REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rudi Agung, Pemerhati Masalah Sosial
Dua hari terakhir, 23-24 September, bangsa ini dikejutkan dengan aksi mahasiswa besar-besaran di segala penjuru Indonesia. Para mahasiswa di pelbagai kota melakukan unjuk rasa menentang pengesahan beberapa rancangan undang-undang yang dinilai mengecewakan.
Seperti biasanya, sosial media dan Whatsapp group dipenuhi pelbagai foto dan video jalannya aksi. Namun, hati menjadi masygul manakala tidak sedikit yang menunjukan tayangan video aksi anarkis dalam penanganan unjuk rasa.
Seorang mahasiswa mengibarkan bendera merah-putih saat berhasil masuk ke kantor DPRD Sumatera Barat, di Padang, Rabu (25/9/2019).
Bahkan, sebuah video yang memperlihatkan aparat masuk masjid dengan memakai sepatu menjadi viral. Awalnya, polisi membantah video itu. Belakangan, pihak Polda Sulsel akhirnya mengakui dan meminta maaf setelah video itu menjadi konsumsi media massa.
Video itu membawa kita seolah bukan di Indonesia. Laiknya menonton tayangan tentara Zionis Israel yang memburu para pemuda Palestina di Masjidil Aqsha. Saya sempat meyakinkan diri jika video itu bukanlah di negeri ini.
Setelah cek ricek pada beberapa teman, lalu membaca berita di media massa ternyata keyakinan saya runtuh: video itu benar-benar terjadi di Indonesia, bukan di Palestina, bukan di luar negeri, bukan editan aka hoax, tapi dilakukan oleh oknum Polri hingga akhirnya Polda Sulsel meminta maaf.
Polda memberi klarifikasi jika hal itu dilakukan lantaran mahasiswa pengunjuk rasa menjadikan tameng masjid sebagai tempat pelarian. Tapi, apakah harus seperti itu? Apakah sebegitu sulitnya melepas sepatu? Apakah sudah hilang adab dan etika terhadap tempat ibadah?
Ratusan polisi mulai membuat barikade di Jalan Gatot Subroto, tepatnya di depan gedung Polda Metro Jaya. Para personel dilengkapi dengan atribut lengkap, seperti tameng, pelindung tubuh, dan tongkat kayu.
Ini menjadi preseden buruk bagi Polri di tengah upaya membangun citra untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat pada aparat. Sepertinya permohonan maaf tidak cukup, perlu ada sanksi tegas pada oknum terkait. Hal ini sekaligus untuk menjaga marwah Polri yang makin memudar di mata publik.
Rasa masygul bertambah saat menerima kiriman foto dan video lain yang menunjukan tindakan represif aparat pada mahasiswa. Bahkan tiga wartawan ikut menjadi sasaran anarkis oknum aparat. Di Jakarta bahkan ada pula pengendara yang terjebak macet ikut dipukul. Ini ada apa?
Berkaca pada peristiwa 21-22 Mei, aksi unjuk rasa menelan korban jiwa yang bahkan dari mereka adalah anak kecil. Terlepas siapa pelaku penembakan yang sampai saat ini masih menjadi misteri, selaiknya penanganan unjuk rasa tetap harus mengacu pada nilai-nilai humanis.
Gerbang Pejompongan tol dalam kota, dibakar massa, di Jakarta, Selasa (24/9/2019). Ribuan mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan berunjukrasa menolak UU KPK dan pengesahan RUU KUHP.
Bukankah Polri punya SOP penanganan unjuk rasa, lalu untuk apa semua itu jika kenyataan di lapangan berkebalikan dengan aturan yang ada? Sampai-sampai ada mahasiswa yang harus dioperasi dan masuk ICU.
Padahal mahasiswa pun telah menegaskan hanya menuntut pembatalan sejumlah RUU dan UU KPK yang baru saja disahkan. Tidak ada kepentingan politik yang menunggangi untuk membuat agenda pelengseran penguasa.
Baca Juga: Bawa Batu Saat Kericuhan, 5 Ambulans Pemprov DKI Diamankan
Tetapi sebaliknya, jika penanganan unjuk rasa masih dilakukan secara anarkis dan brutal: bukan tidak mungkin mahasiswa menjadi murka hingga agenda malah berubah untuk melengserkan. Bukan lagi aksi untuk penentangan beberapa RUU.
Masyarakat pun bisa ikut tersulut atas aksi anarkisme aparat. Kita akhirnya menjadi penasaran atas dasar apa aparat bisa bertindak brutal pada mahasiswa? Bahkan mereka yang ditangkap tak membawa apa-apa, tidak berdaya tetapi masih dianiaya. Mengapa?
Massa aksi pelajar STM saat terlibat bentrok dengan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa tolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di Jalan Layang Slipi, Petamburan Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Beberapa dari pelaku aniaya pun ada yang memakai seragam petugas, ada pula yang memakai pakaian bebas. Dan penganiayaan dibiarkan saja. Kita bisa belajar dari kasus Hongkong saat pendemo dianiaya sekelompok orang yang belakangan diketahui mereka ternyata triad.
Hasil investigasi New York Times pun memberi hasil mengejutkan: para triad itu dibiarkan aparat setempat. Bahkan mereka asyik masyuk berbincang. Publik setempat pun mencurigai ada kongkalikong antara aparat di sana dan triad.
Baca Juga: Polisi Hapus Cicitan Soal Ambulans Bawa Batu Saat Kericuhan
Dalam konteks penganiayaan terhadap mahasiswa, mungkin menarik kalau ada media yang menelusuri atau bahkan melakukan investigasi penyebab aparat jadi bertindak luar biasa dalam beberapa kali penanganan unjuk rasa. Sebab, bukan sekali ini saja.
Selama ini seolah seperti dicekoki sesuatu hingga bisa bertindak mengerikan pada para pendemo. Tak terkecuali pada wartawan. Bahkan melecehkan tempat ibadah. Ada apa? Untuk apa SOP penanganan unjuk rasa?
Sejumlah pelajar mengikuti unjuk rasa menolak UU KPK dan RUU KUHP yang berujung ricuh di Jalan Tentara Pelajar, Palmerah, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Para pengunjuk rasa itu mahasiswa, anak-anak mahasiswa. Orang tua mereka membayar pajak, yang beberapa di antaranya untuk gaji aparat. Para mahasiswa hanyalah mahasiswa.
Tapi mengapa aparat menanganinya bak menghadapi penjahat pembunuh berantai atau pembunuh keluarga penguasa saja. Bahkan, seorang pembunuh pun tetap manusia. Apalagi hanya mahasiswa pengunjuk rasa. Pada hewan saja kita tidak tega menyiksa.
Padahal jauh lebih merusak koruptor dibanding pendemo yang katakanlah ada yang merusak fasilitas. Tapi tindakan bengis bukanlah karakter bangsa ini. Mereka tetap manusia. Masih satu bangsa. Kita seperti bukan di Indonesia.
Di mana rasa mengayomi dan melayani? Jangan sampai justru polisi sendiri yang merusak marwah Polri. Lembaga ini harus dijunjung tinggi, harus dijaga wibawanya. Diawali dari pihak internalnya sendiri. Penanganan brutal pada pendemo seolah bukan lagi oknum karena sering kali terjadi di pelbagai daerah.
Baca Juga: Massa Mahasiswa akan Kembali Turun ke Jalan Besok
Tidak ada satu pun yang senang terhadap aksi unjuk rasa yang merusak fasilitas negara. Tapi, bisa jadi itu hanya reaksi dari penanganan yang salah. Bisa jadi pula hal tersebut dilakukan provokator yang menunggangi mahasiswa.
Bukan kah pembakaran gerbang tol dilakukan massa tanpa almamater? Hal ini perlu ditindak tapi juga tanpa perlu tindak aniaya. Sebab bakal menjadi bumerang bagi Polri sendiri.
Kita juga masygul ketika TNI berhasil meredam mahasiswa dengan persuasif. Bahkan dipuja puji, disambut riuh gemuruh tepuk tangan. Tapi ada hal yang mengkhawatirkan di sini: saat Polri bertindak represif, TNI persuasif. Saat polisi dicaci, dihina, lalu TNI dipuji dan puja bisa-bisa justru digiring oleh pihak tertentu untuk membenturkan kedua instansi ini.
Anggota TNI membagikan air kepada mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta se-Bandung Raya sebagai salah satu upaya menenangkan peserta aksi saat aksi menolak RUU Bermasalah yang sepat ricuh, di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (24/9).
Marwah Polri dan TNI harus kita jaga bersama. Kedua instansi ini sama-sama dibutuhkan rakyat Indonesia. Tetapi jika penanganan unjuk rasa oleh polisi tidak berubah, itu sama halnya polisi meruntuhkan Polri sendiri.
Anggota Komnas HAM, Choirul Anam juga mengingatkan agar polisi menghentikan aksi anarkisnya. Pihak Propam perlu melakukan investigasi atas penanganan unjuk rasa yang berlebihan. Siapa pun pengunjuk rasa, mereka masih satu bangsa. Apalagi mahasiswa, yang hanya manusia.
Baca Juga: Revisi UU Permasyarakatan, Napi Boleh Cuti dan Pergi ke Mal
Bisa jadi para polisi juga memiliki anak-anak yang seumuran dengan mahasiswa itu. Sekali lagi, mahasiswa hanya menuntut pembatalan sejumlah RUU, bukan melengserkan penguasa. Tindakan gegabah aparat bisa saja malah mengubah agenda mahasiswa untuk meminta Jokowi turun.
Aparat TNI berdialog dengan para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta se-Bandung Raya sebagai salah satu upaya menenangkan peserta aksi setelah terjadi kericuhan saat aksi menolak RUU Bermasalah, di depan Gedung Sate, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Selasa (24/9).
Bisa saja, tindakan gegabah aparat menimbulkan aksi berikutnya yang memantik amarah rakyat yang malah mendesak untuk melengserkan penguasa. Mahasiswa hanya lah manusia.
Mari kembalikan jati diri bangsa. Kembalikan nilai-nilai kemanusiaan warisan leluhur bangsa. Kembalikan marwah polisi dengan tindakan nyata mengayomi dan melayani, bukan menangkapi dan memukuli.
Damai selalu Indonesia. Jangan sampai kita terpantik upaya-upaya provokatif yang merusak persatuan bangsa. Shalaallahu alaa Muhammad.