Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Pada tahun 1999, di papan tulis yang ada dalam ruang sempit kantor Barnas (Barisan Nasional) di bilangan Gatot Subroto, Jakarta terpampang karikatur BJ Habibie. Gambarnya menarik tapi bernada melecehkan. BJ Habibie di situ digambarkan sebagai seorang anak lucu berkepala besar dan bertubuh kecil dengan mata melotot.
Atas gambar itu saya pun maklum. Barnas usai reformasi adalah kelompok yang paling getol ‘menyerang Habibie’. Berbagai tokoh ada di dalamnya. Salah seorang yang saya ingat betul adalah sosok Kemal Idris. Sosok ini menarik selain sosok seorang militer sepuh kala itu. dia juga sosok yang terkenal vokal mengecam Habibie. Sosok dia berbeda dengan salah satu tokoh tentara lainnya, misalnya AH Nasution yang kala itu diberbagai kesempatan secara terbuka mendukung BJ Habibie.
Tak hanya soal karikatur yang bernada melecehkan, ketika digelar jumpa pers para tokoh Barnas pun ramai-ramai mengecamnya. Berbagai hal mereka semburkan, mulai dari Habibie antek Suharto, kerjanya hanya bikin boros negara, presiden yang tak layak, atau berbagai hal pejoratif lainnya.
Bahkan dalam jumpa pers itu wartawan yang bertanya ikut mengeluarkan opini yang mendegradasi sosok BJ Habibie. Istilah gampangnya: kalau ada kucing mati tertabrak mobil di jalan pasti salah Habibie yang kala itu menjadi presiden menggantikan Soeharto. Pertemuan di Barnas yang terjadi di sore itu memang penuh caci maki kepadanya.
Tak hanya ada di Barnas, caci maki juga tersembur dari mulut para tokoh yang terkenal. Saya ingat mereka mungkin kali ini salah satunya ada yang sibuk mengucapkan bela sungkawa atas wafatnya Habibie dan dimuat di media massa.
Saya ingat betul kala itu tokoh tersebut juga sibuk ikut mengecam Habibie habis-habisan. Ungkapan gerutuannya saya dengar langsung ketika naik mobil sepanjang perjalanan dari Bandara Soekarno-Hatta ke Menteng. Lagi-lagi sama dengan para aktivis Barnas, Habibie dinyatakan layaknya ‘Presiden jadi-jadian’ yang tanpa prestasi.
’’Habibie adalah sosok yang gagal jadi jadi manusia karena hanya kenal teknologi. Dia tahu pesawat, tapi masa dia tak tahu kawasan Glodok?’’ gerutu tokoh itu.
Dan kala itu memang lagi ramai berita atas pengakuan Habibie yang tak tahu kawasan perdagangan elektronik Glodok berada di mana. Dia mengaku terus terang bila sepanjang hidupnya hanya dua kali datang ke sana. Mengapa? Jawab Habibie karena sibuk bekerja karena menjadi direktur utama dibegitu banyak perusahaan strategis negara.
’’Saya hampir-hampir tak punya waktu dan libur,’’ kata Habibie. Pengakuan jujur ini —karena ada suasana anti Habibie pasca rusuh reformasi itu— kemudian dipelintir media menjadi hal bernada menyudutan. Dan tokoh ini saat itu termakan. Media pun menjadikannya pernyataan Habibie sebagai bahan bulian.
Ya, bila kemudian Habibie usai menjabat presiden dikenang sebagai sosok berprestasi segudang yang tak hanya piawai membangkitkan penguasaan teknologi di Indonesia, saat menjabat sebagai presiden dia juga berhasil mencegah bangsa ini masuk ke jurang ‘Balkanisasi’. Kondisi konomi yang sangat morat marit yang disitilahkan layaknya terjadi tubrukan masal mobil di jalan tol, kala itu berangsur membaik.
Salah satu tandanya adalah mampu menurunkan nilai kurs rupiah dari Rp 17.000/dolar menjadi Rp 6.000 per dolar. Coba bandingkan dengan kondisi Indonesia hari ini di mana kurs dolar AS terhadap Rupiah ajeg pada kisaran angka Rp 14.000/dolar. Jadi sepeninggalan Habibe sebagai presiden ekonomi negara malah maju apa mundur?
Apakah Habibie terganggu dengan segala ocehan yang menyerangnya? Jawabnya ternyata tidak sama sekali. Dalam berbagai kesempatan saat itu Habibie mengatakan tak ada waktu untuk mendengarnya karena dirinya sibuk bekerja saja. Dan ini masuk akal, di dalam setaip rapat kabinet suasana penuh gairah seperti yang sering dikatakan mendiang Adhi Sasono.
’’Habibie sangat rasional dan membiarkan debat terbuka di sidang kabinet. Dia pegang semua datanya. Misalnya dia berani debat dengan menteri ekonomi karena dia sendiri tahu mengenai apa yang terjadi di bursa efek dunia pada saat itu juga. Ada enam komputer yang ada di samping Habibie tiap hari. Jadi sebelum rapat kabinet semua data telah dibacanya,’’ kisah Adhi Sasono.
Dalam praktik keseharian saya pun lihat langsung betapa akrabnya Habibie dengan perangkat komputer. Tahukah anda apa yang dilakukan Habibe setiap hari saat menjadi presiden dalam perjalanan dari rumahnya yang berada di Kuningan hingga Istana Negara? Jawabnya membaca dan melihat isi komputer jinjing yang dibawanya.
Praktik ini acapkapkali terlihat sekilas ketika Habibie hendak ke luar dari mobil kepresidenan saat masih terlihat membaca benda elektonik tersebut. Persoalan dengan dunia internasional tak ada kendala karena sejak kecil hingga dewasa Habibie memang ‘gape’ berbicara dengan banyak bahasa asing.
‘’Bos saya itu memang gape bahasa asing sejak kecil. Dia kan sekolah sejak zaman Belanda dan kemudian sekolah di luar negeri sebelum dipanggul pulang,’’ kata aktivis legendaris Malari Dr Hariman Siregar. Dia selalu memanggil Habibie sebagai bos karena kala Habibie menjadi presiden dia adalah salah satu orang terdekatnya.
’’Sudahlah dia orang pintar. Tak bisa dibantah Habibie itu memang keren,’’ kata Hariman lagi.
Keterangan foto: Habibie dan Ainun saat melambaikan tangan saat ke luar dari arena sidang wakil rakyat di Gedung Parlemen Senayan. Kala itu terdengar anggota parlemen riuh berteriak mencemooh dengan kata 'huuu' kepadanya. Pidato pertanggungjawaban Habibie ditolak sehingga dia tak bersedia maju dalam pemilihan presiden.
Dan kenangan akan sosok Habibie yang tabah atas segala hujatan menjadi kenangan Lukman Hakiem, mantan anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Dia tertawa kecut ketika mengenangkan betapa Habibie sempat tidak dihargai para politisi meski dia sudah begitu nyata memberikan kontribusi kepada negara. Dalam media sosial pagi ini dia menulis begini:
CEMOOOH DAN SENYUM. Selamat jalan Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie (1936-2019) Presiden ketiga (atau keempat) Republik Indonesia (1998-1999).
Barangkali inilah satu-satunya Presiden RI yang sah, yang ketika memasuki ruang sidang paripurna DPR/MPR disambut oleh para anggota MPR/DPR "yang terhormat" itu dengan teriakan cemooh: "Huuuu....!"
Dan Presiden Habibie menyambut teriakan cemooh itu dengan senyum lebar dan lambaian tangan. Dan saya masih ingat wajah-wajah siapa yang berteriak.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu.