REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: OK Saidin, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Pidato perdana Presiden RI terpilih 2019, Ir H Joko Widodo di depan Sidang Umum MPR-RI Tahun 2019, sesaat setelah pelantikannya pada 20 Oktober 2019, akan membuka ruang kerja yang besar bagi penyelenggara negara, terutama Kementrian Bidang Ekonomi dan Hukum. Gagasan Presiden untuk mewujudkan capaian ekonomi Indonesia tahun 2045 yang setara dengan income per kapita negara-negara maju, tampaknya menjadi obsesi pemerintahannya pada periode lima tahun mendatang. "Indonesia harus keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah," begitu penegasannya.
Prediksinya pada 2045 Indonesia telah menjadi negara maju dengan pendapatan Rp 27 juta per kapita per bulan atau Rp 320 juta per kapita per tahun. Yang diimpikan presiden dan tentunya menjadi mimpi kita semua bahwa Produk Domestik Bruto Indonesia mencapai 7 triliyun dolar AS. Indonesia pada saat itu sudah masuk ke dalam kategori negara dengan peringkat ekonomi lima besar dunia dengan angka kemiskinan mendekati 0 (nol) persen.
Ini memberi signal secara eksplisit bahwa Presiden berharap kabinet menteri yang akan membantunya untuk lima tahun ke depan harus bekerja dengan sungguh-sungguh, disertai kerja keras, kerja cepat, kerja-kerja yang produktif di tengah dunia yang dinamis, kompetitif dan penuh risiko. Presiden juga mengingatkan jangan sampai bangsa ini terjebak dalam rutinitas yang monoton. Rutinitas dan monoton harus didobrak. Harus ada inovasi, bukan hanya dalam bidang ilmu pengetahuan tetapi juga dalam bidang budaya.
Pidato tanpa teks tersebut menyembunyikan banyak harapan dan tentunya menyimpan banyak makna yang harus diterjemahkan oleh siapa pun yang diberi amanah untuk pengelolaan negara dan pemerintahan di negeri ini. Para menteri dan semua pejabat di negeri ini harus memiliki kemampuan untuk menerjemahkan harapan Presiden itu. Untuk itu semua orang yang akan menduduki jabatan-jabatan strategis harus lah memiliki kemampuan yang profesional, kepemimpinan, talenta inovasi dan berinvensi serta tentunya juga memiliki integritas.
Inovasi dan Menu Pembangunan
Presiden juga menyinggung tugas menteri bukan hanya membuat dan melaksanakan kebijakan, tetapi harus bisa membuat masyarakat menikmati pelayanan, menikmati hasil pembangunan. Tugas peneyelenggara negara adalah tugas pelayanan. Pelayanan kepada masyarakat, sama seperti tugas koki dan peramu saji di sebuah restoran.
Seperti tugas koki, bukan hanya mengolah masakan menjadi lezat, tetapi memberi kepuasan batin, kegembiraan bagi siapa pun yang menyantap masakannya. Para pelanggan harus dilayani dengan sepenuh hati, karena nikmatnya makanan itu bukan hanya karena kepiawaian sang koki tetapi juga pelayanan terhadap konsumen dengan baik.
Kerap kali masakan yang menghabiskan bahan bahan yang banyak dan mahal, tetapi tak bisa dinikmati. Begitulah perumpamaan pembangunan yang menghabiskan jumlah anggaran yang besar, tapi rakyat tak bisa menikmati pembanguan itu. Bukan karena pembanguan itu tidak berguna tapi karena pembangunan itu tidak menyentuh pikiran dan jiwa rakyat yang berdiam di kawasan itu.
Seperti yang diungkapakan Presiden dalam pidatonya, “Seringkali birokrasi melaporkan bahwa program sudah dijalankan, anggaran telah dibelanjakan, laporan akuntabilitas telah selesa, tetapi setelah dicek ke lapangan, setelah saya tanya ke rakyat, ternyata masyarakat belum menerima manfaat, ternyata rakyat belum merasakan hasilnya.”
Terjadi ketidaktersambungan antara citarasa pembangunan dengan kebutuhan rakyat. Ada kekeliruan dalam menentukan “menu” pembangunan yang sesuai dengan cita rasa (baca: kebutuhan) rakyat. Di sinilah pentingnya arti Perencanaan Pembangunan yang bertumpu pada hasil penelitian. Kerja sama dengan lembaga riset nasional dan riset perguruan tinggi harus ditingkatkan. Hasil-hasil riset itu harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk menyusunan kebijakan-kebijakan pembangunan.
Jika riset hari ini hanya dimaknai pada menghasilkan inovasi dan invensi yang dapat diberi HKI, antara lain Paten, yang memperlihatkan kecenderungan pada riset-riset ilmu eksakta, maka untuk penerapannya harus dihubungkjan dengan riset-riset ilmu sosial. Agar kebijakan pembangunan yang bertumpu pada kedua hasil riset tersebut dapat bermanfaat bagi rakyat. Tujuan riset tidak hanya terbatas pada out put tetapi juga out come.
Infrastruktur Sosial
Di sinilah pentingnya pembanguan infrastruktur sosial, bahagian yang luput --karena waktunya sangat singkat-- dari pidato perdana Presiden sesaat setelah pelantikannya. Begitupun lima hal yang diingatkan Presiden tampaknya akan menjadi isu menarik untuk dieksekusi oleh meneteri-menteri beliau, tentunya juga kepada semua penyelenggara negara, untuk lima tahun ke depan.
Kelima isu itu adalah berdasarkan pengalaman beliau selama memimpin Indonesia pada periode sebelumnya. Misalnya hambatan investasi tidak hanya menyangkut keterampilan SDM yang belum memadai, tetapi juga hambatan birokrasi dan regulasi.
Hambatan dalam bidang regulasi ini tidak tanggung-tanggung. Terdapat 72 Undang-undang yang satu sama lain tidak sinkron dan bahkan tidak sejalan dengan upaya permerintah untuk mnengejar percepatan pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan dunia usaha, perdagangan dan investasi. Itulah sebabnya Presiden menyarankan agar peraturan itu segera dipangkas dan disusun dalam bentuk omnibus law atau di negara common law system dikenal dengan nama omnibus bill.
Mari kita simak lima isu penting yang dikumandangkan Presiden dalam pidato perdananya sesaat setelah pelantikannya sebagai Presiden RI Periode 2019-2024. Pertama, pembangunan SDM. Presiden mengharapkan SDM pekerja keras, dinamis, terampil, menguasasi IPTEK. Untuk itu Presiden perlu diundang para talenta global dan industri untuk bekerja sama dengan Indonesia dengan meninggalkan cara-cara lama dan memeilih cara-cara baru dengan penggunaan teknologi yang terjangkau ke seluruh pelosok negeri untuk menutupi kebutuhan endownmen SDM kita.
Ini menjadi isyarat bahwa tugas Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi akan bergeser dari pola-pola lama. Salah satu di antaranya adalah capaian lulusan Perguruan Tinggi harus mampu terjun ke dunia kerja dengan pemanfaatan teknologi digital dan IT.
Hari ini sebahagian besar kebutuhan masyarakat khususnya yang diperdagangkan di pasar-pasar tradisional (sektor ekonomi informal), sebahagian besar dihasilkan tanpa campur tangan dari hasil pendidikan di Perguruan Tinggi dan anehnya lulusan Perguruan Tinggi ilmunya tak dapat dipergunakan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Para tukang batu lebih mampu mendesain sebuah bangunan ketimbang lulusan Fakultas Teknik Sipil/Arsitektur, demikian juga para petani tambak, sayur-sayuran dan buah-buahan lebih mampu menguasai teknologi untuk meningkatkan hasil produksinya ketimbang sarjana lulusan Fakultas Pertanian.
Mengapa ini terjadi, apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Faktor para sarjana kita yang ingin bekerja di perkantoran ketimbang terjun langsung sesuai keahliannya ternyata masih dominan di samping karena lulusan sarjana kita tidak menghasilkan kreasi dan kurangnya inovasi.
Ke depan lulusan perguruan tiunggi harus mampu menciptakan nilai tambah dari tiap-tiap produksi yang dihasilkan oleh rakyat yang menjalankan usah-usahanya secara konvensional. Di sinilah pentingnya juga pembangunan infrastruktur yang telah dirintis Presiden Jokowi pada periode kepemimpinan sebelumnya dan dipadukan dengan pembangunan infrastruktur sosial.