Oleh Lukman Hakiem, Peminat Sejarah dan Mantan Sfaf Ahli Wapres Hamzah Haz
Memulai kata Pengantar untuk buku Sartono Kartodirdjo, Sejak Indische sampai Indonesia (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2005), Taufik Abdullah menulis: "Pada tahun 1922 De Indische Vereeniging--perkumpulan mahasiswa yang datang dari 'tanah Hindia' di negeri Belanda--mengubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Dengan begini maka sifat organisasi itupun mengalami perubahan yang cukup drastis --dari sekadar perkumpulan sosial kemahasiswaan menjadi organisasi yang memperlihatkan kecenderungan politik."
Kata "Indonesia" yang semula hanya merupakan konsep geografis dan antropologis, ketika dipakai menjadi nama organisasi oleh "segelintir pemuda terpelajar dari tanah Hindia", menurut Taufik, serta merta menjadi konsep politik.
Jauh Lebih Dahulu
Menurut Prof Sartono Kartodirdjo sejak dekade 1920-an di Indonesia timbul gerakan emansipasi politik yang ditandai dengan lahirnya organisasi politik, organisasi bukan politik, dan study club.
Sejak awal abad XX para pemuda Indonesia mulai menuntut ilmu di negeri Belanda. Mereka menyebar antara lain di Leiden, Amsterdam, Rotterdam, dan Wageningen.
Timbullah gagasan di kalangan para pemuda terpelajar itu untuk membentuk perkumpulan. Gagasan untuk bergabung dengan Boedi Oetomo atau Indische Party ternyata tidak popular. Mereka kemudian mendirikan De Indische Vereeniging yang kemudian berubah menjadi Indonesische Vereeniging.
Dalam catatan Sartono, jauh lebih dulu dari perkumpulan-perkumpulan lain, organisasi pemuda terpelajar di Belanda itu telah mengekspresikan aspirasi politik, karena mereka sadar betapa rendah status politik pribumi dibandingkan dengan orang Belanda dan orang Eropa.
Di masa kolonialisme Belanda, baik sistem diskriminasi maupun sistem segregasi sangat mencolok.
Pada bulan Maret 1916 organisasi pemuda terpelajar itu menerbitkan majalah Hindia Poetera. Tulisan-tulisan dalam majalah itu terutama ditujukan kepada mereka yang bersimpati kepada masalah-masalah di Indisch (Hindia).
Pada 1922 Indonesische Vereeniging resmi diterjemahkan menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI).
Pada 1923, di bawah kepemimpinan R Iwa Kusuma Sumantri, PI menegaskan bahwa masa depan Indonesia dalam bentuk pemerintahan semata-mata ada di tangan bangsa Indonesia sendiri.
Dalam majalah Hindia Poetera Maret 1923 dimuat asas pernyataan PI dengan penekanan pada ide kesatuan dan demokrasi. PI menegaskan, bangsa Indonesia perlu menentukan nasib sendiri di masa depan serta menentukan bentuk pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat.
Bergerak lebih jauh, PI mengubah nama majalahnya dari Hindia Poetera menjadi Indonesia Merdeka dengan semboyan: "Merdeka!"
Pernyataan Dasar-dasar PI
Di bawah kepemimpinan Soekiman Wirjosandjojo, PI mengeluarkan Pernyataan Dasar-dasar berisi tiga butir sebagai berikut:
1. Hanyalah Indonesia yang bersatu serta mengenyampingkan perbedaan yang mampu mematahkan kekuatan penguasa yang menjajah. Tujuan bersama ialah pembebasan Indonesia berdasarkan pada kesadaran dan bertumpu pada kekuatan aksi massa nasionalistis.
2. Dalam setiap masalah tata negara kolonial yang mendominasi ialah perlawanan kepentingan antara penjajah dan yang dijajah.
3. Keikutsertaan semua lapisan masyarakat dalam perjuangan pembebasan yang mendominasi dalam perjuangan itu ialah berlawanannya kepentingan yang menjajah dan yang dijajah. Kecenderungan dalam perjuangan ialah bagaimana menyembunyikan dan menutupi siasat kaum penjajah. Politik kolonial itu merusak dan mendemoralisasi kehidupan psikis dan fisis, maka perlu diusahakan normalisasi relasi-relasi dalam kehidupan masyarakat kolonial itu.