REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Malik Sayyid Ahmad, Mahasiswa STEI SEBI, Depok
Beberapa dekade terakhir ini telah banyak berdiri lembaga-lembaga keuangan syariah. Era globalisasi dan digitalisasi yang dialami dunia saat ini berdampak langsung pada aktivitas ekonomi serta memberikan tantangan besar bagi pelaksanaan sistem keuangan syariah sebagai solusi sistem keuangan konvensional. Motivasi ini telah menyebabkan berdirinya Lembaga Keuangan Syariah (LKS) tidak hanya dalam negara yang mayoritas berpenduduk Islam, tetapi juga di negara-negara Barat (Baehaqi, 2019).
Perkembangan terbaru memperlihatkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) berkompetisi untuk mengeluarkan produk dan layanan kepada customer. Namun, bisa jadi LKS mengabaikan aspek syariah tertentu yang akhirnya memengaruhi sifat kepatuhan syariah (shariah compliance) yang menjadi elemen dasar yang harus dijaga.
Hal demikian terjadi karena bank-bank dengan label syariah tidak selalu diikuti dengan pengelolaan usaha yang benar-benar sesuai prinsip syariah, tetapi sebagian didirikan hanya demi kepentingan bisnis semata (Thayibatun, 2009). Menurut Mardiyah dan Mardiyan (2015) Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memiliki karakteristik yang berbeda dengan diharuskannya mematuhi segala ketentuan syariah (sharia compliance) dalam menjalankan kegiatan usaha dan produknya.
Perbedaan karakteristik ini mempengaruhi bentuk dan standar pengawasan dan audit terhadap LKS. Kebutuhan atas kepastian pemenuhan syariah ini mendorong munculnya fungsi audit baru, yaitu audit syariah. Dalam hal ini, auditor syariah memegang peran penting untuk memastikan akuntabilitas laporan keuangan dan pemenuhan aspek syariah. Sehingga stakeholder merasa aman berinvestasi dan dana yang dimiliki oleh LKS dapat dipastikan telah dikelola dengan baik dan benar sesuai dengan syariah.
Hal ini didukung oleh Yaqoob & Donglah (2012) yang menyatakan dalam mempertimbangkan pesatnya pertumbuhan industri syariah, sangat penting untuk lembaga keuangan syariah untuk memiliki check and balance yang memadai mengenai mekanisme dalam bentuk audit syariah yang sesuai dengan tujuan dan misi dari maqashid syariah. Dengan adanya audit syariah untuk lembaga keuangan syariah memberikan jaminan dan akuntabilitas yang independen kepada para pemegang saham mengenai hal-hal yang berkaitan dengan operasi lembaga keuangan syariah berdasarkan prinsip syariah.
Menurut Baehaqi (2019) konsep al-Hisbah yang telah dipraktikan pada masa Rasulullah dan Kekhalifahan memiliki persamaan dengan pelaksanaan audit LKS (audit syariah). Kedudukan al-Hisbah berdasarkan dalil Alquran dan hadits. LKS yang semakin berkembang, membutuhkan audit syariah yang akan memastikan pemenuhan terhadap prinsip syariah (sharia compliance).
Audit yang dilakukan saat ini, merupakan bagian dari sistem keuangan konvensional yang lebih menilai pada aspek ekonomi saja. Pengembangan audit syariah oleh audit internal LKS masih belum berjalan ideal.
Audit internal LKS belum didukung oleh kompetensi syariah yang memadai dan panduan pemeriksaan berkaitan dengan aspek syariah. Selain itu, dukungan peraturan juga belum mampu menunjukkan dengan jelas peran audit internal dalam membantu tugas DPS melakukan proses pemeriksaan aspek pemenuhan syariah.
Menurut AAOIFI audit syariah adalah pemeriksaan sejauh mana kepatuhan Lembaga Keuangan Islam, dalam semua aktivitasnya sesuai syariah. Pemeriksaan ini termasuk kontrak, perjanjian, kebijakan, produk, transaksi, memorandum dan anggaran dasar, laporan keuangan, laporan (terutama audit internal dan inspeksi bank sentral), surat edaran, dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memastikan sistem internal kontrol yang sehat dan efektif yang sesuai dengan aturan dan prinsip syariah.
Fungsi audit syariah dilakukan oleh auditor internal yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai terkait syariah. Auditor internal harus dapat menunjukkan bahwa tidak ada ancaman terhadap independensi mereka sehingga pihak eksternal tidak akan meragukan objektivitas dari auditor. Independensi dalam hal ini yaitu terkait objektivitas dan penampilan. Independensi dapat terjaga juga oleh faktor pendukung lainnya seperti religiusitas.
Isu kompetensi Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Indonesia menurut Farhana & Tarmidzi (2014) yakni tidak seimbangnya kompetensi yang dimiliki oleh DPS di bidang keuangan dan akuntansi dengan kompentensi di bidang syariah, sertifikasi DPS di Indonesia belum optimal, dan lembaga pendidikan serta pelatihan yang menyediakan kurikulum akuntansi/ auditing syariah sehingga DPS yang ada masih terbatas. Sedangkan tantangannya yaitu meningkatkan kompetensi DPS, kerja sama antara DSN-MUI dengan OJK dalam menciptakan sertifikasi DPS yang wajib, dan lembaga pendidikan yang mampu memenuhi kebutuhan industri terkait DPS.
Menurut Khalid & Haron (2018) kompetensi auditor syariah yang tepat (dalam hal ini mencakup pengetahuan, kualifikasi pendidikan, keterampilan, pengalaman dan pelatihan) menjadi sebuah elemen dasar yang akan menghasilkan audit internal syariah yang efektif untuk Lembaga Keuangan Islam dengan tujuan mencapai maqashid syariah. Teori maqashid syariah Abu Zahara dalam penelitian Khalid & Haron (2018) dianggap memiliki tujuan yang sama yaitu memandang tujuan syariah sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Dengan mendidik manusia sebagai elemen penting dari transformasi individu menjadi anggota masyarakat yang berguna sehingga tidak membahayakan bagi orang lain.
Dalam teorinya Abu Zahara mengklasifikasikannya menjadi tiga tujuan spesifiknya yakni mendidik individu (tahdhib al-fard), membangun keadilan (iqamah al-‘adl), dan mencapai kepentingan umum (al-maslahah). Yang mana ketiga tujuan ini akan mencapai maqashid syariah sebagai tujuan akhir.
Ketiga konsep tujuan Abu Zahara menjadi multidimensi dalam mencapai efektivitas audit syariah. Auditor syariah memastikan transaksi lembaga keuangan syariah dalam semua lini bisnis sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta memastikan semua transaksinya terbebas dari unsur-unsur yang dilarang syariah seperti riba, penipuan, perjudian, dan korupsi.
Pertama, mendidik individu yang bertujuan mencapai keadilan, sehingga menghasilkan karakteristik auditor syariah yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya keuangan dan pencatatan transaksi keuangan, serta memperkuat dan memvalidasi pekerjaan manajemen. Kedua, membangun keadilan yang menunjukkan pencapaian tujuan sosial, sehingga seorang auditor syariah tidak boleh menafsirkan secara subjektivitas yang tinggi, harus menempatkan segala sesuatu sesuai proporsinya agar tidak menimbulkan kerusakan bagi kepentingan orang lain.
Ketiga, mencapai kepentingan umum yaitu maslahah, sehingga auditor syariah harus memastikan kebijakan dan program Lembaga Keuangan Syariah tentang kepentingan publik dipertimbangkan dan menjadi elemen penting dalam tujuan bisnis perusahaan mereka dari sisi tanggung jawab sosial. Dengan pertumbuhan dan perkembangan industri keuangan syariah yang potensial di Indonesia, seharusnya peran auditor syariah yang mengaudit Lembaga Keuangan Syariah memiliki kompetensi yang tepat bisa mengambil model konsep maqashid syariah Abu Zaharah. Dengan demikian dapat dilakukan perbaikan dan pengembangan bersama dalam aspek yang lain juga sehingga menghasilkan audit internal syariah yang efektif bagi Lembaga keuangan Syariah di Indonesia.