REPUBLIKA.CO.ID, Dalam perkembangan sejarah peradaban manusia, perubahan menjadi suatu niscaya. Saat ini, era revolusi industri 4.0 sudah tidak asing lagi dan menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi, pemangku kebijakan publik, serta para ekonom. Pasalnya, era ini menuntut konektivitas di segala hal (Internet of Thing), juga diyakini dapat membawa perubahan terhadap perekonomian dunia dan kualitas kehidupan secara signifikan.
Dilansir dari berbagai media dan jurnal, era revolusi industri pertama kali mulai dicetuskan oleh sekelompok perwakilan ahli berbagai bidang asal Jerman, pada tahun 2011 lalu di acara Hannover Trade Fair. Dipaparkan bahwa industri saat ini telah memasuki inovasi baru, di mana proses produksi mulai berubah pesat. Pemerintah Jerman menganggap serius gagasan ini sebagai sebuah gagasan resmi, sehingga membentuk kelompok khusus dalam misi penerapan industri 4.0. selain itu tahun 2015, diperkenalkan kembali dan di follow up oleh Angella Markel di acara World Economic Forum (WEF).
Setelah Jerman, Amerika pun menggerakan Smart Manufacturing Leadership Coalition (MLC), sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari produsen, pemasok, perusahaan, teknologi, lembaga pemerintah, universitas dan laboratorium yang memiliki tujuan untuk memajukan cara berpikir dibalik Revolusi Industri 4.0. Namun, dalam sebuah gagasan selau muncul perdebatan, apakah revolusi Industri 4.0 ini hanya perluasan pada revolusi industri 3.0 ataukah memang inovasi baru dari industri 3.0 karena para ahli menemukan perkembangan yang signifikan, selain Internet of Thing (IoT), muncul big data, percetakan 3D, kecerdasan buatan atau bisa disebut Articifial Intellegence (AI), kendaraan tanpa pengemudi, rekayasa genetika, robot dan mesin pintar.
Di sisi lain, di awal januari 2019 lalu, telah beredar gagasan baru yang muncul dari peradaban Jepang sana. Yaitu society 5.0 disampaikan dalam Forum Ekonomi Dunia 2019 di Davos, Swiss. Gagasan ini muncul atas respon revolusi Industri 4.0 sebagai signifikannya perkembangan teknologi, tetapi peran masyarakat sangat menjadi pertimbangan atas terjadinya revolusi industri 4.0 ini.
Society 5.0 menawarkan masyarakat yang berpusat pada manusia yang membuat seimbang antara kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial melalui sistem yang sangat menghubungkan melalui dunia maya dan dunia nyata. Menurut perdana menteri Jepang, Shinzo Abe menjelasakan dalam World Economic Forum (WEF), “Di society 5.0 itu bukan lagi modal, tetapi data yang menghubungkan dan menggerakkan segalanya, membantu mengisi kesenjangan antara yang kaya dan yang kurang beruntung. Layanan kedokteran dan pendidikan, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi akan mencapai desa-desa kecil."
Sebenarnya, konsep revolusi industri 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Yaitu revolusi industri 4.0 menggunakan kecerdasan buatan (artificial intellegent) sedangkan society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Konsep society 5.0 ini, menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai society 4.0 dalam sejarah peradaban manusia.
Mulai dari society 1.0 manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Pada society 2.0 adalah pertanian di mana manusia sudah mulai mengenal bercocok tanam. Lalu pada society 3.0 sudah memasuki era industri yaitu ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk menunjang aktivitas sehari-hari, setelah itu muncullah society 4.0 yang kita alami saat ini, yaitu manusia yang sudah mengenal komputer hingga internet juga penerapannya di kehidupan.
Jika society 4.0 memungkinkan kita untuk mengakses juga membagikan informasi di internet. Society 5.0 adalah era di mana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan untuk menjalani kehidupan. Sehingga perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi pada kemudian hari.
Memang terdengar sangat utopis terjadi. Apalagi, Indonesia merupakan negara berkembang yang bahkan bisa dikatakan hanya segelintir orang yang mengenal Revolusi Industri 4.0 ataupun society 5.0. Hanya di kalangan akademis yang melek akan kemajuan zamannya, pebisnis yang memang punya kepentingan keberlangsungan usahanya, juga pemangku kebijakan publik yang memperhatikan. Baru hanya segelintir orang.
Institusi pendidikan yang dikategorikan unggulan di Indonesia pun belum menerapkan sistem industri 4.0 dan society 5.0 ini. Dari mulai sistem pendidikannya, cara berinteraksi pendidik dan yang terdidik, serta pemupukan paradigma berpikir modernnya. Adapun komunitas dan organisasi beberapa memang secara mandiri membahas mengenai revolusi industri 4.0 dan society 5.0, tetapi hanya cukup menjadi konsumsi pribadi karena keterbatasan kekuasaan.
Patut juga diapresiasi akan adanya fokus mengenai perubahan sosial ini, bermodalkan kekritisan dan kepekaan anak muda sehingga komunitas dan organisasi mempunyai bekal untuk terus berinovasi dalam setiap individunya maupun dalam lingkup organisasinya. Orang-orang daerah terpencil bahkan mendengar pun tidak, termasuk pejabat-pejabat daerahnya terlalu fokus pada kepentingan pribadi dan partai yang mengusungnya menjadi pejabat. Apalagi rakyat-rakyat yang dipimpinnya. Terutama di Banten, provinsi yang dikategorikan memiliki warga miskin yang terus semakin bertambah.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Banten, periode Maret 2018, selama enam bulan terjadi peningkatan menjadi 7,38 ribu orang. Dari sebelumnya berjumlah 661,36 ribu pada maret 2018, menjadi 668,74 ribu orang pada September 2018. Padahal banyak potensi yang bisa dioptimalkan sumber daya alam yang melimpahnya, juga sumber daya manusia yang bisa dikembangkan potensinya. Tinggal hanya miris yang tersisa. Namun, kata ‘miris’ tidak menyelesaikan permasalahan. Perlu penanganan serius dari pemerintah.
Banten hanya satu contoh kecil di Indonesia yang mempunyai nasib malang. Masih banyak provinsi-provinsi lain yang lebih tertinggal serta yang lebih terpuruk karena ketidaklihaian para pemangku kebijakan publik. Ini menjadi PR kita bersama dalam upaya meningkatka taraf hidup bersama.