REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M. Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama
Pengembangan wakaf merupakan salah satu isu strategis dalam akselerasi ekonomi syariah di Tanah Air. Gerakan wakaf memperoleh amunisi baru melalui jangkar program pemberdayaan dana sosial keagamaan dan pengembangan kelembagaan ekonomi umat yang diakomodir dalam program prioritas nasional pada Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral-substansial sebagai regulator pengelolaan wakaf. Pengembangan wakaf di bawah leading sector Kementerian Agama di-back up dengan peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai tugas mengembangkan dan memajukan perwakafan.
Sejauh ini masih banyak masyarakat yang memahami wakaf sebagai hal yang berdiri sendiri dan terpisah dari konteks pembangunan ekonomi umat. Hal itu berimplikasi pada cara penanganan masalah wakaf yang seringkali dipahami sebatas tugas yang bersifat rutin, teknis dan administratif saja, seperti pendaftaran nazhir, istibdal (tukar-ganti) harta wakaf, pengembangan sistem informasi wakaf, pengelolaan wakaf uang, sukuk wakaf, pengamanan aset-aset wakaf, dan sejenisnya.
Permasalahan klasik yang sering dihadapi dan menjadi kendala dalam upaya memproduktifkan aset-aset wakaf adalah kompetensi sumber daya manusia pengelola wakaf yaitu nazhir. Pembinaan dan pengembangan nazhir wakaf adalah salah satu faktor kunci yang harus menjadi perhatian ke depan, kalau kita menginginkan wakaf menjadi salah satu pilar ekonomi syariah dan lokomotif kesejahteraan umat.
Dari waktu ke waktu makin disadari pentingnya memperkuat ekosistem wakaf dengan fondasi yang sudah ada serta mengembangkannya untuk menjawab kebutuhan kekinian dan kedisinian. Meski tergolong sebagai negara yang memiliki potensi kekayaan wakaf yang besar, tetapi Indonesia belum memiliki cetak biru (blueprint) pengembangan wakaf nasional sebagai rencana induk yang memuat visi, misi, strategi, arah kebijakan pengembangan wakaf, tahapan-tahapan yang ingin dicapai serta rencana dan langkah konkrit untuk mewujudkannya.
Saya ingin mengutip pidato pengukuhan Prof Dr Raditya Sukmana, SE, MA, sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi Islam Universitas Airlangga Surabaya pada 22 Juni 2019, yakni wakaf bukan sekedar suatu “kelembagaan religius” yang hanya mengurusi hal-hal keagamaan ritual semata, tetapi jika dioptimalkan dapat menjadi suatu “kelembagaan sosio-ekonomi”. Wakaf sebagai instrumen filantropi yang berasal dari syariat Islam perlu dioptimalkan melalui pengelolaan secara produktif dengan berorientasi pada dampak positif bagi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta berpedoman pada aturan syariah dengan pemanfaatan teknologi digital IR 4.0, salah satunya blockchain. Pemangku kepentingan di bidang perwakafan, baik regulator, nazhir wakaf hingga masyarakat luas dan global perlu membangun upaya kolaboratif agar pengelolaan wakaf di era 4.0 ini dapat diwujudkan.
Semenjak beberapa tahun terakhir, perhatian dan keterlibatan para pemangku kepentingan (multi stakeholders) untuk mengaktualisasikan potensi wakaf sebagai elemen penggerak ekonomi dan keuangan syariah semakin menguat. Peran lintas otoritas melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang beranggotakan, antara lain Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Agama, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Majelis Ulama Indonesia, dan lainnya cukup proaktif mendorong dan menfasilitasi pengembangan instrumen wakaf, seperti Waqf Core Principles (WCP), Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS), digitalisasi sistem ZISWAF, dan sebagainya. Digitalisasi sistem ZISWAF bahkan menjadi program Quick Wins KNKS.
Pada 14 Mei 2019 Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan KNKS telah meluncurkan Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia (MEKSI) 2019-2024. Seiring dengan itu pemantapan fondasi dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia ditopang antara lain dengan penguatan sektor keuangan sosial Islam.
Sinergi program, harmonisasi regulasi dan interkoneksi kebijakan lintas-otoritas diharapkan memberi kontribusi yang relevan dan positif terhadap penguatan ekosistem wakaf di negara kita. Bahkan tidak cukup hanya ekosistem di level nasional saja, tetapi harus menjangkau pemerintah daerah dan institusi terkait di provinsi dan kabupaten/kota. Pengalaman selama ini acapkali menghadapkan kita dengan persoalan wakaf, baik pemanfaatan maupun perlindungan hukum atas harta wakaf di mana penyelesaiannya berada di ranah kebijakan dan pelayanan birokrasi di daerah yang kadang kurang memahami nilai strategis wakaf dalam pembangunan bangsa.
Pemerintah dari waktu ke waktu selalu mendorong dan memfasilitasi pengembangan gerakan wakaf di Tanah Air, antara lain dengan penataan regulasi, serta menghadirkan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan program dan gerakan inklusi wakaf. Upaya secara sistematis, inovatif dan berkelanjutan perlu terus dilakukan untuk memperluas partisipasi masyarakat dalam berwakaf. Menurut hemat saya, gerakan gemar berwakaf, kawasan bisnis, tata ruang dan wilayah yang ramah wakaf harus menjadi kesadaran dan kepedulian bersama.
Sementara itu legalitas wakaf melalui uang yang selama ini banyak dipraktikan di masyarakat, di samping wakaf uang melalui lembaga keuangan syariah yang diatur dalam perundang-undangan, memerlukan langkah afirmatif. Peran wakaf dalam pembangunan akan lebih bergema syiar dan manfaatnya bagi umat apabila semua inovasi berada dalam sebuah ekosistem wakaf yang rapih.
Di sisi lain, penguatan literasi wakaf kepada kalangan generasi muda, pelajar dan mahasiswa sebagai elite generasi terpelajar dan calon pemimpin bangsa perlu diintensifkan, seperti lewat pembaruan kurikulum, program wakaf goes to campus dan sebagainya. Pembaruan materi wakaf dalam kurikulum pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi sangat diperlukan untuk membuka wawasan dan cakrawala generasi milenial tentang wakaf. Dalam kaitan ini, saya melihat peran masjid, pesantren, dan kampus merupakan bagian yang harus terintegrasi dalam ekosistem wakaf dan upaya memasifkan gerakan wakaf.
Dalam kaitan itu pengembangan dan optimalisasi manfaat wakaf untuk peribadatan, pendidikan, ekonomi, pelestarian kebudayaan Islam, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan insfrastruktur sosial yang dibutuhkan masyarakat selayaknya tetap mendapatkan perhatian dari para nazhir wakaf dan pegiat wakaf di berbagai pelosok.
Wakaf sejatinya mendorong tumbuhnya rasa tanggung jawab umat Islam terhadap keberlangsungan kehidupan dan masa depan kemanusiaan. Wakaf secara tidak langsung mengubah perspektif jangka pendek menjadi jangka panjang dalam penyediaan aset dan berbagai sarana kehidupan masyarakat yang membawa kemaslahatan dan kesejahteraan.
Saya teringat pemikiran mendiang H.S. Dillon bahwa tanpa redistribusi aset, maka ketimpangan pendapatan dan kekayaan akan sangat sukar teratasi. Karena itu, alat untuk memerangi kemiskinan yang harus dibagi-bagi, berupa tanah, modal usaha dan kredit usaha bagi petani, industri kecil dan pedagang kecil. Di sinilah saya kira relevansi wakaf sebagai solusi ketimpangan ekonomi. Saya kira saatnya kini bersama-sama membangun gerakan wakaf yang inklusif dan mempromosikan potensi ekonomi wakaf sebagai kekuatan baru ekonomi Indonesia.