REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ihshan Gumilar, Neuropsikolog
Pada 23 september 2019, teriakan-teriakan anak muda itu membuncah ke langit. Aroma keringat mereka menguap dan menyatu bersama di udara bebas. Butiran-butiran peluh deras mengalir membungkus tubuh mereka.
Aparat bersenjata berdiri menghadang. Mereka tidak takut. Mereka tidak gentar. Mereka berusaha merangsek masuk ke gedung DPR. Warna-warni jaket almamater terlihat bak kuas lukisan yang melukis di atas jalan Jenderal Gatot Subroto.
Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan beragam keanehan pada Rancangan Undang-Undang (RUU), termasuk RUU-KPK dan RUU-KUHP. Dalam aksi tersebut, ada satu yang menggelitik pikiran saya terkait tuntutan mahasiswa untuk mengesahkan RUU-PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).
Sebuah pertanyaan terbersit di dalam benak saya. Apakah mereka mengerti sepenuhnya apa yang mereka perjuangkan? Apakah mereka benar-benar paham tentang RUU-PKS? Sebelum turun ke jalan lagi, ada baiknya para generasi milenial meluangkan waktu untuk mengunyah tulisan ringan ini dengan pikiran yang tenang dan cemerlang.
Halusinasi RUU-PKS
Proses menggapai kebenaran dikenal dengan nama perjuangan. Generasi milenial
turun ke jalan, untuk sebuah alasan kebenaran dan kebaikan. Perjuangan itu memerlukan keseimbangan otak dan otot. Karena itu, izinkan tulisan ini memberikan sedikit percikan untuk keseimbangan keduanya.
Satu tahun lalu, pada Oktober 2018 tepatnya, Komisi VIII khususnya panitia kerja (panja) RUU-PKS mengundang saya ke DPR untuk memberikan masukan, melalui kacamata psikologi syaraf (neuropsikologi), terkait adanya desakan untuk pengesahan RUU-PKS yang diusung oleh Komite Nasional (Komnas) perempuan. Di akhir pemaparan, saya menyampaikan RUU-PKS ini akan menjadi sebuah bom waktu yang tidak bisa terkendali efeknya baik dalam jangka pendek ataupun panjang.
Jika dilihat secara sekelebat, RUU tersebut sangat pro dan melindungi anak-anak Indonesia dan korban kekerasan seksual. Tapi, jika ditelisik lebih dalam dan menyeluruh, RUU PKS justru akan menjerumuskan anak-anak Indonesia ke lembah kenistaan yang lebih dalam dan hanya akan menambah korban perilaku kejahatan seksual di kemudian hari. Dari 152 pasal yang diajukan, mari kita melihat pada pasal awal RUU tersebut.
Pasal semu Bab 1 pasal 1 “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi…”
Ada kata “hasrat seksual” di sana. Ia bermakna apa pun orientasi dan keinginan seksual seseorang tidak boleh diganggu-gugat. Sekalipun ia menjadi pintu masuk utama atas penyebaran Penyakit Seks Menular (PSM) di kalangan ratusan juta nyawa orang-orang Indonesia.
Tingginya tingkat PSM atau biasa dikenal Sexual Transmitted Disease (STD) yang
hinggap pada anak-anak muda dan juga orang dewasa Indonesia, dikontribusikan sangat banyak oleh perilaku seks berisiko di kalangan pelaku seks sesama jenis. Hal ini mempunyai dampak beruntun (domino effect) dalam pelbagai aspek kehidupan: sosial, ekonomi, dan keluarga Indonesia. Terlebih efek finansial di bidang kesehatan yang akan terus membengkak.
Sudah terlalu banyak anak-anak Indonesia mempunyai orientasi seksual menyimpang
sesama jenis (laki-laki ataupun perempuan) yang pada akhirnya terkena PSM. Data paling mutakhir yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan (hanya pada bulan April-Juni 2019 saja) menunjukan ada 11.519 orang terjangkit HIV, di mana umur 25-49 tahun menduduki peringkat paling teratas dan diikuti oleh orang-orang berumur 20-24 tahun.
Bukankah ini merupakan rentang umur produktif? Dan data tersebut memaparkan faktor terjangkitnya HIV paling tinggi disumbangkan oleh perilaku seks yang dilakukan oleh sesama lelaki. Jujur saja, pemerintah tidak mampu menanggulangi hal ini secara komprehensif.
Dikarenakan jumlah kasus yang kerap bertambah akan tetapi kemampuan menangani amatlah minim dari beragam aspek, tenaga profesional maupun keuangan. Mereka hidup dalam lingkaran setan PSM yang tak pernah putus dan yang pada akhirnya hanya akan membunuh mereka secara perlahan.
Lalu siapa yang akan menanggung biaya pengobatan mereka? Bukankah dari pajak
yang kita berikan ke pemerintah? Hidup di Indonesia sudah sangat sulit dengan keadaan ekonomi selama lima tahun ini yang amat morat-marit. Alangkah baiknya biaya ekonomi kesehatan itu kita alihkan untuk hal yang lebih bermanfaat seperti peningkatan mutu pendidikan.
Apakah presiden berpikir sampai ke sini ketika ia mengajukan agar RUU-PKS disahkan? Ketidakmampuan presidenkah untuk melihat atau ketidak mengertian presidenkah terhadap permasalahan yang sedang dihadapi bangsa? Untuk makan satu hari saja rakyat susah, lalu mengapa harus ditambah lagi oleh PSM yang akan menyebar luas dengan adanya RUU-PKS?
Sungguh pelik dan miris!
Jika tulisan ini dianggap menghina presiden, mari kita berpikir sejenak. Bukankah
RUU-PKS itu akan menambah lagi jumlah permasalahan sosial dan ekonomi di negara ini? Jika disahkan hari ini, siapa yang akan menanggungnya? Tentunya rakyat hari ini dan juga anak cucu kita.
Karena itu, siapa yang sesungguhnya menghina? Tulisan singkat ini atau presiden yang akan memberikan kesengsaraan kepada ratusan juta rakyatnya dengan meminta undang-undang tersebut disahkan?
Seorang pemimpin itu bukan hanya dilihat keberhasilannya dari apa yang ia capai
selama lima tahun. Akan tetapi seorang pemimpin itu harus mampu melihat dalam jangka waktu 20 tahun ke depan bahkan lebih. Pemimpin yang baik itu mampu meredam penyakit, bukan meninggalkan atau bahkan menambah penyakit.