REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Wibowo, Kapusdatin dan Humas BNPB
Tahukah Anda bahwa kita hidup di wilayah rawan bencana? Kita memiliki tantangan untuk melindungi dan memperkuat masyarakat dari ancaman dan risiko bencana. Hal tersebut disebabkan karena beberapa faktor.
Wilayah Tanah Air kita ini berada pada kawasan cincin api pasifik yang secara geografis dan klimatologis memiliki karakteristik ancaman bahaya yang berbeda. Sejumlah 127 gunung api aktif menyebabkan jutaan warga terpapar potensi bahaya erupsi vulkanik gunung api dengan kategori sedang hingga tinggi.
Di sisi lain, faktor alam lain, seperti pergerakan tiga lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo Australia di bagian selatan, lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana di sebagian besar wilayah Indonesia) dan disertai 5.590 daerah aliran sungai (DAS) dapat ditemui di negeri yang kita cintai ini.
Cincin api pasifik dan lempeng tektonik aktif tersebut mampu mengakibatkan risiko bencana geologi letusan gunung api, gempa bumi, tsunami maupun gerakan tanah atau longsor. Sementara itu, faktor iklim dan cuaca dapat berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim sehingga pada wilayah perairan laut Indonesia cenderung berpotensi menimbulkan berbagai jenis bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, cuaca dan gelombang ekstrem, abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Tingginya potensi ancaman dan jumlah masyarakat yang terpapar risiko bencana menyebabkan perlunya meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat secara terus menerus sehingga masyarakat di seluruh Indonesia dapat mengetahui bagaimana harus merespon dalam menghadapi situasi kedaruratan bencana.
Sementara itu, belajar dari negeri Sakura, suatu survei pada kejadian gempa bumi Hanshin-Awaji Jepang (1995) menunjukkkan bahwa 34,9 persen korban dapat selamat karena upaya penyelamatan diri mandiri, 31,9 persen selamat dengan bantuan anggota keluarga, 28,1persen selamat karena pertolongan teman/tetangga, 2,6 persen selamat ditolong orang yang pada saat kejadian dekat dengan korban, 1,7 persen dibantu oleh tim penyelamat, dan 0,8 persen lainnya. Survei tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar korban selamat adalah karena dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya terutama keluarga, bukan dari tim penolong.
Karena itu, kesiapsiagaan dan keterampilan masyarakat, khususnya keluarga menjadi kunci utama keselamatan dalam menghadapi bencana. Sehingga menjadi penting untuk mewujudkan Keluarga Tangguh Bencana (KTB) di seluruh Indonesia. Mengenai salah satu upaya kesiapsiagaan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berpesan kepada masyarakat tentang salah satu cara penyelamatan diri dari gempa bumi dan tsunami yaitu *pola 333*.
"Apabila kita merasakan gerakan gempa sekitar 30 detik, kita memiliki golden time atau peluang evakuasi selama 3 menit untuk menuju ke ketinggian 30 meter."
BNPB mengajak semua pihak untuk mewujudkan KTB. "Ayo, kita bangun keluarga dan masyarakat Indonesia tangguh!"