Oleh: DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara
Pemerintah dimanapun selalu memiliki perangkat resmi dan tidak resmi memonitor, mengumpulkan, menganalisis setiap inci realitas bangsanya. Lalu memproyeksi realitas baru. Pemerintahan Jokowi juga memiliknya. Berbekal itu atau tidak, Presiden Jokowi membuat pernyataan tak terukur pada dua kesempatan berbeda. Pernyataan itu dalam intinya, tentang Kemenag mengurusi radikalisme dan intoleransi.
Dikemukakan pertama kali pada saat pelantikan menteri-menterinya. Diulang lagi pada hari berikutnya pada saat rapat perdana kabinetnya. Kata Jokowi sesaat setelah pelantikan menteri: "Kesembilan Bapak Jenderal Fachrul Razi sebagai Menteri Agama. Ini urusan (Menag) berkaitan dengan radikalisme, ekonomi ummat, industri halal saya kira, dan terutama haji berada di bawah beliau."
Sehari setelah itu, Presiden menyatakan dalam rapat perdana kabinet “kita ingin berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi betul-betul secara kongkrit bisa dilakukan oleh Kementerian Agama. Dipilihnya Jendral (Purn) Fachrul Razi menjadi menteri agama, menurutnya karena mantan wakil panglima TNI 1999-2000 itu memiliki kemampuan mengatasi masalah radikalisme yang saat ini tengah menjadi keresahan di publik.
Insyaa Allah
Menjadi politisi bukan pekerjaan rumit sejauh tersedia bakat untuk, misalnya bersedia menanggung cercaan, hinaan dan sejenisnya. Toh politik tidak seluruhnya berputar pada kemampuan membuat hal yang tidak mungkin berubah menjadi mungin dan sebaliknya. Politik malah lebih sering terlihat sebagai seni membuat konflik berputar dalam kendali, pada garis kehendak yang ditetapkan.
Apa yang Jokowi maksudkan radikalisme dan intoleran? Dengan pemahaman apa ia memasuki isu radikalisme dan intoleransi? Tidak ada yang mengetahuinya. Tetapi apapun itu Presiden Jokowi telah memperlihatkan relasi determinan agama, terlihat mengarah pada Islam, dengan radikalisme dan intoleransi. Itu yang mengakibatkan penyataannya membahana membelah realitas kemesraan tradisional NU dan Muhammadiah dengan kementerian ini.
Pak Din Syamsuddin, professor pintar dan berintegritas top ini pun menanggapinya. Kata Pak Din, seharusnya Kemenag bukan memberantas hal semacam itu. Kemenag memiliki peranan yang jauh lebih luas membangun moralitas bangsa. Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya diseputaran agama. Radikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan.
Lebih jauh, disini terlihat Pak Din menempatkan, membawa isu itu ke dalam alam konstitusionalisme. Pak Din menguraikan dalam nada kritis “kenapa tidak boleh disebut radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan. Dalam penilaian kritisnya Pak Din menamakan radikalisme ekonomi. Kenapa tidak radikalisme politik? Kata radikalisme itu agak “tendensius” tanda petik dari saya, karena lebih banyak ditekankan kepada umat Islam.
Jalan Pak Din memang bukan jalan Kiyai Robikin, salah seorang fungsionaris PB NU. Kiyai Robikin memperlihatkan kemiripan pandangan NU dengan Presiden mengenai bahaya radikalisme. Tetapi kemiripan ini tidak cukup membuat NU, setidaknya Kiyai-kiyai NU di daerah nyaman. Karena bukan orang NU itulah menurut Kiyai Robikin, banyak kiyai di daerah yang protes (Kumparan, 24/10).
Kiyai Robikin tak mungkin memasuki area ini tanpa alasan. Tetapi Jokowi, entah karena keluhan NU atau bukan, sehari setelah pengangkatan Menteri Agama, mengangkat KH Zainut Tauhid Sa’adi menjadi Wakil Menteri Agama. Kiai Zainut dikenal luas memiliki jejak positif dalam urusan keumatan. Beliau tahu seluk-beluk perasaan ummat Islam.
Kapasitasnya yang hebat memudahkan Pak Wamen menemukan cara pemecahannya.
Pak Wamen ini sontak menyodorkan gagasan silaturrahim dengan para Kiyai dan Ormas keagamaan. Menurutnya ini harus sudah terlaksana sebelum benar-benar merancang program dan kegiatan kementerian ini. Sebab (isu radikalisme), dalam penilaiannya bisa menyebabkan kontroversi. Mengurainya menjadi pekerjaan yang harus segera dilakukan Kemenag (Republika.co.id, 25/10).
Pak Wamen benar, terminologi radikalisme dan intoleransi itu sangat tak jelas. Apa konsepnya, apa objeknya, apa bentuknya dan apa unsurnya? Tak jelas. Terlihat sejauh ini diserahkan ke dunia politik. Pak Wamen juga benar, silaturrahim adalah wahana indah menghidupkan rasa sebagai sesama hamba Allah. Dan saya cukup yakin Pak Jendral Fachrul juga menyukai silaturrahim dilintasan indah ini. Insyaa Allah.
Waktu
Mengandalkan hukuman dalam merespon tindak-tanduk radikalisme dan intoleransi yang tidak jelas detail konsep itu secara hukum, walau terlihat dipertautkan dengan agama, khususnya Islam, sejauh yang bisa dikatakan tak mendominasi pertimbangan Presiden Jokowi. Pak Presiden terlihat cukup jelas lebih memerlukan langkah non hukum.
Tetapi justru disitulah letak soalnya. Dimana letak soalnya? Negara hukum demokratis mengharuskan kejelasan sejelas-jelasnya setiap terminologi atau konsep yang dijadikan basis tindakan pemerintahan. Konsep dan detailnya tidak jelas, tetapi dijadikan basis kebijakan negara, harus dikatakan sama dengan main politik.
Negara hukum demokratis mengharuskan terminologi atau konsep “radikalisme dan intoleransi” dibuat jelas. Dan itulah, saya duga, suka atau tidak menjadi inti pandangan Pak Din Syamsudin dan Zainut Tauhid Sa’adi, Wamen Kemenag ini.
Membuat jelas konsep radikalisme dan intoleransi adalah cara konstitusional memotong, membelenggu, mengisolasi tindakan main lebel, main tuduh. Presiden Jokowi, saya duga, jauh dari kehendak melebel Islam dengan radikalisme. Saya percaya itu, lebih dari yang bisa dibayangkan. Tetapi bukan disitu soalnya.
Soalnya tanpa konsep yang jelas, terukur pada detail dan unsur-unsurnya, tetapi menjadikannya sebagai isu utama tindakan pemerintahan, sama dengan menyatakan telah ada radikalisme dan intoleransi, hanya berdasarkan defenisi Presiden. Sebaik-baiknya niat Presiden memberangus radikalisme, Presiden dituntut untuk memiliki pijakan terukur secara hukum.
Negara hukum demokratis, sekali lagi, mengharuskan konsep-konsep radikalisme dan intoleransi dirumuskan terlebih dahulu dalam hukum. Rumusannya harus selaras dengan nalar keadilan. Harus terukur dalam semua aspek detailnya. Juga harus selaras dengan nilai-nilai hebat, agung, fundamental yang melembaga dalam kearifan-kearifan bangsa hebat ini.
Negara hukum demokratis mengharuskan diciptakannya lingkungan yang civilized, bebas dari rasa takut, apapun jenisnya. Tetapi ketakutan mendadak dan tak terukur tidak bisa diambil dan dijadikan basis kebijakan hukum. Ketakutan mendadak dan tak terukur hanya menghadirkan legitimasi murahan.
Itu karena derajat kesesuaiannya tidak kokoh. Jangan lupa legitimasi ditunjuk konstitusionalisme sebagai standar utama membuat hukum. Juga standar utama menciptakan daya adaptasi tindakan pemerintahan dengan semua nilai hebat bangsa ini.
Jokowi jelas tidak tendensius. Tetapi agak sulit untuk tak mengatakan Jokowi terlihat membelakangi perspektif konstitusionalisme sehat. Mengapa? Pernyataannya terlihat kongklusif. Juga muncul ditengah ketiadaan konsep hukum tentang radikalisme dan intoleransi. Bukan tak bisa, tetapi bukan itu cara mengendorsnya. Apalagi rasio yang menyertainya begitu tipis.
Cara yang dipilih itu, entah dengan atau tanpa detail pertimbangan pada semua aspeknya, punya konsekuensi. Pak Jokowi terlihat membawa dirinya menjadi orang tak terlatih mengenal kearifan konstitusionalisme sehat mengurus pemerintahan. Bicara pendek memang bisa, tapi tak menyertakan argumentasi konstitusionalisme sehat adalah perkara mengerikan.
Apakah Presiden telah cukup yakin DPR yang telah menjelma menjadi mahluk paling bijaksana menggunakan kewenangan pengawasan konstitusionalnya, sehingga tak memperhatikan detail konsekuensi pernyataannya? Entahlah. Presiden, boleh jadi memiliki keyakinan DPR telah lebih dewasa membawa diri memahami pemerintahannya. Boleh jadi DPR untuk alasan itu, selalu dapat menerima semua tindakan pemerintahan Pak Presiden.
Lebih jauh Presiden mungkin telah cukup yakin berada dan berurusan dengan hanya satu realitas. Bukan dua realitas yang pernah terbentang begitu lebar, yang sempat teridentifikasi secara terburu-buru hampir membelah bangsa ini. Realitas tunggal itu, semoga beralasan, lebih dari mungkin menjadi modal menggerakan lebih cepat, tetapi terukur, bukan liar pemerintahan ini.
Tetapi sehebat itu sekalipun, Presiden diminta untuk bijaksana mengelola pemerintahannya. Presiden, untuk kepentingan kearifan pemerintahan konstitusional tak boleh terlihat menjadi pemicu tindak-tanduk rasisme, intoleransi dan radikalisme dalam semua dimensinya. Itu jelas. Itu merupakan hal hebat untuk segala zaman.
Presiden juga tak boleh menjadi pemicu kontroversi, apapun isunya. Agar terhindari dari semua itu dan tidak ternilai tendensius, manis sekali bila Presiden bergegas merumuskan konsep detail radikalisme dan intoleransi itu. Mari menantikannya. Dan waktu akan datang menjadi hakim, memberi kualifikasi pada dirinya sebagai Presiden untuk semua itu.
Jakarta, 28 Oktober 2019