REPUBLIKA.CO.ID, Kemarin di Jakarta digelar sebuah acara yang penting, Sarasehan Nasional Penanganan Konten Asusila di Dunia Maya. Turut hadir dalam sarasehan itu Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, pejabat Kemenkominfo, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pegiat literasi digital, pegiat bisnis digital, vlogger, budayawan Sudjiwo Tedjo, dan banyak lagi.
Kengerian konten asusila ini sudah jelas di depan layar gawai kita. Data dari Kemenkominfo per Juli 2019: Tim AIS yang bertugas mengais konten negatif di dalam internet menemukan 2.457 konten berita bohong, 898.109 konten pornografi, dan 3.021 konten penipuan. Kemudian juga ditemukan 10.451 konten radikalisme dan 71.265 konten perjudian.
Konten-konten di atas, terutama pornografi/pornoaksi, bisa menyusup di antara tayangan-tayangan video yang digemari di dalam aplikasi Youtube misalnya. Atau lewat permainan-permainan berperang, duel, dan macam permainan lainnya.
Dalam kapasitasnya sebagai anak-anak, mereka belum bisa mencerna dan memilah mana konten yang bermanfaat dan baik untuknya, mana yang tidak. Apalagi, kemudian faktanya sudah banyak kasus kejahatan yang dipicu oleh konten negatif di internet.
Netflix
Dari sekian banyak konten negatif yang ditemukan itu, menurut Kemenkominfo, konten asusila atau pornografi/pornoaksi dianggap sebagai bahaya laten yang ditakutkan oleh sebagian besar orang tua. Ini karena bila terpapar konten tersebut, proses tumbuh kembang anak bisa terpengaruh.
Peran pemerintah pasti penting sebagai regulator untuk membatasi konten asusila internet ini. Peran orang tua juga tidak kalah penting sebagai orang terdekat dan yang mengetahui situasi kondisi sang anak. Peran keduanya harus seiring. Tidak bisa hanya satu pihak. Orang tua tak bisa menyerahkan peran pengawasannya kepada pemerintah. Pemerintah juga pasti tak berdaya karena tak bisa menjangkau terlalu jauh. Harus ada kerja sama.
Utamakan kegiatan pencegahan sambil melakukan pembinaan dan kemudian penegakan hukum. Perbanyak kegiatan sosialisasi konten negatif dari sekolah dasar sampai sekolah menengah dan universitas. Gelar acara rutin sosialisasi konten negatif yang melibatkan orang tua juga anak. Tidak cukup hanya di kota-kota besar, tapi juga di kecamatan sampai desa.
Pemerintah juga bisa merangkul kelompok pegiat aplikasi di universitas lokal. Merangsang mereka untuk menciptakan aplikasi penyaring konten negatif di gawai atau aplikasi pembatasan akses bagi anak-anak. Banyak hal yang masih bisa dilakukan.
Sudjiwotedjo
Dalam sorotan narasumber di sarasehan itu, Sudjiwo Tedjo dan Menkominfo Rudiantara, pendidikan dan pembinaan menjadi amat penting. Pendidikan soal bahaya konten pornografi ataupun konten berbahaya lainnya wajib dilakukan oleh para orang tua dan guru.
Pemerintah, kata Menkominfo, fokus pada pembinaan. Misal, memanggil dan membina pemilik konten lokal yang dianggap berbahaya. Ini sudah dilakukan dalam kasus gamer Kimi Hime, misalnya.
Namun, ada pertanyaan, selain memblokir website di internet, bagaimana dengan konten tayangan yang ada di dalam aplikasi Youtube atau siaran video internet berbayar macam Netflix dan kawan-kawan? Apakah perlu diawasi? Komisi Penyiaran Indonesia menganggapnya perlu dan mewacanakan untuk melakukannya. Langkah ini menjadi sorotan tajam warganet.
Masalahnya memang KPI dan Kemenkominfo masih terlihat standar ganda, gamang, dan reaktif. Terhadap para vlogger mereka bisa galak dan melakukan pembinaan. Namun, tidak terhadap pornografi dan pornoaksi yang menyusup lewat acara kesenian di kampung. Misal, dangdutan di hajatan, yang penarinya berpakaian seksi/minim dan melakukan gerakan-gerakan yang bisa dikategorikan pornoaksi, KPI dan Kemenkominfo tak bisa tegas. Padahal, ketegasan macam ini yang dibutuhkan!