Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Selasa kemarin, adalah hari baik bagi pemuda blasteran Prancis-Indonesia yang sekarang sangat terkenal, Enzo Zenz Ali. Jalan hidupnya ke depan sepertinya kian terang setelah ramai dituduh di media sosial sebagai terpapar idelogi radikal yang anti NKRI yakni 'Khilafah'.
Unikya, tak hanya orang biasa, orang pintar sekelas cendikiawan pun ikut menyangkanya Enzo radikal. Alhasil, bak gayung bersambut seruan memecat Endo sebagai taruna Akmil berkumandang hebat.
Mendengar keriuhan isu ini, maka menjadi 'supraise' ketika kemudian pihak TNI Angkatan Darat (AD) memastikan tarunanya, Enzo Zenz Allie, akan tetap melanjutkan pendidikan di Akademi Militer (Akmil). Keputusan itu diambil setelah dilakukannya penilaian indeks moderasi bernegara terhadap taruna keturunan Prancis tersebut.
"Kesimpulannya, Enzo dilihat dari indeks moderasi bernegara itu ternyata kalau dikonversi jadi persentase itu 84 persen atau nilainya di situ adalah 5,9 dari maksimal tujuh," ujar Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal Andika Perkasa di Markas Besar TNI AD, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (13/8).
Mendengar keputusan ini ingatan langsung berbalik kepada sebuah gambar Enzo yang lagi naik gunung dengan menyematkan bendera bertuliskan kalimat tauhid yang menjadi nafas setiap Muslim:'la illaha ilallah'. Sampai di sini, lagi-lagi saya tercenung sudah begitu gawatkah kalimat ini? Sudah begitu terang benderang ancaman terhadap ideologi Pancasila?
Gambar Enzo Ali dengan menyematkan bendera tauhid ketika naik gunung yang kini viral di media sosial.
Segala pertanyaan itu tak mampu saya jawab. Yang pasti batin saya kembali mengelus dada ketika teringat Pin kakek saya, selaku pejuang Hizbullah di era perang kemerdekaan, yang memakai lambang kalimat tauhid. Bagi kami lambang itu begitu akrab semenjak dahulu. Bahkan, berkat Pin itu kakek dan para pejuang lainnya berani bertaruh nyawa untuk membela negara Indonesia tercinta ini.
Rasa patriotisme yang digaungkan itu lestari sampai sekarang. Cerita kakek membawa bambu runcing naik kereta api dari perbatasan Cilacap bagian barat ke Pesantren Bambu Runcing di Parakan Temanggung yang diasuh Kiai Subkhi terngiang kembali.
Keterangan foto: Kiai Subkhi, Guru spiritual Jendral Sudirman dan Pengasuh Pondok Pesantren di Parakan Temanggung, Jawa Tengah.
Perang kemerdekaan memang tak bisa lepas dari ikon ‘granggang’ (bambu runcing.). Senjata tradisional yang dibuat dari bambu yang ujungnya diruncingkan telah dikenal luas. Senjata ini sudah mulai dipakai dalam ketentaraan semenjak pendudukan Jepang. Dari beberapa foto tua tampak prajurit Peta berlatih menggunakan bambu runcing. Mereka memperlakukan bambu runcing layaknya senjata bayonet.
Dan bila pada 5 Oktober nanti (hari ulang tahun TNI) saya sangat berharap soal bambu runcing hendaknya jangan lupa juga dibahas. Bahkan, ketika nanti memperingati peristiwa penting lainnya, misalnya ketika Kolonel Sudirman (kemudian menjadi Panglima Besar Jendral Sudirman) berhasil mempecundangi pasukan Inggris di Ambarawa (dikenal dengan Palagan Ambarawa, 15 Desember 1945), ternyata semangat heroisme pejuang saat itu juga terkait dengan soal bambu runcing.
Apalagi, meski belum banyak yang tahu, amalan dan doa dari Kiai Subkhi itulah yang dilakukan Jenderal Sudirman selama memimpin perang kemerdekaan, adalah hasil 'ngaji' beliau dengan KH Subkhi, selaku ulama penyeru perlawanan dengan senjata bambu runcing dari Pesantren Parakan, Temanggung, Jawa Tengah.
Bukan hanya itu, amalan agar Pak Dirman (sebutan akrab Jendral Sudirman) di dalam memimpin perang gerilya 'selalu dalam keadaan suci' atau menjaga wudhu, adalah salah satu 'petunjuk laku' dari Kiai Subkhi.
Dalam hal ini saya pun terkenang nasihat Pak Dirman,"Bagaimana kamu bisa berjuang melawan penjajah bila dirimu tidak dalam keadaan suci lahir dan batin'. Dan harap tahu bahwa sikap itu merupakan intisari dari ajaran Kiai Subkhi yang leluhurnya adalah berasal dari Pesantren Mlangi, Yogyakarta, yang merupakan kekuatan inti Pasukan Diponegoro. Tak heran bila kemudian ada sebutan bahwa salah satu guru spiritual Jendral Sudirman adalah KH Subkhi tersebut.
Keterangan Foto: Jendral Sudirman ketika berkunjung ke Bekasi tahun 1946.
Tak hanya Jendral Sudirman, kaum Muslimim saat itu kaum muslim, khususnya para pejuang, sangat percaya akan tuah dari bambu runcing bila sudah didoakan oleh Kiai Subkhi. Bahkan saking terkenalnya, masa rakyat beramai-ramai mendatangi pesantrennya. Angkutan kereta api (kini rutenya sudah dimatikan) yang menuju kawasan Temanggung kala itu selalu penuh disesaki penumpang yang membawa sebatang bambu dengan panjang dua meter yang ujungnya diruncingkan. Mereka datang untuk meminta ‘karomah’ atau doa dari sang kiai.
Akibatnya, bagi para lelaki santri yang tinggal di kawasan Kedu dan Banyumas, pada saat itu, tidak mengherankan bila di rumah sederhananya yang kebanyakan masih terbuat dari bambu, selalu tersimpan bambu runcing yang telah didoakan Kiai Subkhi itu. Di atap langgar, di bawah genteng, pasti terselip beberapa bilah bambu runcing. Juga di rumah para santtri di antara dinding bilik bambu juga terselip bambu runcing.
Maka melihat apa yang kini terjadi pada diri Enzo hati ini tiba-tiba tersayat. Sudah begitu jauhan kecurigaan terhadap 'kalimat tauhid' yang dulu diajarkan KH Zuhdi ketika 'menyuwuk' (memberi) doa kepada setiap bambu runcing yang diberikan kepadanya. Dari cerita kakek, KH Zuhdi hanya memberi doa sembari mengusap ujung bambu runcing itu dengan kalimat tauhid, Alfatikhah, shalawat nabi, surat alikhlas, dan beberapa doa pendek lainnya.
Di lain waktu saya pun terkejut, ketika di media internet melihat gambar PIN yang dimiliki lasykar Islam yang menjadi salah satu cikal bakal TNI: Hizbullah (tentara Allah). Lambang yang tertuang di PIN baju seragamnya adalah kalimat tauhid yang persis hari ini di gendong Enzo ketika beberpa waktu lalu naik gunung.
Keterangan foto: Pin yang tersemat di seragam pejuang Hizbullah adalah kalimat tauhid.
Apa ini pertanda zaman yang makin banal? Apa ini juga akibat omongan dan perilaku politik yang mencontoh seorang elit di tahun 1980-an yang selalu mendengungkan bila masih ada 'gerilya' menuju negara Islam dan Piagam Jakarta. Kala itu isunya adanya pihak yang tak terima bila saat itu ada pengesahan UU peradilan agama. Padahal semenjak zaman kolonial Belanda lembaga pengadilan agama (dikenal pengadilan serambi) telah eksis.
Tapi kini kok semua yang berbau agama Islam disalah pahami? Ada apa dengan bangsa yang mayoritas penduduknya Muslim ini? Jawabnya persis apa yang dikatakan Mandra dalam sintron Si-Doel Anak Modern: Auh ah gelap!