Selasa 08 Oct 2019 05:03 WIB

Kepekaan Bernegara Demokrasi dengan Perppu

Butuh kepekaan bernegara dengan adanya Perpu

Publik Dukung Presiden Terbitkan Perppu KPK
Publik Dukung Presiden Terbitkan Perppu KPK

Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara.

 

Konstitusi membekali Presiden dengan kewenangan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpou). Sifat kewenangan ini khas. Presiden dapat, dengan atau tanpa alasan yang ternalar menerbitkan Perpu. Betu-betul khas, karena rumus hukum tentang syarat sahnya penggunaan kewenangan ini sangat elastis. Dimensinya sangat jamak. 

Konstitusi memang menyodorkan syarat. Syaratnya adalah harus ada hal-ihwal kegentingan yang memaksa.

Tetapi keadaan hukum macam apa yang dapat dikategori hal-ihwal kegentingan yang memaksa? Tidak jelas. Tidak spesifik. Praktis syarat “hal-ihwal kegentingan yang memaksa” dalam pasal 22 UUD 1945 tidak menunjuk satu atau serangkaian keadaan spesifik, faktual dan nyata.

Keadaan atau hal-ihwal  kegentingan yang memaksa itu bisa bersifat imajiner, setidaknya potensial. Tidak mesti ada secara nyata. Yang penting presiden secara subyektif menganggap – bersifat hipotesis – hal-ihwal  kegentingan yang memaksa itu ada. Nyata-nyata ada atau tidak, tidak penting.

Tetapi apapun itu, konstitusi mewajibkan presiden harus menjelaskan level validitas “hal ihwal kegentingan yang memaksa” itu kepada DPR untuk mendapat cap persetujuan. Ini imperative sifatnya. Wajib, mutlak. Dititik ini manuver politik kedua belah pihak, Presiden dan DPR menemukan relefansinya. Ini bukan soal benar dan salah. Sama sekali bukan. Ini soal keterampilan menundukan, menggoda, membawa lawan ke sudut yang diinginkan. 

Cermat dan Jernih

    Penerbitan Perppu itu wewenang Presiden. Wewenang ini jelas diperlukan. Tetapi karena syarat materilnya tidak jelas, maka pada kesempatan lain wewenang ini, kalau tidak arif, tidak bijak, dapat digunakan untuk memperbesar wewenang, meruntuhkan demokrasi. Itu sebabnya wewenang ini harus dikerangkakan, setidaknya dipertalikan pada norma non hukum. Norma non hukum itu misalnya kearifan lebih dari sekadarnya.

Norma non hukum itu diperlukan karena Presiden, terlepas siapapun orangnya, menyandang nama itu bukan semata-mata karena dipilih. Ia dipilih karena, entah siapa yang mendorongnya, dinilai memiliki kemampuan di atas rata-rata calon presiden yang tersedia. Itu sebabnya itu harus bisa memandu, mengarahkan, mengadaptasikan gagasan yang bekembang ditengah masyarakat dengan nilai-nilai hebat dalam bangsanya.

Dalam kasus Perppu KPK yang kian hari kian digemakan oleh beberapa kelompok untuk segera diterbitkan oleh Presiden misalnya, tidak bisa ditimbang dengan timbangan ya atau tidak, dapat dimakzulkan atau tidak. Tidak bisa ditimbang dengan jalan fikiran menerbitkan Perpu pembatalan RUU KPK sama dengan pro rakyat, anti korupsi. Sebaliknya tidak menerbitkan Perppu sama dengan pro korupsi. Tidak. Tidak sesederhana itu.

Presiden dalam konteks itu perlu memasuki soal-soal berikut: Pertama, yang harus ditimbang oleh Presiden adalah level rasionalitas dibalik suara-suara yang saling menyangkal itu. Level rasionalitas harus dikerangkakan ke dalam kepentingan bernegara secara sehat. Pada level ini Presiden harus tahu bahwa korupsi sedang menggurita di tubuh politik bangsa besar ini. Kemarin KPK menangkap Bupati Lampung Utara, dan beberapa orang dalam urusan suap menyuap.  Keberhasilan penangkapan ini berkat penyadapan. Penyadapan menjadi salah satu instrumen ampuh dalam pertempuran melawan korupsi.

Kedua, Presiden perlu, dalam konteks itu, menentukan dengan jernih ujung hukum penyadapan. Misalnya apakah pejabat yang tertangkap tangan menerima suap harus dipidana atau pada kesempatan pertama mengembalikan seluruh uang suap. Tidak itu saja pejabat tersebut serta-merta diberhentikan dari jabatan dan wajib melakukan kerja sosial, tanpa harus dipidana.

Ketiga, apa argumentasi demokrasi dibalik status KPK sebagai organ non pemerintah, dan berada diluar wewenang mengatur Presiden? Presiden perlu tahu bahwa demokrasi tidak memungkinkannya. Mengurangi demokrasi demi pemberantasan korupsi, bukan tak bisa. Tetapi Presiden perlu memasuki sejarah pemberantasan korupsi lebih dalam. Sejarah menunjukan dengan ketepatan tak diragukan bahwa korupsi juga dipakai sebagai senjata mematikan lawan. Tidak mungkin cara ini dinilai sebagai cara yang masuk akal. Ini sama dengan memperbesar skala korupsi.

Dalam kenyataannya tidak ada keadaan yang menunjukan adanya kekosongan hukum dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan. Semua hukum pemberantasan korupsi positi berlaku. Organ pemberantasan korupsi -KPK, Polisi dan Jaksa-  eksis. UU KPK perubahan, sejauh ini, tidak menghapus wewenang penyidikan KPK. Izin penyadapan sama sekali tidak dapat dianalogkan menjadi penghapusan wewenang penyadapan. Tidak. Kongklusinya, tidak tersedia alasan secara materil untuk penerbitan Perpu.          

Di atas itu semua Presiden harus lebih jernih mengenal fenomena demontrasi. Demo kini terlihat mulai diandalkan sebagai sarana menciptakan hal-ihwal kegentingan yang memaksa sebagai jalan sah menggerakan wewenang penerbitan Perpu. Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pencabutan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPRD, diterbitkan setelah Presiden didemo, cukup ramai diberbagai daerah. Macam-macam argumennya.

   

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement