REPUBLIKA.CO.ID, Perencanaan untuk membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur terus dimatangkan. Tahapan-tahapan pembangunannya sedang dikaji secara detail, termasuk masalah pendanaan dan pola kemitraannya.
Saat bertemu dengan para pimpinan media massa di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (3/9), Presiden Joko Widodo menyampaikan, ada skema baru pola pendanaan yang bisa dilakukan. Presiden menyebut skema itu berupa penjualan lahan negara di lokasi ibu kota baru kepada masyarakat.
Sebagaimana perencanaan semula, lahan yang disiapkan untuk ibu kota baru ini seluas 40 ribu hektare yang disebut Presiden berlokasi di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara. Sepuluh ribu hektare di antaranya akan dibangun sebagai wilayah inti ibu kota baru. Lahan sisanya seluas 30 ribu hektare inilah yang bisa dijual langsung oleh pemerintah kepada masyarakat. Dengan persyaratan, pembeli lahan adalah masyarakat sebagai individu, bukan korporasi.
Jokowi memberi perumpamaan, jika per meter persegi dilepas pada harga Rp 2 juta, pemerintah bisa meraup dana dari penjualan lahan 30 ribu hektare itu hingga Rp 600 triliun. Dana yang lebih dari cukup guna membiayai pemindahan ibu kota yang disebut-sebut memerlukan Rp 466 triliun.
Dalam konsep awal, sekitar 19 persen dari total kebutuhan pemindahan ibu kota yang Rp 466 triliun itu akan didanai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). "Tapi, enggak tertutup kemungkinan bisa tanpa APBN sama sekali," kata Jokowi. Apalagi, bila skema penjualan lahan langsung ke masyarakat itu bisa direalisasikan.
Mengenai siapa yang dibolehkan membeli lahan itu, Presiden mengungkapkan, banyak BUMN yang sebenarnya berminat membeli lahan dan mengelolanya. Demikian pula dengan para pengembang. Namun, Jokowi lebih memilih untuk memberikan keuntungan langsung kepada individu masyarakat, bukan korporasi. Pembatasan ini diharapkan bisa menghindarkan adanya aksi spekulatif.
Lantas, bagaimana memastikan bahwa pembelian lahan tersebut tidak jatuh kepada mafia tanah? Bagaimana pula agar harga tidak dipermainkan oleh para calo yang bisa membuat masyarakat tak lagi mampu membelinya? Apakah ada jaminan status kepemilikan lahan nantinya tidak bermasalah? Dan kekhawatiran lainnya yang bisa muncul belakangan.
Jokowi menepis keraguan itu dengan mengungkapkan bakal dibentuknya semacam badan otoritas yang mengurusi semua keperluan tersebut terpenuhi. Karena bukan tak mungkin, ada celah yang bisa dimainkan sehingga pihak tertentu bisa memborong sejumlah lahan untuk kepentingan bisnis kelompoknya. Ada penguasaan lahan yang bertendensi terjadinya monopoli oleh grup tertentu. Apakah ini memungkinkan?
Salah satu cara guna menghindarkan itu terjadi adalah tanah yang dibeli harus dibangun dalam jangka waktu dua tahun. Pola ini memungkinkan tidak ada lahan yang menganggur usai dibeli pihak swasta. Pola ini juga bisa meniadakan permainan harga.
Nah, badan otoritas inilah yang akan membuat persyaratannya, melengkapi hak dan kewajiban pembelian dan penjualan lahan. Kepastian hukum dan aturan jual-beli ini mesti dituntaskan secara paripurna. Harus diminimalisasikan adanya celah permasalahan hukum atau gugat-menggugat pada kemudian hari. Sebab, kita telah memiliki acuan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Jangan sampai, penjualan lahan ke masyarakat secara langsung itu bertentangan dengan UU yang ada.
Apakah menurut hukum agraria lahan negara dibolehkan dijual kepada swasta atau individu masyarakat atau pihak lain? Penjelasannya diperlukan karena bisa berdampak pada minat masyarakat membeli. Buat apa membeli bila tidak bisa memiliki? Badan otoritas yang akan dibentuk tadi mesti mendefinisikan secara perinci apa maksud lahan negara yang dijual kepada swasta.
Kepastian hukum atas status lahan jelas berdampak pada seberapa besar minat masyarakat nantinya untuk membeli. Bila dilihat dari sisi konsep, ibu kota baru itu benar-benar bisa menjadi impian untuk hunian dan tempat tinggal.
Ibu kota baru ini memang dirancang menjadi area yang sehat, ramah keluarga, ramah anak, ramah pendidikan, dengan fasilitas infrastruktur yang paripurna kelas ibu kota negara. Sarana dan prasarana transportasi berkonsep mobilitas massal yang menggunakan moda ramah lingkungan. Terbayang hidup di ibu kota baru tanpa polusi dan kemacetan.
Namun, pemindahan ibu kota ini bukanlah sekadar memindahkan kantor pemerintahan. Ibu kota baru ini diharapkan bisa menjadi magnet baru tumbuhnya pusat-pusat perekonomian. Kita tentu berharap, magnet yang mewujud adalah gaya menarik, bukan gaya menolak. Ibu kota baru harus memberi daya tarik bagi masyarakat untuk menggerakkan perekonomian nasional.