Oleh: Ilham Bintang, Jurnalis Senior
Salah satu pengajar program Karya Latihan Wartawan PWI di tahun 70 an adalah Pollycarpus Swantoro. Program ini dikomando Rosihan Anwar, Ayatollah Wartawan Indonesia, sebagai Direktur Program. Selain Swantoro, pengajar lainnya Jacob Oetama, Harmoko, Zulharmans Said, Mahbub Djunaedi, Djaffar Assegaf— tokoh- tokoh besar pers, tokoh- tokoh pergerakan bangsa.
Kami, semua murid program KLW luar biasa kenyang, masa dididik mereka. Seoerti berenang di lautan ilmu. Pak Swantoro termasuk pengajar favorit. Ilmunya segudang, terutama sejarah dan filsafat. Berpembawaan tenang, sabar mengajar, membuat kita hanyut masuk ke kedalaman pengetahuannya. Di KLW, Pak Swantoro sendiri seperti menyadari perlu tambahan perhatian mengajar peserta KLW yang umumnya para wartawan, dan tak sedikit wartawan senior. Seperti tokoh pers Sulsel Rahman Arge yang di tahun 1977 satu angkatan dengan saya yang wartawan pemula.
Maka semua wartawan yang jadi peserta terkagum- kagum pada tehnik beliau mengajar. Belakang hari, Heriyanto, salah satu putera Pak Swantoro, merupakan sahabat saya. Dia pun bekerja di bidang media. Pemilik rumah produksi Shandika Widya Cinema. Yang memproduksi program antara lain : infotaiment Kabar-Kabari. Seperti diketahui Kabar-Kabari dan Cek & Ricek merupakan dua tombak kembar stasiun TV RCTI sejak medio 96. Yang mempelopori infotainment di Tanah Air. Sama seperti ayahnya, Heriyanto juga berpembawaan tenang, dan rendah hati. Di lapangan, dia menyerahkan urusan kepada Istorro, adik iparnya.
Di masa infotainment memicu kontroversi, siang malam kami bertiga bertemu. Berdiskusi mencari solusi keluar dari kontroversi itu. Persoalan yang dihadapi amat berar justru di internal kami. Banyak infotainment yang diproduksi tanpa bekal pengetahuan jurnalistik yang memadai. Mereka tidak mengetahui jurnalisme memiliki rambu- rambu yang mesti ditaati. Selain peraturan perundang-undangan, kode etik jurnalistik, juga penghormatan kepada tata nilai budaya yang dianut masyarakat.
Produksi infotainment yang lahir belakangan kebanyakan golongan tubruk lari, main hantam kromo. Program itulah yang menghadapi penolakan sebagian masyarakat. Yang penting dapat fulus, meminjam istilah almarhum Rosihan Anwar.
Saat-saat seperti itulah kami biasa mengenang Pak Swantoro. Yang menekankan pentingnya penguasaan data dan disiplin verifikasi. Sayang di masa tumbuhnya jurnalisme alternatif di layar televisi di Tanah Air -begitu kami memberi istilah — Pak Swantoro tidak lagi mengajar. Ia pensiun dari Kompas, dan memilih jalan sunyi. Malah program KLW nya sendiri pun berhenti. Sehingga banyak wartawan yang tumbuh seadanya tanpa perawatan professi yang baik.
PWI sebagai organisasi wartawan terbesar Indonesia mengakui infotainment adalah karya jurnalistik pada tahun 2005. Sedangkan pekerjanya dapat diterima sebagai anggota PWI selama mengikuti ketentuan yang berlaku. Yang dimaksud harus mengikuti pendidikan seperti KLW. Itu memang sempat diwujudkan, tapi tak bernafas panjang.
Beruntung di group Cek & Ricek, Pak Rosihan sampai akhir hayatnya melekat dalam institusi kami. Selain sebagai konsultan juga aktif menulis kolom di Tabloid C&R sekali sepekan. Itu sama dengan setiap minggu memberi contoh secara langsung bagaimana menciptakan produk jurnalistik yang baik.
Idul Adha
Saya dalam perjalanan ke Konjen RI di Queen Street, Melbourne, Minggu (11/8) pagi saat menerima berita duka dari Jakarta lewat group Whats App Forum Pemimpin Redaksi Indonesia. Beritanya Pollycarpus Swantoro meninggal dunia. Mendiang mengembuskan nafas terakhir Minggu (11/8) dinihari pukul 03.30. Persis di hari seluruh umat Islam memperingati Idul Adha atau dikenal juga sebagai Idul Qurban.
Menit itu juga saya mengontak Heriyanto untuk konfirmasi. Heri — panggilan akrabnya — membenarkan. Dua pekan silam, saat melayat ke rumah duka mendiang Arswendo Atmowiloto, saya bertemu Liliek Oetomo, dan Tria Agung. Liliek Wakil Pemimpin Umum Kompas adalah putera Jacob Oetama. Saya tanya kabar Pak Jacob dan Pak Swantoro, dua pendiri Kompas Group. “ Baik, Pak. Pak Jacob dan Pak Swantoro dalam keadaan sehat. Meski aktifitas keduanya sudah berkurang. Maklum, usia sudah sepuh,” ucap Liliek. Tidak lupa saya minta dititipkan salam kepada dua guru besar wartawan Indonesia itu.
“ Tidak ada keluhan sakit Bang. Sabtu sore masih ke gereja. Dia hanya merasa kedinginan. Habis makan langsung tidur, “ cerita Heri lewat WA, Minggu (11/8) pagi. Mendiang Swantoro meninggal dalam usia 87 tahun. Meninggalkan, empat putera ( putera kedua wafat) dan tujuh cucu.
Indonesia kehilangan seorang wartawan terbaiknya, guru besar wartawan Indonesia. Selamat jalan Pak Swantoro. Semoga arwah mendiang mendapatkan tempat terbaik. Sepadan dengan amal bhaktinya semasa hidup. Dan, keluarga yang ditinggalkan mendapat kekuatan, kesabaran, dan kemampuan merawat keikhlasan melepaskan beliau pergi menghadap Tuhannya. Amin.
Melbourne, 12 Agustus 2019.
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement
close ×