REPUBLIKA.CO.ID, Bacharuddin Jusuf Habibie meninggalkan kita dengan senyum. Senyum bahagia karena telah menorehkan mahakarya yang tak ternilai harganya. Tak hanya untuk keluarganya, tapi warisan intelektualnya dirasakan secara luas seluruh warga dunia.
Terlahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, Habibie kecil dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul dengan siapa pun. Sosok sederhana yang bersahaja, tapi penuh dengan karisma karena kebeningan budi pekerti dan kecerdasan pikiran di atas rata-rata.
Kegigihan tekad demi menggapai asa mengkristal dalam dirinya. Pergaulannya yang mengglobal menyebabkan Habibie didapuk menakhodai banyak perusahaan asing dalam bidang kedirgantaraan. Bahkan, hak cipta hasil kreasi Habibie sudah tak berbilang banyaknya.
Di antaranya adalah keenceran otak Habibie dalam menelurkan rumus "crack". Formulasi matematika yang menjadi salah satu terobosan terpenting dalam mengurangi jumlah kecelakaan pesawat komersial di seluruh dunia. Lantaran rumusan inilah dan kegemarannya memecahkan permasalah pelik yang menjadikan Habibie dijuluki teman-temannya sebagai "Mr Crack".
Panggilan untuk memajukan bangsanya menjadikan Habibie tak berhenti untuk terus berkarya. Habibie membidani kelahiran industri penerbangan nasional, yakni PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) yang kemudian berganti nama menjadi PT Dirgantara Indonesia. Perusahaan nasional ini sukses menerbangkan CN-235 maupun versi pengembangannya, yakni N-250.
Berkiprah sebagai teknokrat tak membuatnya teralienasi dengan ilmu teknik saja. Habibie banyak berkontribusi dalam menggairahkan perpolitikan sosial nasional. Mulai dari kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang diikuti dengan terbitnya Harian Umum Republika, pengiriman anak-anak bangsa berprestasi melalui program beasiswa Habibie, hingga posisi puncak sebagai presiden ke-3 Republik Indonesia.
Kita bisa belajar banyak bagaimana Habibie mengurai benang kusut krisis moneter 1998. Krisis ekonomi yang menyebabkan sejumlah negara di ASEAN terpuruk, tapi Habibie dengan kecermatannya mampu mengembalikan muruah makroekonomi Indonesia.
Kepiawaiannya memecahkan rumus fisika dan matematika dia analogikan dalam mencari solusi persoalan ekonomi. Sejumlah indikator ekonomi makro pun menuju titik kestabilan saat krisis moneter menerjang.
Namun, itulah Habibie. Sukses membawa masa-masa sulit selama 17 bulan memerintah sebagai presiden ke-3 RI, Habibie justru merendah dengan mengatakan pulihnya kondisi perekonomian ketika itu tak lepas dari andil semua pihak.
"Cara berpikir saya itu harus berlaku untuk umum. Dalam hal ini, saya mencari approximately (rata-rata)," kata Habibie saat ditemui Republika di kediamannya di bilangan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Ahad (19/6/2016). Republika mewawancarainya saat itu terkait liputan khusus "80 Tahun Habibie".
Kecerdasannya tak hanya dalam ranah iptek, tapi juga kecemerlangan keimanan dan ketakwaan atau biasa Habibie menyebutnya sebagai imtak. Dalam kaitan ini, Habibie seakan berada pada tingkatan makrifat--memahami filosofi terdalam dari ilmu Ilahi. Pada level inilah, Habibie telah menemukan hakikat Tuhannya: cinta Ilahi. Cinta yang mengubur semua kecintaan kecuali cinta kepada-Nya.
Tak heran bila Habibie bisa menyelaraskan kehidupan beragama dalam membangun bangsa. Habibie bisa menampilkan Islam yang kafah, Islam yang rahmatan lil 'alamin. Islam yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Berpadulah dalam dirinya kecerdasan iptek dan imtak. Perpaduan yang tak mudah ditemukan saat ini: sosok seideal Mr Crack dengan karakter paripurna yang melekat padanya.
Kini, senyum Eyang Habibie adalah senyum semua anak bangsa. Berpulangnya Habibie kepada Sang Pemilik, tak menyurutkan semangat untuk berkarya terbaik bagi bangsa. Semangatmu terus menginspirasi kami. Eyang, selamat jalan...! Terima kasih atas segala jasamu.