC, maka anda dibebani pajak tambahan sebesar 10 juta rupiah per tahun. Daripada dibebani pajak yang mahal, maka anda lebih memilih untuk mengganti mesin saja. Dari pajak jenis ini, ada potensi penerimaan negara sebesar 250 triliun rupiah per tahun.
Tingkatan yang ketiga adalah pajak karbon yang ditujukan agar masyarakat mengurangi konsumsi BBM. Maka dari itu pajak karbon seyogyanya dikenakan untuk setiap liter BBM yang dikonsumsi. Agar tidak kaget, pajak karbon dinaikan secara bertahap setiap tahun selama lima tahun.
Kalau targetnya adalah 5 ribu rupiah setiap liter, maka setiap tahunnya pajak dinaikan seribu rupiah per liter. Untuk tahun pertama saja, pendapatan pajak yang masuk ke negara bisa mencapai 50 triliun rupiah.
Namun harus diingat bahwa semua pendapatan pajak ini harus diinveatasikan ke pembangunan infrastruktur listrik. Tujuannya adalah supaya peningkatan permintaan listrik bisa dipenuhi oleh PLN. Biar nggak byar pet lagi!