Oleh: Abdullah Sammy, Jurnalis Republika.
Ada dua reaksi umum yang tercipta di kalangan media saat menyaksikan pembukaan Kongres PDIP di Bali, pekan ini. Reaksinya adalah terkejut sekaligus gembira.
Terkejut karena sang ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri mampu berpidato di luar kebiasaan. Ini sekaligus membuat kami, awak media, begitu gembira. Sebab begitu banyak angle dan bahan berita yang bisa dirunning selama sepekan kedepan.
Pada tulisan ini saya tak akan membahas substansi pidato Mega yang cukup mengejutkan, menghibur, dan enak untuk ditonton itu. Dalam tulisan ini saya akan spesifik membahas sosok Megawati yang belum ada tandingannya dalam memimpin partai politik di Indonesia.
Harus diakui, sulit untuk bisa menjadi politikus sekelas Megawati Soekarnoputri. Sekalipun embel-embel di belakang namanya menunjukkan dirinya merupakan keturunan langsung dari sosok yang bukan main-main di Republik ini. Namun faktanya, menjadi anak Sukarno yang tampil di panggung politik nasional sejak 1980-an, tidak pernah mudah.
Jalan yang dilalui Megawati begitu terjal. Penuh duka dan air mata. Kalau anda membuka kembali arsip berita sejak Pemilu 1992, maka akan terlihat jelas bagaimana kesuksesan yang kini diraih Megawati bak sebuah roda nasib yang berbalik arah.
Di era Orde Baru, Mega hadir pada sebuah partai yang awalnya berkutat pada faksi-faksi yang sulit menyatu. Tapi usaha keras Mega mampu menyatukan kubu banteng hingga mampu meraih kenaikan suara signifikan pada Pemilu 1992.
Mega hadir pada Pemilu 1992 dengan ideologi politiknya yang penuh risiko, yakni mengusung ajaran-ajaran Sukarno. Padahal di rezim Orde Baru, ajaran Sukarno bak sebuah hal yang terlarang.
Tapi risiko inilah yang meretas jalan Megawati ke pentas politik nasional. Usaha keras Mega dan penuh risiko itu pula membawanya menduduki kursi ketua umum pada 1993. Tapi usia jabatannya hanya seumur jagung. Dia didongkel oleh rezim dari kursi ketua umum PDI.
Tak cukup hingga di situ, Mega pun seperti kena cekal dalam aktivitas politik. Sepanjang 1995-1996, setiap Mega hendak mengadakan konsolidasi selalu gagal akibat izin yang tak diberikan aparat.
Puncaknya, pecah peristiwa 27 Juli 1996 yang membuat Mega dipaksa keluar dari gelanggang politik di masa itu. Sejumlah kader yang setia kepadanya, tak sedikit yang dibui Orde Baru.
Di tengah posisi kalah, Mega menunjukkan ketangguhan di banding politikus manapun di negeri ini. Saat kalah, Mega tak pernah mau berkompromi dengan kue kekuasaan.
Tak ada istilah tawar-menawar untuk sebuah prinsip dan harga diri politik yang dipegang seorang Megawati.
Risiko mempertahankan sebuah prinsip ditanggung Mega. Ini tampak jelas saat Mega kalah dari SBY dalam Pilpres 2004 dan 2009. Sepanjang 10 tahun, Mega mampu mengukuhkan harga diri politiknya sebagai oposisi.
Sepanjang itu pula, sikap politik PDIP tetap tidak goyah oleh sekadar kursi menteri. Baginya, A adalah A dan B adalah B, titik!
Jujur, saya bukan orang yang punya pandangan politik yang sama dengan Megawati atau PDIP. Tapi untuk hal memegang prinsip politik, Mega harus diakui sulit dicari padanannya.
Itu pulalah yang menjadi sumber kekuatan PDIP hingga mampu dua kali memenangi pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kukuhnya prinsip politik dari Megawatilah yang membuat partai banteng tetap mampu bertahan sebagai spekturm utama perpolitikan Indonesia sejak reformasi 1998.
Karenanya, cukup mustahil bagi PDIP untuk mencari pengganti Megawati saat ini. Sebab, memang sulit mencari tandingan Megawati yang punya kemampuan berani mengambil risiko saat kalah. Kalau kata orang Bekasi, "a risk taking capability".
Kemampuan mengambil risiko adalah sebuah syarat manajerial yang mutlak dimiliki seorang pemimpin. Berani mengambil risiko adalah sebuah kebutuhan dan keharusan yang mesti ditempuh pemimpin jika ingin menghindari munculnya risiko yang lebih besar.
Ada adagium populer yang berkembang di kalangan kids Jakarta Selatan yang menyebut, "if you risk nothing, then you risk everything.” Adagium itu rasanya tepat untuk menggambarkan perbandingan antara Megawati dengan sejumlah pemimpin politik saat ini.
Usai Pemilu 2019, kita dapat melihat banyak pemimpin politik yang bermain aman. Banyak yang kemudian menjilat ucapannya saat dan setelah Pilpres 2019. Mereka dengan mudah mengganti haluan dan prinsip politiknya demi kue kekuasaan.
Inilah yang tidak berlaku di kamus Megawati. Dia punya harga diri politik. Mega pun mampu mengambil risiko itu pada 1996, 2004, dan 2009.
Dia berani mengambil risiko mempertahankan prinsip politiknya di saat kursi kekuasaan semakin jauh. Ini pula yang disinggung Mega dalam pidatonya di Kongres PDIP 2019. Mega yang mengaku pernah ditawari delapan kursi menteri oleh SBY, tidak goyah.
Risiko itulah yang membuat konstituennya loyal. Berkat loyalitas itu, kita bisa melihat PDIP menjadi partai yang paling stabil sejak era reformasi.
Sebaliknya partai yang pemimpinnya takut untuk mengambil risiko, maka risiko besar yang bisa menimpa kemudian adalah menjadi kekuatan sebelah mata.
Kenyataan politik di Indonesia menunjukkan fakta bahwa partai pemenang pemilu bisa terjun bebas hanya dalam hitungan tahun akibat tak berani mengambil risiko. Inilah bukti dari adagium, "if you risk nothing, then you risk everything.”
Rasanya pelajaran ini penting diresapi pihak-pihak yang ini sedang larut berebut kursi kekuasaan. Ini sebuah pelajaran bagi pihak-pihak yang alergi dengan frasa 'oposisi'.
Seharusnya, mereka sadar bahwa oposisi sejatinya hanya sekadar risiko dari investasi bernilai 44 persen suara masyarakat Indonesia. Lantas apakah risiko itu sepadan untuk sekadar dibarter satu atau dua kursi menteri saja?
Namanya risiko tentu bukanlah hal yang mudah dijalankan. Walau begitu, risiko adalah downpayment pada sebuah kesuksesan. Dan kesuksesan bukanlah sebuah dongeng indah, melainkan perjuangan penuh 'darah'. Itulah yang dibuktikan seorang Megawati. Lantas, siapa yang berani jadi Megawati kini?