REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Brigjen TNI Kunto Arief Wibowo, Danrem 032 Wirabraja
Tanggal 18 Desember 1945, sekitar 74 tahun lalu, saat diangkat sebagai Panglima Besar TKR, Jenderal Soedirman berkata, “tentara hanya mempunyai kewajiban satu, ialah mempertahankan kedaulatan negara dan menjaga keselamatannya. Sudah cukup kalau tentara teguh memegang kewajiban ini, lagi pula sebagai tentara, disiplin harus dipegang teguh. Tentara tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga". Pidato sosok panutan dalam pendirian negara Indonesia ini, kemudian acuan dasar di tubuh militer Indonesia, sampai sekarang.
Gagasan penting lainnya dari Sang Jenderal adalah kesatuan tentara dengan rakyat yang kemudian dimunculkan dengan istilah Tentara Rakyat. Ini terilhami kenyataan bahwa tentara dengan rakyat adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan.
Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan kemudian mempertahankannya, tidaklah luput dari peran besar rakyat sebagai komponen pendukung utama. Tentara, dalam hal ini, TNI, tidak akan ada apa-apanya jika tidak memiliki sokongan kuat dari rakyat.
Jenderal Soedirman paham betul bahwa kekuatan TNI ada di rakyat. Ia menjalaninya selama proses perang gerilya, saat dalam kondisi sakit-sakitan, tetap mendapat bantuan dari rakyat.
Jenderal Soedirman
Saat ini, di usia TNI yang mencapai 74 tahun, pokok pikiran Jenderal Soedirman tampak sangat penting untuk diaktualkan. Di kala kekuatan militer seringkali ditarik-tarik oleh berbagai kepentingan kelompok dan golongan, berdinamika pula dengan situasi iklim politik dan pemerintahan, maka TNI harusnya tetap pada pijakan awal sebagaimana dikatakan Jenderal Soedirman; TNI tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga. TNI adalah milik rakyat dan berada pada kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Kesatuan TNI dengan rakyat, itu pula yang kemudian menjadi gayung bersambut sekaligus mendapat legalitas formal melalui pengesahan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) tentang Bela Negara di September 2019. Tak cukup hanya itu, melalui Perpres No. 42/2019, dibentuklah Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan).
Hadirnya dua instrumen hukum ini menunjukkan TNI ada untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan Indonesia, dengan keharusan untuk berkolaborasi terus dengan masyarakat. Keberadaan masyarakat sipil sebagai komponen cadangan dipertegas. Walaupun ini sempat menimbulkan debat, namun ditilik dari sejarah, sebenarnya kesatuan itu memang sudah terjadi dari dulu.
Sejumlah prajurit TNI saat mengikuti gladi bersih HUT TNI di Taxy Way Echo Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Pada kondisi sekarang, tantangan dan ancaman dalam konteks bela negara, bukan lagi semata-mata hanya ancaman invasi secara fisik atau peperangan konvensional. Kemungkinan itu tetap ada, tetapi ada ancaman non militer lain yang dampaknya sangat besar dalam meruntuhkan kedaulatan dan kekuatan bernegara.
Perang proxy, perang cyber, pelemahan ideologi bernegara, kekuatan modal asing dalam penguasaan SDA, dan berbagai bentuk lain, adalah peperangan non fisik, tapi ampuh dalam melemahkan kepercayaan pada negara. Jika negara sudah tak dipercaya, maka di situlah kedaulatan sudah direnggut.
Karena itu, di tengah kecamuk globalisasi, perang teknologi informasi, eranya generasi milineal, saat negara sudah tanpa batas, setidaknya ada dua hal penting yang harus disiapkan. Pertama, penyiapan kesiapsiagaan menghadapi ancaman fisik. Hal ini mungkin dianggap tidak update, tetapi kemungkinan selalu ada, karena itu siap siaga tetap diperlukan. Terhadap hal ini, kiranya TNI sudah menjalankan semuanya, kesiapan secara fisik, mental, maupun sarana prasarana.
Sejumlah prajurit TNI melakukan defile saat mengikuti gladi bersih HUT TNI di Taxy Way Echo Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Kedua, menyadari dan menyiapkan terhadap ancaman perang non fisik. Sisi ini yang mungkin tidak disadari dan cenderung terabaikan. Analisis mungkin sudah banyak dibuat, tetapi aplikasi konkrit dalam antisipasi terhadap ancaman ini yang masih belum tertata secara sistematis.
Antisipasi dan kemudian menyiapkan pertahanan diri, sekaligus serangan balik terhadap ancaman non fisik, harus sedari awal disadari dan dipersiapkan. Inilah pekerjaan rumah terbesar TNI saat ini, di mana ia tidak bisa berjalan sendiri, harus berkolaborasi dengan pihak-pihak lain. Kunci penting adalah menjalankan hubungan sinergis dengan rakyat, menancapkan keyakinan bahwa TNI ada di masyarakat dalam kondisi apapun, baik damai maupun masa perang/konflik.
TNI tidak boleh menjadi alat suatu golongan atau orang siapa pun juga. TNI adalah milik rakyat dan berada pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. -- Jenderal Soedirman.
Secara legal, ini sudah menjadi bagian tugas TNI yang termaktub dalam fungsi-fungsi pembinaan teritorial (binter). Binter ditekankan pada penyiapan komponen cadangan dan komponen pendukung agar punya kekuatan dan kemampuan dalam menyokong tugas utama TNI. Inilah yang pernah saya sampaikan dulu, pentingnya binter dalam konteks jaman now (https://tniad.mil.id/2019/06/optimalisasi-binter-jaman/).
Binter yang menyesuaikan dengan konteks dan kondisi yang dihadapi masyarakat saat ini. Binter yang adaptif dengan perubahan, termasuk antisipasi dalam era perang asimetris saat ini.
Prajurit TNI dengan alutsista melakukan defile dalam Gladi Bersih HUT Ke-74 TNI di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Kamis (3/10/2019).
Setidaknya ada beberapa hal yang mesti menjadi pembenahan ke dalam. Pertama, sebagai kesatuan militer dengan jiwa Kartika Eka Paksi sebagai doktrin khususnya di tubuh TNI AD, maka semangat pengabdian kepada negara dalam segala kondisi harus terus digelorakan. Kondisi dan situasi apa pun yang terjadi tidaklah menjadi alasan untuk mengatakan kita punya kelemahan. Mencari alasan di balik kedok keterbatasan sarana prasarana, minimnya anggaran, kebijakan politik, dan sebagainya, tidaklah pantas. TNI siap dalam kondisi apapun, sekaligus menunjukkan bahwa TNI bukanlah tentara cengeng.
Kedua, kita percaya rakyat dengan segala dinamika dan kondisi lingkungannya, merupakan kekuatan besar pembentuk negara ini, sekaligus penyokong utama kehandalan TNI. Segala persoalan di masyarakat, baik masalah mata pencaharian, hak hidup, hak sosial, dan sebagainya harus dicermati secara baik.
Menggali potensi lokal dan menjadikannya kekuatan bersama, harus dilakoni. Sangat tidak pantas jika TNI menjadi pengekor gerak di masyarakat, ia harus tampil sebagai pelopor dan inovator. Andai di suatu komunitas terdapat persoalan ketersediaan air bersih, misalnya, TNI harus hadir dengan berbagai inovasinya untuk menjawab masalah, bukan justru jadi penjual air bersih.
Sejumlah prajurit TNI saat mengikuti gladi bersih HUT TNI di Taxy Way Echo Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Kamis (3/10).
Ketiga, dinamika sosial politik belakangan ini, menunjukkan gejala ke arah perpecahan antar anak bangsa. Kasus di Papua sebagai kasus terbaru adalah bukti konkrit. Begitu juga berbagai kasus lingkungan hidup, korupsi, persaingan politik, dan sebagainya, yang kemudian menjadi ajang caci maki di media sosial.
Pada posisi ini, TNI harus hadir sebagai komponen penyatu, perekat jalinan yang ada. Andai ada oknum anggota TNI yang menjadi provokator atau penyebab masalah, itu adalah dosa besar yang harus diberantas. Rakyat harus didahulukan, jika perlu berkorban untuk kepentingan rakyat. Siap berkorban demi rakyat, itulah TNI.
Keempat, sebagai bentuk lain dari keharusan sebagai komponen penyatu, adalah kreatifitas dan inovasi yang tak boleh diabaikan. Tentara (baik itu bintara, tamtama, bahkan perwira) yang hanya terjebak pada rutinitas belaka, sudah masanya dilakukan upgrade. Pelaku rutinitas seperti ini, hanya akan menyebabkan TNI jalan ditempat, terjebak pada konteks tentara adalah mesin perang, sebuah pandangan usang yang menurut saya tak lagi kontekstual.
Sejumlah prajurit TNI melakukan defile saat mengikuti gladi bersih HUT TNI di Taxy Way Echo Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Kamis (3/10).
Memang dalam perkembangan sekarang, sudah banyak unsur tentara yang menunjukkan sisi kreatifitas ini, menciptakan berbagai teknologi terapan yang berguna bagi rakyat, mengedepankan semangat berbagi, melek IT, dan menanamkan pentingnya tentara di masyarakat. Tetapi, kita tidak boleh cukup puas. Inovasi dan kreatifitas tak boleh berhenti karena gerak perubahan selalu terjadi.
Semua hal di atas menjadi relevan dengan semangat yang digelorakan oleh alm. Jenderal Soedirman, sebagaimana kutipan awal tulisan ini. Sasaran utama yang ingin diraih adalah dirasakannya kehadiran tentara di masyarakat, dan dengan sendirinya masyarakat akan terpanggil dalam tugas-tugas bela negara di segala posisi. Jika ini bisa dilakukan, maka tak perlu repot-repot mobilisasi wajib militer, tapi cukup dengan munculnya semangat Indonesia adalah rumah kita bersama, itu sudah kekuatan besar.
Sementara ke luar, Indonesia dengan kesatuan angkatan perang bersama rakyat, bisa menunjukkan bahwa kita adalah negara besar dan bermartabat. Angkatan perang yang bersinergi dengan rakyat, bukan justru mengorbankan rakyat.
Selamat HUT TNI ke-74