REPUBLIKA.CO.ID, Selamat untuk Yazid, Anggina Rafitri, dan Aysa Aurealya Maharani--murid SMAN Palangkaraya--dan guru pembimbing siswa, Helita, atas gelar juara pada Youth National Science Fair 2019 (YNSF) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Prestasi ini berlanjut dengan perolehan medali emas, menyisihkan peserta dari 22 negara dalam kompetisi World Invention Olympic di Seoul, Korea Selatan. Hadiah ini ganjaran atas penemuan tanaman obat yang diklaim bisa mengobati kanker.
Berita ini menjadi viral di media sosial. Sebagai peneliti obat herbal, penulis tergelitik mengikuti informasinya. Penemuan murid SMA ini mempunyai nilai tinggi dalam meletakkan dasar penelitian lebih lanjut menemukan obat antikanker dari bahan tanaman.
Mereka meneliti tanaman bajakah yang diolah menjadi sediaan seperti teh lalu diujikan pada mencit yang diinduksi dengan senyawa tertentu sehingga hewan uji mengalami kanker. Selanjutnya, larutan bajakah diberikan selama 50 hari. Kanker yang diderita mencit bisa sembuh dengan pemberian larutan tanaman bajakah. Mencit yang diberi air bawang tiwai mati pada hari itu. Penelitian ini menggunakan seekor tikus masing-masing.
Mereka melaporkan, dari uji pendahuluan untuk mengetahui kandungan kimia dari bajakah diperoleh hasil terdapat senyawa golongan fenolik, steroid, tanin, alkaloid, saponin, dan terpenoid. Golongan senyawa diperoleh dari penapisan awal dengan cara cukup mudah.
Agar temuan ini bisa menjadi obat penyembuh kanker, beberapa hal perlu dilakukan seperti uji aktivitas antikanker, uji keamanan, dan pembuatan sediaan obat. Sampelnya bisa berupa ekstrak bajakah atau dapat pula senyawa murni yang dipisahkan dari bagian tanaman.
Uji antikanker ada beberapa tahap. Pertama, uji in vitro, yaitu menggunakan kultur sel kanker yang diisolasi dari manusia penderita kanker. Lalu, beberapa dosis dari ekstrak bajakah diberikan, didiamkan beberapa lama, dan diamati pertumbuhan sel kankernya.
Hasilnya dibandingkan dengan kultur sel lini yang tidak diberikan ekstrak bajakah sebagai kontrol negatif dan senyawa obat antikanker yang sudah paten sebagai kontrol positif. Bila uji in vitro berhasil, dilanjutkan dengan uji in vivo, yaitu menggunakan hewan model seperti yang dilakukan mereka dengan minimal lima hewan uji setiap perlakuan. Besar dosis ekstrak bajakah dibuat bervariasi, 3-5 konsentrasi.
Hewan uji diperlakukan juga dengan obat paten sebagai kontrol positif. Sebelum sampel uji diberikan, hewan uji diinduksi dengan senyawa kimia khusus sehingga hewan menderita kanker.
Pada saat tertentu sampel uji diberikan ke semua kelompok hewan uji dan diamati berkala perubahannya. Jika sukses, dilanjutkan uji klinis, langsung ke manusia. Sebelum ke uji klinis, harus ada uji toksisitas atau uji keamanan dari sampel bajakah guna memastikan tidak beracun.
Uji keamanan awal menggunakan hewan model, yakni uji toksisitas akut, subkronis dan kronis, serta uji toksisitas spesifik seperti karsinogensis (menyebabkan kanker), mutagenesis (kerusakan pada gen), teratogenesis (merusak janin), dan uji toksisitas lainnya.
Setelah semua uji toksisitas memberikan hasil bahwa sampel bajakah tak memberi reaksi beracun, dilanjutkan uji klinis fase 1 atau uji toksisitas pada manusia. Hal ini memastikan keamanan sampel uji sehingga tidak berefek samping yang tidak bisa ditoleransi. Responden pada fase ini adalah manusia sehat sekitar 30 orang.
Setelah fase 1, masuk uji klinis fase 2 pada pasien penderita kanker. Jumlah responden idealnya sudah melebihi 100 orang. Di samping itu, ada pasien yang diberi sampel placebo, yaitu sampel mirip sampel uji tetapi tak mengandung sampel dari bajakah.
Sampel placebo sebagai kontrol negatif. Khusus untuk uji antikanker pada pasien, perlu pertimbangan ketat karena pasien kanker umumnya membutuhkan obat berkhasiat agar saat penelitian tidak menimbulkan efek tak diinginkan.
Setelah fase 2, uji klinis fase 3 dilakukan dengan melibatkan lebih banyak pasien pada beberapa rumah sakit di daerah berbeda. Hal ini dikenal dengan multicenter. Ratusan sampai ribuan pasien menerima pengobatan dengan sampel uji tanaman bajakah.
Jika berhasil melewati tahap 3, obat dapat didaftarkan ke BPOM guna mendapat izin obat baru. Pada uji klinis, perlu diketahui juga nasib obat bila sudah diminum manusia. Melengkapi uji aktivitas ini, penelitian tentang sediaan apa yang dibuat, semisal tablet, kapsul, suspensi, injeksi juga membutuhkan penelitian tidak ringan.
Melihat uraian ini, betapa lamanya penelitian menjadikan bajakah sebagai obat antikanker. Bila di akhir penelitian tidak menunjukkan hasil memuaskan dari segi khasiat dan keamanan maka tak bisa didaftarkan sebagai obat antikanker.
Kendati penemuan obat dari tanaman ini panjang, mahal, dan berisiko gagal, beberapa obat yang sekarang digunakan secara komersial dimurnikan dari tanaman. Kalau bajakah yang diinspirasikan murid-murid ini mengandung senyawa antikanker yang paten, bisa jadi pada akhirnya senyawa yang dimurnikan dari bajakah bisa menambah deretan obat antikanker pilihan yang berasal dari tanaman.
Tentu perlu dana cukup besar serta peneliti andal dari berbagai bidang seperti farmasi dan kedokteran. Akan menjadi sejarah yang mematahkan realitas betapa miskinnya obat dari dalam negeri padahal memiliki keragaman hayati yang termasuk terbesar di dunia.
Namun, jika tahapan tersebut belum bisa dilakukan, masih ada peluang memanfaatkannya. Cara paling sederhana adalah mengolahnya menjadi serbuk atau dalam bentuk teh celup, dengan catatan tidak boleh diklaim mengobati kanker.
Pemanfaatan lainnya dalam bentuk minuman suplemen, tetapi tidak bisa diklaim untuk mengobati kanker. Tingkatan agak lebih tinggi adalah diolah menjadi obat herbal kategori jamu atau obat tradisional. Hal ini tak perlu uji ilmiah, cukup klaim empiris; yaitu berdasarkan penggunaan turun-temurun dan tradisional untuk mengobati kanker.
Klaim khasiat kategori ini sebagai obat herbal untuk membantu pengobatan kanker. Artinya, pasien tetap menggunakan obat kanker konvensional. Sebagian besar obat herbal yang beredar di Indonesia adalah kategori jamu ini.
Kategori obat herbal berikutnya adalah bajakah menjadi obat herbal terstandar. Klaim khasiatnya sudah harus dibuktikan berdasarkan uji praklinis yang terdiri atas uji in vitro dan in vivo serta bahan bakunya sudah harus distandardisasi.
Kategori terakhir adalah fitofarmaka yang klaim khasiatnya berdasarkan uji praklinis dan uji klinis pada manusia. Hal yang membuat inspirasi dari berita viral ini adalah terbukanya informasi soal bajakah yang bisa menjadi sampel penelitian dalam menemukan obat antikanker. Maka, peneliti yang berkecimpung dalam penemuan obat herbal atau obat dari tanaman bisa melanjutkan penelitian ke tahap berikutnya. n
TENTANG PENULIS: ELFAHMI, Dosen Sekolah Farmasi ITB, Kepala Pusat Penelitian Biosains dan Bioteknologi ITB