REPUBLIKA.CO.ID, "Lerena Mangan Sedurunge Wareg” (berhenti makan sebelum kenyang), ungkapan ini menggema pada masa awal tahun 1900-an di Indonesia, digemakan oleh seorang guru bangsa yang terkenal dengan sebutan Raja Jawa Tanpa Mahkota, yaitu HOS Tjokroaminoto (1882-1934). Ungkapan tersebut merupakan wasiat dari beliau yang disampaikan kepada kader-kader Sarekat Islam (SI).
Beliau menyampaikan apa yang menjadi hadits Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari derajat dari hadits dimaksud, isi dari wasiat tersebut sangat relevan dengan kondisi sosial politik dan ekonomi bangsa Indonesia saat itu, juga saat ini.
Mengingat HOS Tjokroaminoto merupakan guru bangsa sekaligus pahlawan nasional Indonesia, wasiat penting tersebut, sejatinya bukan hanya untuk kader-kader SI saat itu, melainkan juga menjadi wasiat untuk seluruh rakyat bangsa Indonesia untuk saat ini. Wasiat itu dimaksudkan agar generasi penerus bangsa ini menghidari sikap rakus dan serakah.
Jika rakyat Indonesia sepakat akan hal ini, dan wasiat penting itu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka sejatinya tidak akan ada anak bangsa ini yang melakukan pengkhianatan terhadap bangsanya serta terhindar dari sikap rakus dan serakah. Sekali lagi, sikap rakus dan serakah bukanlah sikap rakyat bangsa Indonesia. Alangkah baiknya lagi jika wasiat tersebut termanifestasi menjadi sebuah kebijakan yang dapat memberikan rasa adil dan makmur bagi rakyat Indonesia.
Tanggal 16 Oktober, biasa diperingati sebagai Hari Pangan Internasional. Jika dihubungkan dengan perihal kedaulatan pangan, maka wasiat dari HOS Tjokroaminoto di atas dapat menjadi sandaran filosofis dalam mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyat Indonesia. Kedaulatan pangan merupakan kedaulatan suatu bangsa itu sendiri. Bahkan dalam berperang pun (kondisi paling genting suatu negara) harus mempertimbangkan kecukupan persediaan pangan.
Pangan bukan sekedar masalah perut, tetapi juga masalah otak. Dari pangan yang berkualitas akan menumbuhkan anak bangsa yang berkualitas pula.
Di dalam pangan ada gizi dan nutrisi. Gizi dan nutrisi inilah yang akan diserap oleh tubuh kemudian diedarkan oleh pembuluh darah keseluruh organ-organ tubuh.
Jika tubuh rakyat Indonesia ini berdaulat, maka bangsa ini pun akan memiliki kedaulatan seutuhnya. Sebaliknya, jika yang masuk ke dalam tubuh ini merupakan upaya-upaya penjajahan sehingga tidak memiliki kemerdekaan diri, tentunya bangsa ini akan selamanya menjadi bangsa yang terjajah dengan cara-cara yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Kebijakan serta gagasan-gagasan tentang bagaimana meningkatkan produksi serta swasembada pangan sudah sangat banyak dan beragam. Hal ini yang mendorong orang, khususnya petani, untuk selalu meningkatkan hasil produksinya.
Bahkan seorang petani yang pernah penulis temui di salah satu daerah di Banten menyatakan, “lebih baik kehilangan harta benda yang lain daripada kehilangan beras (pangan)”. Beras hasil sawahnya ia simpan sebagai cadangan, sedangkan beras untuk kebutuhan harian untuk keluarganya, dia memilih untuk membeli dari pedagang.
Bagaimanapun juga, jika suatu negara terjadi musibah besar atau perang sekalipun, maka yang akan bekerja untuk membangkitkan kembali roda ekonomi adalah para petani. Dan komoditas paling mahal saat kondisi tersebut adalah komoditas pangan.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka penulis berpikir merasa perlu ada suatu kebijakan pada perspektif perilaku mengkonsumsi pangan. Hal ini berpijak pada semangat wasiat HOS Tjokroamoto yang kurang lebih satu abad yang lalu bergema, “Lerena Mangan Sedurunge Wareg” yang memiliki sudut pandang pada pola konsumsi. Karenanya, sangat terlarang bagi kita untuk berlebihan dalam makan bahkan hingga membuang-buang makanan yang sudah dihasilkan petani kita.