Oleh: Edwin Dwi Putranto, Jurnalis foto Republika
Pertengahan 2016, Redaksi Republika berencana untuk membuat edisi khusus mengenai perjalanan 80 tahun BJ Habibie. Tampilan muka dan halaman dalam, rencananya akan menampilkan sosok Presiden ketiga Indonesia tersebut secara detail.
Konsep edisi khusus pun dibahas oleh para awak Redaksi Republika. Tak lupa, jadwal wawancara tatap muka langsung dengan salah satu pencetus berdirinya koran Republika itu diagendakan. Proses wawancara sempat tertunda beberapakali karena faktor kesehatan pak Habibie.
Akhirnya jadwal wawancara disepakati pada Ahad (19/6/2016) di Patra Kuningan, Jakarta, tempat kediaman Habibie. Sebelum proses wawancara dilangsungkan, saya berdiskusi dengan Kepala Desain dan Layout Republika mas Kumara Dewatasari untuk mencari ide sekiranya apa yang bisa kita tampilkan sebagai foto cover edisi khusus Habibie tersebut.
Hal yang terlintas di kepala kami berdua saat itu tentang seorang BJ Habibie, tentunya adalah keahliannya di bidang industri pesawat terbang. Opsi Habibie memegang mock up pesawat Gatot Kaca N250 sempat terlintas. Namun mas Kumara kemudian mengarahkan ke hal yang lebih simpel, yakni Habibie menerbangkan pesawat dari kertas.
Saya setuju dengan hal tersebut karena lebih mudah untuk diaplikasikan. Sederhana, namun kuat secara simbol. Sebenarnya Memotret profil Habibie sudah pernah saya lakukan sebelumnya, tapi sesi pemotretan kali ini menjadi spesial bagi saya karena dituntut untuk bisa menampilkan visual berbeda dari sosok BJ Habibie.
Nah, beberapa hari sebelum wawancara dilaksanakan, saya mencoba untuk melakukan simulasi pemotretan dibantu oleh istri di rumah. Mulai dari tata lampu dan reka adegan yang nantinya akan saya terapkan saat melakukan pemotretan nanti. Tak lupa, saya meminta istri untuk membuatkan pesawat dari kertas.
Saat sesi wawancara, Selasa 19 Juli 2016, saya bersama rombongan redaksi Republika yang berjumlah sembilan orang dan juga Pemimpin Redaksi Republika Irfan Junaedi diterima pak Habibie di ruang perpustakaan pribadi beliau yang biasa digunakannya untuk menjamu tamu. Proses wawancara berjalan santai dan penuh keakraban, sampai-sampai durasi wawancara menjadi lebih panjang dari yang telah ditentukan.
Selesai wawancara, sesi foto pun dimulai. Ternyata saat itu saya diinfokan kalau tidak diberikan banyak waktu untuk melakukan pemotretan dikarenakan sudah ada media lain yang menunggu untuk melakukan wawancara juga. Walhasil saya hanya melakukan dua kali pengambilan foto. Pesawat kertas (berjumlah tiga buah) yang sudah saya siapkan dari rumah, saya berikan ke pak Habibie sambil menjelaskan bahwa konsep pemotretannya adalah pak Habibie sedang memegang pesawat kertas dan kemudian menerbangkannya.
Percobaan pertama berjalan lancar, tapi dirasa masih kurang mendapatkan ekspresi wajah yang pas. Saya minta untuk dilakukan sekali lagi, dan beliau pun menuruti. Itu merupakan kesempatan terakhir untuk sesi foto. Sambil mengecek teknis kamera, saya pun memberikan arahan dan aba-aba kapan pak Habibie melempar pesawat kertas itu.
"Ya pak, silahkan dilempar", ujar saya sambil melihat dari jendela bidik kamera. Pesawat kertas itu pun terbang, sekaligus mengakhiri sesi pemotretan. Tak lebih dari 10 menit. Rasanya kurang puas karena waktu yang terbatas.
Selesai pemotretan, saat saya menunjukkan hasil foto, pak Habibie bertanya, pakai kamera apa? Nikon pak, jawab saya. "Saya ada kamera Leica", ujarnya.
Sambil bergurau saya menjawab, "kamera mahal itu Pak". "Nanti kamu juga bisa beli," kata pak Habibie menutup pembicaraan hari itu.
Nah, tiga tahun berselang, tepatnya pada 11 September 2019, pak Habibie wafat. Foto pak Habibie tengah "menerbangkan" pesawat kertas itu kembali muncul di banyak postingan sosial media untuk ucapan belasungkawa dengan beragam variasi, mulai dari sketsa, kartun, animasi dan video.
Sayangnya tidak banyak yang mencantumkan sumber atau kredit foto yang notabene adalah milik Republika. Republika sendiri, kini kembali menampilkan foto tersebut sebagai foto utama koran edisi wafatnya pak Habibie.
Kisah tentang Habibie dan pesawat kertas akan selamanya membekas di dalam diri saya. Karena pengalaman itu tentu tak akan berulang.
Selamat jalan pak Habibie, semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik disisi-Nya.