REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tamsil Linrung, Senator DPD RI periode 2019-2024
Tegang, serius, mendebarkan dan mencekam. Itulah gambaran kebatinan Jakarta beberapa hari jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-Ma’ruf (20/10). Setidaknya, amat terasa bila kita beraktivitas di kawasan Senayan dan sekitarnya.
Kendaraan taktis, pasukan pengamanan berseragam dan bersenjata lengkap, pasukan dalam penyamaran, hingga anjing pelacak dikerahkan. Situasi terasa mencekam. Entah didesain memang seperti itu, atau hanya kesan yang ditimbulkan. Namun, kita merasakan ada jarak yang memisahkan. Antara Presiden dan Wapres pilihan rakyat itu, dengan masyarakat yang tak boleh lagi dipandang “dia pemilih saya dan itu bukan/kelompok dari seberang”.
Pemilu telah selesai, pelantikan digelar. Mereka yang terpilih akhirnya harus melayani semua. Tanpa melihat latar belakang dukungan ketika Pilpres yang memang menciptakan ketegangan dimana-mana. Mempertahankan iklim ketegangan itu, sengaja atau tidak, justru terus berimplikasi pada keretakan di tengah-tengah masyarakat.
Apalagi, buzzer politik terus melontarkan konten-konten agitatif di media sosial. Narasi kelompok radikal, ancaman keamanan, dan aneka pesan multimedia yang memancing kisruh terus direproduksi. Alih-alih menerapkan strategi komunikasi afirmatif yang merupakan kultur masyarakat kita.
Pelantikan adalah momentum bersejarah. Semestinya jadi pesta dan kegembiraan bagi seluruh komponen rakyat. Namun situasi tegang itu, justru menciptakan jarak. Kita sedih, ketika pemimpin bangsa justru banyak disindir bahkan menuai hujatan. Terutama di media sosial. Ruang ekspresi masyarakat yang paling otentik saat ini.
Presiden dan Wakil Presiden seharusnya ditampilkan sebagai sosok dicintai, bahkan dikucuri do’a. Dari seluruh elemen rakyat. Bukan oleh relawan dan pendukung dalam Pilpres saja. Sebab dikotomi itu cerita yang telah selesai. Tidak ada lagi kontestasi.
Mengelola ketegangan pascapelantikan adalah pekerjaan pertama Presiden dan Wapres terpilih. Setelah menerima mandat, mereka bukan lagi milik partai dan pendukung. Sedetik pascaberucap sumpah dan janji di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka Presiden dan Wapres resmi mewakafkan diri untuk melayani dan bekerja untuk seluruh komponan bangsa.
Merujuk pada data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi-Ma’ruf dipilih oleh 85,6 juta pemilih dari 190 juta pemilih yang terdaftar. Secara kuantitatif maupun kualitatif, artinya keterpilihannya tersebut tidak begitu signifikan. Sebab ada 104,4 juta pemilih lain yang tak memilih pasangan ini.
Artinya, Prersiden dan Wapres memikul tanggungjawab yang amat berat. Meyakinkan bahwa pemerintah ada, dan bekerja untuk orang-orang non pemilih Jokowi-Ma’ruf yang jumlahnya dominan tersebut. Legitimasi empirik itu tidak mudah diperoleh sekadar dengan mencoblos. Namun harus melalui pembuktian.
Okelah, komunikasi politik ditingkat parpol yang dilakukan istana memang sukses menggalang kekuatan politik elit. Parpol-parpol yang tadinya berada di barisan oposisi tampak perlahan melebur ke pemerintah. Memberikan legitimasi politik.
Dalam skema transaksi kekuasaan, tentu saja. Hal yang saya kira wajar saja secara politik. Terutama bagi pemerintah yang memang berharap stabilitas di tingkat elit untuk memuluskan program-program yang dicanangkan.
Kendati demikian, dukungan itu sebetulnya juga jadi beban. Bukan hanya bagi parpol yang berubah haluan tersebut sebab mereka memanggul dukungan sebagai opisisi. Namun juga beban bagi pemerintah yang harus siap menghadapi duri dalam daging.
Maka bila iklim ketegangan seperti saat ini terus terjadi, dapat dibayangkan betapa menakutkan kekuatan oposisi 104,4 juta masyarakat yang bukan pemilih Jokowi-Ma’ruf.
Legitimasi politik elit tentu tak dapat diandalkan bila berhadapan dengan gelombang kekuatan politik rakyat.