REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Taufan Rahmadi, Pegiat Pariwisata Indonesia, Founder Temannya Wisatawan
Sumpah telah diucapkan Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019. Mengutip disampaikan Presiden Jokowi dalam pidatonya, sudah saatnya bangsa ini bersatu demi Indonesia maju.
Sebagai pegiat pariwisata apa yang disampaikan oleh Presiden adalah sebuah pertanda angin segar bagi terjaminnya suasana kondusif di negeri ini. Sebab tanpa ada kondusifitas dan rasa aman jangan mimpi pariwisata Indonesia akan mengalami kemajuan.
Bila kita melihat sejarah, Pariwisata Indonesia pernah mengalami zaman keemasannya di era Presiden Soeharto, Joop Ave yang kala itu menjadi Menparpostel berhasil membawa program Visit Indonesia Year sukses mendunia. Bahkan mampu mengenalkan keindahan alam dan budaya Indonesia tidak hanya sebatas Bali. Produk-produk pariwisata kala itu dihadirkan bukan dalam kemasan industrialisasi, melainkan dalam kemasan seni, budaya, keaslian yang bernilai dan bercita rasa tinggi.
Saat itu belum ada sosial media, belum ada digitalisasi, belum dikenal era 4.0, angka kunjungan wisatawan mancanegara mampu menembus 2,5 juta dari target 2,4 juta pada 1991. Menurut Joop Ave ada dua hal utama yang membuat program Visit Indonesia Year 1991 sukses. Pertama Indonesia berhasil membangun citra positif sebagai destinasi pariwisata; kedua, Indonesia sebagai negara kepulauan masih memiliki banyak destinasi wisata yang dapat dinikmati keindahan alam dan keaslian budayanya oleh para wisatawan.
Lalu bagaimana dengan pariwisata di era Jokowi? Dengan program unggulan 10 destinasi pariwisata prioritas, yang kemudian disaring lagi menjadi destinasi super prioritas, yang meliputi Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Likupang. Kelima daerah ini tengah didorong pengembangan infrastrukturnya agar bisa selesai pada 2020 mendatang.
Guna mencapai target tersebut pemerintahan Jokowi menganggarkan dana Rp 6,5 triliun untuk empat destinasi super prioritas. Rinciannya; Danau Toba Rp 2,2 triliun, Borobudur Rp 2,1 triliun, Labuan Bajo Rp 6,3 triliun, dan Mandalika Rp 1,9 triliun.
Tulisan ini bukan bermaksud untuk membandingkan program “Visit Indonesia Year“ di era Presiden Soeharto ataupun program “10 Destinasi Pariwisata Prioritas“ di era Presiden Jokowi. Tetapi tulisan ini ingin mencoba memberikan usulan tentang langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan secara nyata oleh Presiden Jokowi di 100 hari ke depan, melalui menteri pariwisata yang dipilihnya guna menciptakan program kerja memajukan Pariwisata Indonesia.
1. Ciptakan program jitu untuk peningkatan kualitas sadar wisata. Pembangunan pariwisata dikatakan berhasil jika pelaksanaannya tak saja mampu mendatangkan wisatawan yang mensejahterakan masyarakat secara ekonomi, juga menghadirkan kesadaran di hati setiap individu untuk menjaga keamanan, kenyamanan, dan kelestarian daerah tujuan wisata yang mereka tinggali. Program peningkatan sadar wisata selain pendekatan klasik, perlu juga strategi komunikasi publik yang kreatif dan menyentuh dalam penyampaian pesan tentang perilaku sadar wisata kepada masyarakat.
2. Fokus dalam pengembangan SDM Pariwisata, SDM pariwisata yang siap pakai masih sedikit dan belum merata. Institusi pendidikan pariwisata kerap kewalahan menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan pasar pariwisata.
Misalnya saja Kualitas dari guide Indonesia yang perlu ditingkatkan dari segi kemampuan berbahasa asing dan kualitas layanan.
3. Fokus program bukan hanya untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan tetapi juga meningkatkan kualitas kunjungan wisatawan, salah satu tantangan terbesar dari pariwisata Indonesia di masa depan adalah membuat kuantitas kunjungan wisatawan bisa berbanding lurus dengan kualitas dari nilai spending di saat para wisatawan berlibur di destinasi pariwisata di Indonesia. Dalam mencari solusi ini dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang progresif untuk dirumuskan bersama oleh para stakeholder yang berada dalam ekosistem nasional pariwisata sehingga mampu menjadikan pariwisata Indonesia adalah solusi kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
tingkat kunjungan yang terus meningkat kurang berkorelasi positif dengan nilai belanja wisatawan asing (spending) yang justru terus turun, dari angka 1.300-an dolar AS merosot ke 1.000-an AS per visit. Artinya ada penurunan kualitas kunjungan.
Penurunan kualitas kunjungan ini tentunya dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Seperti, pelayanan dan fasilitas di destinasi yang belum maksimal, atraksi wisata yang masih itu-itu saja, paket tur yang masih monoton alias kurang kreatif , dan kurang masif dan kreatifnya promosi pariwisata yang dilakukan.
4. Jadikan Kementerian Pariwisata adalah Kementerian Prioritas. Jika Presiden Jokowi di periode kedua ingin tetap berkomitmen menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor utama dalam penerimaan devisa negara, selain harus memilih sosok menteri pariwisata yang mumpuni, juga harus mulai mempertimbangkan langkah merevitalisasi Kementerian Pariwisata untuk tidak lagi menjadi institusi kementerian kelas 3. Di mana dalam ruang lingkup kewenangan dan anggaran selama ini sangat terbatas sehingga menteri pariwisata yang terpilih nantinya bisa full power dalam bekerja.
Program 10 destinasi Pariwisata Prioritas menjadikan pembangunan pariwisata adalah program utama pembangunan nasional sehingga di dalam menyukseskannya tidak saja menjadi tanggung jawab Menteri Pariwisata tetapi menjadi tanggung jawab bersama seluruh kementerian dan institusi terkait mulai dari pusat hingga daerah.
5. Perbaikan dan Pemantapan Manajemen Krisis dan Mitigasi Pariwisata, jangan remehkan jika terjadi krisis di destinasi, krisis itu bisa berupa, bencana alam, penyakit menular, kerusuhan, blackout listrik, dll, yang semuanya membutuhkan kesigapan pemerintah di dalam mengatasinya, dengan memberlakukan SOP (Standar Operation Procedure) yang dijadikan standard penanganan pada saat bahaya diharapkan akan mampu menghilangkan rasa khawatir bagi para wisatawan. Dan tentunya hal ini akan membangun citra positif Indonesia sebagai destinasi yang siap memberi pertolongan yang cepat jika terjadi sesuatu yang membahayakan ataupun mengganggu kenyamanan para wisatawan.
6. Lebih serius menggarap wisata halal, serius dalam arti: serius dalam komunikasi, serius dalam pelayanan, serius dalam pemasaran dan serius dalam regulasi, seperti memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat dan industri tentang apa dan bagaimana sebenarnya wisata halal itu, jangan lagi distorsi pemahaman dibiarkan terjadi terkait definisi dan implementasi wisata halal di destinasi.
Enam poin di atas dapat dikatakan quick win dalam 100 hari ke depan untuk dapat membangun landasan dan kerangka kerja yang kuat, dalam menyukseskan program prioritas destinasi pariwisata yang telah dicanangkan sebelumnya. Siapa pun menteri pariwisata yang dipilih Presiden Jokowi nanti, haruslah mampu meracik formula jitu di dalam menjalankan poin-poin itu , pariwisata Indonesia bukanlah pariwisata yang terjebak kepada pemahaman sempit industrialisasi semata, melainkan pariwisata yang tetap menjaga keberlanjutan dari keaslian adat istiadat serta keindahan alam Indonesia.
Dengan kata lain 100 hari masa kerja Presiden Jokowi harus mampu membuat menteri pariwisatanya memahami pariwisata itu adalah Indonesia, dan ini adalah visi besarnya, bukan begitu Bapak Presiden?