Oleh: Sunano, Penulis dan Aktivisi KBPII (Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia)
Beberapa bulan yang lalu, saya sempat bersilaturahim ke kediaman Jendral (Purn) Fachrul Razi, daerah Cipayung. Rencana mau wawancara untuk bahan tulisan. Akhirnya ngobrol santai dari masalah kopi gayo yang enak banget sampai masalah radikalisme dan intoleransi. Kopi gayo merupakan dan merupakan menu utama yang ditawarkan ke setiap tamu.
"Ayo mas kopinya, buat sendiri ya, ada ini kopi gayo." Dengan ramah dan terus tersenyum.
“Siap pak,” ku seduh sendiri kopinya, sembari menunggu giliran wawancara. Dimeja belakang, saat menikmati kopi disambut Ibu Fachrul Razi dengan sangat hangat. Dengan ramah menjelaskan kesibukan bapak dan tetap bersemangat diberbagai kegiatan sosial. Ibu senantiasa menemani tamu yang mau ketemu suaminya.
Menteri Agama, Fachrul Razi (kiri).
Kopi Gayo memang luar biasa, menjadi diplomasi kebudayaan Aceh ke mancanegara. Padahal dari sejarah penanamannya relatif baru pada awal abad ke-20, seiring dengan berhasilnya Belanda mengendalikan perang di Aceh yang sudah berlangsung puluhan tahun.
Penanaman kopi dilakukan wilayah tengah di dataran tinggi Gayo. Seluas 100 Ha wilayah hutan disulap menjadi perkebunan kopi. Produksi kopi di wilayah Gayo sangat baik dan menjadi primadona di Eropa. Sangat terkenal di seluruh manca negara. Di seluruh nusantara, menjadi minuman khas kopi di warung kopi. Apalagi di Aceh, kopi gayo menjadi menu utama warkop di sepanjang jalan. Khas nama sajian kopinya “ulee kareeng”, sajian kopi disaring dengan kain dan dicampur susu.
Saya diajak ke kamar kerja ketika mau wawancara dengan sang Jendral. Ruangan yang relatif jarang digunakan untuk menerima tamu. Lebih cocok memang sebagai ruang berkontemplasi. Berjejer buku-buku berbagai genre dan sangat menarik. Beberapa barang yang sepertinya pernah dipakai saat berdinas di TNI tertata rapi di meja dan sudut ruangan.
Sang Jendral bercerita tentang radikalisme dan intoleransi tidak hanya sudah masuk ke kampus, tetapi juga setiap masjid yang ada di sekitar kita. Dari masjid di kampung-kampung, perumahan, di kota-kota besar sampai masjid perkantoran. Apalagi kalau jamaahnya sangat beragam. Ujaran intoleransi dan bibit radikalisme terus ditumbuhkan. Mereka lebih agresif.
Nah, dua hari yang lalu, Presiden Jokowi mengumumkan pengangkatan Menteri-menteri untuk kabinet Indonesia Maju. Menariknya Jendral (Purn) Fachrul Razi dilantik menjadi Menteri Agama. Sempat banyak yang bertanya kemampuannya, dijawab dengan santai “Saya ini Menteri agama di Indonesia, bukan Menteri Agama Islam”.
Posisi menteri oleh militer bukan kali pertama. Pernah ada Letjend (Purn) Alamsyah Ratu Prawira Negara dan Laksda (Purn) Tarmizi Taher. Keduanya ditunjuk pada waktu ketegangan dan kondisi masyarakat menguat. Momentum kasus Ahok, aksi 212 dan aksi bela Islam beberapa tahun terakhir semakin mengekskalasi kekuatan umat Islam yang meruncing pada potensi konflik. “kita harus mengembalikan Islam pada konsep rahmatan lil ‘alamiin” begitu Fachrul Razi mengulang penekanan saat menyampaikan tugas umat Islam.
Pada waktu Alamsyah (1978-1983) menjadi Menteri Agama, ditandai dengan munculnya Gerakan Komando Jihad. Merupakan gerakan radikal Islam yang ingin merubah dasar negara Pancasila menjadi negara Islam. Banyak anak muda, dan guru ngaji yang diduga mengajarkan paham radikal ditangkap dan dipenjara. Keluarga mereka juga ikut mendapatkan hukuman sosial dengan kesulitan mengakses pendidikan dan layanan pemerintah.
Periode itu juga muncul semangat jihad dengan banyak pemuda berangkat ke Afganistan untuk ikut berperang melawan Uni Soviet. Alumni perang Afgan ini banyak yang kembali pada tahun 1990an. Mereka menamatkan pendidikan perang dengan semangat jihad yang besar. Sebagian alumni jihad Afgan ini yang menjadi pelaku teroris dan pentolan gerakan radikal di Indonesia. Terpidana mati kasus Bom Bali I: Imam Samudra, Ali Gufron (Mukhlas) dan Amrozi adalah alumni Perang Afganistan.
Problemnya sekarang, masalah radikalisasi ajaran agama dan sikap intoleran antar umat beragama ini mengalami kemajuan seiring dengan kemajuan tekhlogi. Akses internet membuka peluang banyak radikalis baru lahir dari belajar dengan media sosial, youtube, berita hoax dan ujaran kebencian. Sasaran radikalis tidak dengan pendekatan personal, tetapi menjadi semua pengakses internet.
Selepas diskusi, saya kembali menikmati kopi arabica gayo. Berdiskusi memang enaknya sembari menikmati kopi, menjadi lebih cair. Sembari menjadi bagian dari identitas orang Indonesia dan Aceh, menu kopinya kopi gayo.
"Istriku bisa marah lho kalau gak dihabiskan kopinya." Begitu celetukan sang Jendral. Kopinye mantap sekali pak, apalagi tanpa gula.