Oleh: Fahmi Mada, Jurnalis Senior
Sekali waktu saya mengunjungi sebuah mall besar bersama karib saya di Jakarta Selatan. Ada kisah menarik dengan sebuah tulisan yang terpampang "Kawasan Bebas Merokok." Apa yang tergambar dalam pikiran Anda. Ini pasti warning untuk tidak merokok di area tersebut.
Tak demikian dengan karib saya tadi. "Nyoe keuh ku preh-preh dari meunoe keun," ujarnya dalam bahasa Aceh. Artinya sejak tadi ia menunggu adanya tulisan tersebut. Tangannya langsung merogoh rokok dan korek untuk menyalakan kreteknya.
Namun, baru beberapa hisapan, datanglah petugas keamanan mall. Petugas ini rada kikuk. Kawan saya badannya tegap, berotot dan rambutnya cepak, mirip postur tentara.
Melihat kekikukan sang petugas, teman saya menyapanya, "Ada apa dek?" Sekuriti ini makin ciut. "Maaf pak di sini tak boleh merokok. Ini aturan dari pihak manajemen," jelasnya santun.
Si kawan saya yang sedang menikmati rokoknya tersenyum. Dengan penuh wibawa ia menjelaskan, tak akan merokok di tempat ini bila tak ada perintah. "Kamu baca tulisan ini baik-baik. Kawasan Bebas Merokok. Artinya pengunjung bebas merokok di sini," sebutnya dengan oktaf tinggi.
Si petugas terlihat sedikit grogi dan menjawab dengan kalem bahwa area tersebut tak dibolehkan merokok. "Tapi untuk bapak tak apa-apa, sekali ini bolehlah," tuturnya penuh hormat.
Sejurus petugas itu hendak pamit, sebelum pergi, teman saya ini menyalaminya sepuluh ribu rupiah. "Ini buat kamu untuk beli kopi. Jangan lupa lapor ke bosmu untuk belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar," sebutnya ramah.
Ternyata pemilik mall dan perkantoran banyak mengabaikan kaidah bahasa. Selain itu kita acap menemukan tulisan food court, coffe, ground, under ground, basement dan lainnya. Kesannya bahasa Indonesia kita itu miskin sekali, tak ada padanan kosakata untuk menulis makna tersebut.
Saya Asli Indonesia!