REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Atiatul Muqtadir, Presiden Mahasiswa BEM KM UGM, Koordinator Isu Hukum, HAM, dan Korupsi BEM Seluruh Indonesia
Gelombang demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat sampai hari ini belum berhenti. Meski beberapa RUU yang kontroversial telah ditunda dan akan dibahas ulang, massa aksi terus berdatangan menyampaikan aspirasinya.
Gelombang demonstrasi sejatinya berawal dari keresahan bersama tentang pelemahan KPK dan usaha terstruktur untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Keresahan bertambah dan menyebar saat RUU kontroversial dan tak berpihak kepada masyarakat muncul.
Gerakan mahasiswa yang hadir dari keresahan bersama itu coba dipadamkan dengan berbagai tuduhan. Gerakan mahasiswa dituduh ditunggangi kelompok radikal, memfasilitasi kelompok anarkistis, hingga dianggap hendak menggagalkan pelantikan presiden.
Sejatinya, apa yang diperjuangkan mahasiswa? Melalui tulisan ini, penulis hendak mengajak kita semua membaca secara jernih gerakan mahasiswa yang hari ini bertajuk “Tuntaskan Reformasi”. Reformasi adalah pintu gerbang menuju kehidupan bangsa yang lebih demokratis. Agenda Reformasi 1998 mengamanatkan beberapa hal yang mendasar, yaitu soal demokratisasi dan pemberantasan korupsi.
Hasil penelitian Power, Welfare, and Democracy (PWD) dengan UGM menyatakan, pada awal perkembangannya, demokrasi di Indonesia menunjukkan kemajuan cukup berarti, terutama kebebasan sipil dan politik, termasuk media massa (Tornquist, 2017). Pelaksanaan pemilu, secara prosedural berjalan dengan baik. Namun, penelitian ini juga menemukan, lembaga yang diharapkan mendukung penegakan hukum dan tata kelola pemerintahan yang baik dalam kondisi mengenaskan.
Lebih jauh lembaga yang utamanya mewakili kepentingan rakyat sama buruknya dan justru lebih parah (Tornquist, 2017). Studi politik Indonesia kontemporer oleh Winters menyimpulkan, tak ada perubahan mendasar sejak runtuhnya Orde Baru. Reformasi memang membuat Indonesia tidak lagi dipimpin diktaktor, tetapi ulasan Richard Robinson, Vedi Hadiz, dan Jeffery A Winters membuktikan reformasi gagal menghilangkan cengkeraman oligarki.
“Reformasi yang tidak sempurna” membuat jaringan patronase lama terus bekerja dan menemukan pijakan baru dengan memosisikan diri mereka sebagai elite partai. Rezim otoriter masa lalu, masih memengaruhi kehidupan politik masa kini dalam bentuk oligarki kapitalis yang kuat antara kekuatan investor dan elite politik.
Dalam memperjuangkan kepentingannya, mereka sering menutup diskursus ruang publik dan menggunakan pendekatan kebijakan represif. Dalam konteks hari ini, praktik politik nondemokratis muncul melalui pembuatan RUU yang tidak transparan dan partisipatif, pengendalian internet yang koersif (pemutusan internet di Papua), kriminalisasi aktivis dan lawan politik, pembentukan pasal-pasal karet dalam RKUHP dan UU ITE, dan usaha-usaha penggiringan opini publik melalui buzzer media dan massa aksi ‘jadi-jadian’.
Padahal, ruang publik itu penting karena dapat menjadi mediator antara masyarakat dan pemerintah. Sebagaimana Fraser dan Habermas memandang ruang publik sebagai area sosial, tempat individu berkumpul dan secara bebas mengartikulasikan kepentingan bersama yang berkembang menjadi opini publik. Kemudian, opini publik tersebut akan memengaruhi keputusan-keputusan politik (Habermas, 1989; Calhoun, 1992).
Ruang publik yang terbuka akan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang sesuai kebutuhan masyarakat. Sebaliknya, tertutupnya ruang publik akan memproduksi kebijakan yang berjarak dengan realitas yang ada. Dalam konteks produk hukum, ia yang lahir dari diskursus rasional di ruang publik akan menghasilkan hukum responsif, sedangkan kondisi splendid isolation (ruang tertutup) akan menghasilkan hukum represif.