Jumat 23 Aug 2019 08:38 WIB

Budak, Manusia yang Terisak di Geladak Globalisasi

Modernisasi sistem kerja menghilangkan konsep perundingan pengusaha-buruh

Yudhiarma MK, M.Si, Manajer Humas BAZNAS
Foto: Dokumen Pribadi
Yudhiarma MK, M.Si, Manajer Humas BAZNAS

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudhiarma MK, M.Si, Manajer Humas BAZNAS

Seperti dalam bahtera Nabi Nuh, saat banjir bandang menenggelamkan dunia, bukankah manusia adalah sederajat sebagai khalifah Sang Khalik di muka bumi, memelihara kelestarian dan kasih sayang terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya. Bukan menyingkirkan sebagian dan membuat mereka seolah-olah lebih rendah dan terisak di ujung geladak globalisasi dan revolusi industri.

Hari ini, 228 tahun lalu, dunia mengenang sejarah perjuangan menentang perdagangan budak dan penghapusan perbudakan. Fakta historis memilukan selama ratusan tahun tentang tragedi humanisme, ketika manusia menghisap darah manusia.

Ratusan cerita telah menginspirasi para akademisi melakukan kajian di kampus-kampus. Ribuan kisah telah menggugah para seniman merangkai karya agung semisal lagu-lagu blues: sebuah genre musik yang membuncah sebagai ungkapan duka lara para mantan budak Afrika di Amerika.

Banyak fakta dan peristiwa telah melahirkan film-film legendaris dari rahim Hollywood, tentang darah yang mengalir di riak Sungai Mississippi, tentang borgol, rantai, cambuk, danau keringat tanpa bayaran di ladang-ladang raksasa, hingga hikayat pilu lainnya yang berurai air mata. Sinema-sinema yang menyentuh bagian terdalam rasa kemanusiaan kita: Lincoln, 12 Years A Slave, Freedom, The Keeping Room, Free State of Jones, The Birth of A Nation, dan sebagainya.

Pada 4 Februari 1794, Prancis meratifikasi undang-undang emansipasi menjadi penghapusan perbudakan. Pada 1 Agustus 1834, Inggris membebaskan seluruh budak di kerajaannya, tetapi mereka masih terikat pada majikan lama dalam bentuk sistem magang. Britania Raya baru bisa menghapuskan perbudakan di seluruh negerinya pada 1838, yang menjadi cikal bakal pergerakan antiperbudakan di Benua Amerika.

Hari ini, 228 tahun lalu, menjelang tanggal 23 Agustus 1791, menjadi awal kebangkitan gerakan penghapusan perdagangan budak Transatlantik. Pada malam di mana meletus revolusi yang mengobarkan bara kebebasan di Santo Domingo.

Pemberontakan terhadap sistem perbudakan itu, berbuah kemerdekaan pada 1804. Peristiwa tersebut mengukuhkan sebutan Republik Haiti sebagai “negara bentukan para pahlawan dari kaum budak”.

Inilah titik balik dalam sejarah umat manusia yang berdampak besar pada perumusan deklarasi HAM universal. Keberanian para budak ini pun mendorong UNESCO, PBB, menetapkan tanggal 23 Agustus sebagai Hari Internasional untuk Mengenang Perdagangan Budak dan Penghapusan Perbudakan.

Ingin menyisir lembaran kelam perbudakan, kunjungi saja Museum Perbudakan di Amerika Serikat: sebuah diorama sejarah yang dibangun pengacara asal New Orleans, John Cummings. Whitney Plantation yang berlokasi di Wallace, Louisiana, dekat kawasan historis River Road ini, adalah saksi bisu perbudakan terparah di AS.

Namun, meski sejarah telah dicatat dan dimonumenkan, tak otomatis menjadi hikmah dan pelajaran. Sebab, saat era semakin canggih dan peradaban semakin mantap, justru masih banyak manusia yang terjebak dalam tragedi yang kini disebut sebagai perbudakan modern (modern slavery). Walau termasuk salah satu bentuk pelanggaran HAM berat, perbudakan masih terjadi hingga kini.

Menurut Protokol Perdagangan Manusia PBB tahun 2000, orang-orang yang terjerat perbudakan modern diperas dan diperah dalam bentuk prostitusi, eksploitasi seksual, buruh tanpa upah, pernikahan paksa dan perdagangan organ tubuh.

Pemicu perbudakan modern adalah ledakan populasi yang mengakibatkan pasokan tenaga kerja melimpah ruah. Faktor lain adalah kemiskinan yang ekstrem dan kondisi rentan seperti perang, pemerintahan yang buruk, perubahan iklim dan bencana alam. Penyebab lain yang juga menyuburkannya adalah korupsi  dan penegakan hukum lemah dan pandang bulu.

Menurut peneliti sosial Kevin Bales yang terlibat dalam penyusunan Indeks Perbudakan Global atau The Global Slavery Index (GSI), diperkirakan 35,8 juta orang di 167 negara mengalami praktik-praktik perbudakan modern. Contoh kasus di Inggris, di mana lebih dari 900 pengguna jasa cuci mobil manual melaporkan masalah perbudakan modern menggunakan program Safe Car Wash.

Aplikasi ini merupakan bagian dari proyek antiperbudakan di Church of England's Clewer Initiative yang didukung oleh Gereja Katolik Santa Marta Group. Pada Oktober 2017, aplikasi ini diluncurkan dengan dukungan Perdana Menteri dan Uskup Agung Canterbury.

Aplikasi ini telah diunduh sebanyak 8.225 kali sejak di-launching. Antara Juni dan Desember tahun itu, aplikasi tersebut telah digunakan sebanyak lebih dari 2.000 kali. Dalam 930 kasus (41 persen), pengguna diberi tahu bahwa ada kemungkinan orang yang bekerja melayani mereka terjebak dalam perbudakan modern dan diminta melapor via telepon ke saluran bantuan (www.pikiran-rakyat.com, 9/4/2019).

Sementara itu, berdasarkan Trafficking in Persons Report 2012, Indonesia merupakan negara sumber utama, tujuan dan transit perdagangan seks dan pekerja paksa perempuan serta anak-anak. Sekitar 1,6 juta TKI ilegal asal RI bekerja di luar negeri. Tak kurang dari 70 persen di antaranya adalah wanita dan anak-anak yang dipekerjakan secara eksploitatif (www.kompas.com, 6/5/2013).

Pada pertengahan Januari 2017, Majalah Tempo menurunkan laporan investigatif. Reportase yang menjadi headline dengan judul “Budak Indonesia di Kapal Taiwan” ini, mengungkapkan betapa buruk dan zalim perlakuan yang diterima pelaut RI di perusahaan asing. Persoalan ternyata bukan hanya saat di atas bahtera, tetapi sebelum pemberangkatan. Banyak calon ABK yang menggunakan dokumen, seperti buku pelaut palsu. Selain itu, perusahaan yang mengirim mereka juga tidak memiliki izin. Akibatnya, perlindungan terhadap mereka sangat lemah.

Sektor ketenagakerjaan, dihantam gelombang perubahan. Globaliasi dan revolusi industri 4.0 juga berpotensi menggulung kaum buruh ke dalam gelombang modern slavery. Betapa tidak, mereka kehilangan akses kepemilikan atas alat produksi. Sebab, era serba digital ini, melahirkan banyak teknoindustri atau industri berbasis komputer. Ini menyebabkan tenaga kerja bertekuk lutut di bawah rezim computerize.

Konsep kerja melalui komputerisasi mendorong relasi yang teramat fleksibel dan berpotensi menghilangkan nilai kemanusiaan dalam pemberian upah. Inilah yang memicu hubungan mitra kerja dengan cita rasa pekerja lepas (freelance) yang lebih menekankan capaian target ketimbang jam kerja.

Modernisasi sistem kerja dalam globalisasi dan revolusi industri 4.0 juga menghilangkan konsep perundingan pengusaha-buruh. Hal ini menyebabkan semakin mundurnya pemenuhan nilai-nilai humanisme dalam hubungan ketenagakerjaan.

Alhasil, kecanggihan teknologi justru semakin memicu perbudakan modern karena harga dan nilai tenaga kerja sudah dikalahkan oleh robot dan komputer. Dunia tentu tak diam merespons fenomena ini. Sejak 2001, perdagangan manusia dan perbudakan disepakati oleh masyarakat internasional sebagai kejahatan yang melanggar HAM.

Pada 1994, UNESCO meluncurkan “The Slave Route Project” yang diharapkan bisa mengidentifikasi isu-isu etik, kultural dan sosial-politik dari sejarah perbudakan yang menyakitkan. UNESCO percaya, dengan mengembangkan beragam pendekatan yang dikaitkan dengan dimensi-dimensi sejarah, memorial, kreatif, edukatif dan peninggalan masa lalu, proyek ini akan memberikan kontribusi besar dalam memperkaya pengetahuan tentang perdagangan perbudakan dan menyebarkan kultur perdamaian.

UNESCO mengundang setiap elemen masyarakat, termasuk otoritas publik, masyarakat sipil, sejarawan, peneliti dan masyarakat awam dalam rangka meningkatkan kesadaran tentang sejarah perbudakan dengan tujuan menentang segala bentuk modern slavery. Di level nasional, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan pesan yang tegas. “Semua negara harus bersatu untuk menyelesaikan masalah perbudakan,” ucap dia usai menandatangani Piagam Deklarasi Antiperbudakan Modern di Istana Wapres, Jakarta, Selasa, 14 Maret 2017 (www.tempo.co, 14/3/2019). Acara tersebut dihadiri para tokoh lintas agama dan aktivis Global Freedom Network.

Pada tataran religius spiritual, banyak ajaran-ajaran mulia yang bisa dijadikan pedoman untuk mencegah modern slavery. Sejarah mencatat, 1.400 tahun yang lalu, Nabi Muhammad telah menunjukkan perjuangan yang luar biasa dalam memerangi perbudakan. Banyak catatan keteladanan beliau dalam melawan sistem yang teramat zalim itu.

Seperti pada kisah penaklukan Kota Makkah, Rasul SAW berjalan di depan pasukan Muslim dan masuk ke Baitullah. Saat itu beliau hanya ditemani tiga sahabat: Utsman bin Thalhah, Usamah bin Zaid, dan satu yang istimewa adalah mantan budak yang dimerdekakan Rasul melalui sahabat Abu Bakar RA. Dialah Bilal bin Rabah dari Etiopia.

Di tengah lautan umat manusia yang multiras, Arab, Persia, Asia dan Afrika, Rasul memerintahkan Bilal naik ke atap Kakbah untuk mengumandangkan azan dan meresmikannya sebagai muazin pertama di dunia. Dan lebih tegas lagi, melalui Sang Nabi, Allah menandaskan tindakan pencegahan dan penghapusan perbudakan atau riqab dengan memasukkannya sebagai bagian dari 8 asnaf zakat, sebagaimana tertuang dalam Alquran Surah Al-Tawbah ayat 60.

Seperti dalam bahtera Nabi Nuh, saat banjir bandang menenggelamkan dunia, bukankah manusia adalah sederajat sebagai khalifah Sang Khalik di muka bumi, memelihara kelestarian dan kasih sayang terhadap sesama makhluk ciptaan-Nya. Bukan menyingkirkan sebagian dan membuat mereka seolah-olah lebih rendah dan terisak di ujung geladak globalisasi dan revolusi industri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement