Ahad 03 Nov 2019 10:14 WIB

Menyoal Terminologi Manipulator Agama

PBB menyebut terorisme dengan istilah Violent Extremism.

Penangkapan tersangka tindak pidana terorisme (ilustrasi)
Foto: republika
Penangkapan tersangka tindak pidana terorisme (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Indra, SH. MH, Praktisi Hukum/Advokat

Apakah sudah tepat menyandingkan atau menyamakan terminologi radikalisme dengan 'Manipulator Agama'? Apakah bukan merupakan bentuk penyesatan pemikiran menyamakan diksi radikalisme dengan "Manipulator Agama” ?.

Apakah tidak tendensius menyamakan radikalisme dengan "Manipulator Agama"? Atau jangan-jangan, apakah hal ini bentuk kejujuran atau mempertegas dan memperjelas bahwa bebagai program atau kampanye radikalisme yang selama ini digaungkan, memang patut diduga diarahkan untuk entitas agama, yang sudah barang tentu maksudnya agama Islam? Atau apakah lebih spesifiknya yang akan disasar di antaranya, Ulama, Kyai, Habib, Ustadz, Tokoh Islam, Aktivis Islam, dan seterusnya?

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, para pejuang yang berjuang dan berperang melawan pemerintahan kolonial Belanda dikenal atau dilekatkan dengan istilah oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai kaum radikal dan pemberontak. Bagi Pemerintahan Kolonial Belanda, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Kapitan Pattimura, Tuanku Tambusai, Nyi Ageng Serang, Hasanuddin, Panglima Soedirman, KH. Hasyim Ashari, Ahmad Dahlan, Adam Malik, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, Bung Tomo, Syafruddin Prawiranegara, Soekarno, Mohammad Hatta, dan ribuan pejuang kemerdekaan lainnya merupakan orang-orang radikal. Lantas, apakah para pejuang kemerdekaan-para pahlawan bangsa layak disamakan sebagai "Manipulator Agama"?

Apakah para penentang Raja dalam revolusi Prancis yang menyebut dirinya dan yang dilabeli sebagai kaum radikal melakukan manipulasi agama? Apakah kata radikal merujuk pada aktivitas tiga partai di Perancis pada abad ke-19, yakni Partai Republikan, Partai Sosialis Radikal, dan Partai Radikal yang anti-monarki juga melakukan manipulasi agama?

Apakah gerakan "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan "reformasi radikal" dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen pada tahun 1797 juga melakukan manipulasi agama? Apakah para aktivis anti-perbudakan (abolisionists) sepanjang abad ke-19 di Amerika melakukan manipulasi agama?

Right-wing extremism alias ekstremisme sayap kanan umumnya berasosiasi dengan ideologi fasisme, rasisme, supremasisme, dan ultra-nasionalisme yang disebut sebagai kaum radikal di daratan Eropa melakukan manipulasi agama? Apakah Neo-Nazi di Jerman, Golden Dawn di Yunani, serta Front National di Prancis melakukan manipulasi agama?

Sikap kedaerahan yang disertai paham dan sikap ekstrem, yang mengandung sikap chauvinis, termasuk sikap anti terhadap orang dari daerah luar dan lebih-lebih bila sering memberikan ancaman merdeka manakala tidak puas terhadap keadaan, yang dikategorikan sebagai radikal dan radikalisme juga melakukan manipulasi agama?

Apakah gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), gerakan Aceh Merdeka (GAM), gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM), pembantaian pendatang di Wawena-Papua dan masih ada beberapa contoh lainnya juga melakukan manipulasi agama?

Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata “radikal” berasal dari kata bahasa Latin, yakni “radix atau radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Radikal ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991).

Sedangkan radikalisme berasal dari akar kata radikal. Kamus Merriam Webster mengartikan “radikal” sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan/politik. Dalam Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry, radikalisme diartikan sebagai faham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa “radikalisme” merupakan (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Kemudian, Ensiklopedi online Wikipedia, membuat definisi yang lebih spesifik bahwa radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.

Sampai saat ini tidak ada satu pun undang-undang yang mendefinisikan radikalisme termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme. Sehingga pemaknaan radikal dan radikalisme menjadi sangat subjektif dan sangat bergantung pada situasi pihak-pihak yang menempatkan dan menggunakan istilah tersebut.

Dengan belum adanya definisi baku dan mengikat secara hukum atas istilah radikalisme, maka bermunculan stigma bahwa radikal merupakan suatu hal yang pasti negatif dan juga menyebabkan kata ini sering melekat atau setidaknya berkaitan dengan aksi terorisme. Selain memunculkan stigma negatif, kekosongan definisi juga memunculkan berbagai kritik dan kecurigaan atas berbagai program dan kebijakan pemerintah sehubungan dengan radikalisme.

Selain itu, apabila istilah radikal dan radikalisme merujuk pada Kamus Besar Bahas Indonesia, maka sudah barang tentu radikalisme bisa tumbuh dan terjadi disemua entitas, kelompok, golongan, suku, agama, ras, etnis, dan seterusnya.

Dengan demikian sangat tendensius dan tidak adil manakala baju radikal dan radikalisme disematkan terbatas pada satu paham dan golongan, seperti entitas “Agama”, apalagi diarahkan kepada Agama Islam.

Apabila memang benar-benar mau memberantas terorisme dan radikalisme teroris dengan belum adanya definisi hukum/baku atas istilah radikalisme, maka setidak-tidaknya pihak-pihak terkait bisa merujuk pada kesadaran dunia internasional (PBB) yang tidak lagi menggunakan istilah radikalisme.

Tahun 2014, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 2178 terkait langkah pencegahan penyebaran terorisme, yang isinya justru tidak menyebut istilah Radikalisme tetapi dengan istilah baru yaitu Violent Extremism (VE), tindakannya disebut Countering Violent Extremism (CVE).

Jadi, mau dibawa kemana arah dan penanganan radikalisme di negeri ini? Yang pasti kita semua menolak dan menyatakan perang atas terorisme, radikalisme teroris, vandalisme, separatisme, anarkisme, makar, dan berbagai bentuk kekerasan lainnnya. Namun demikian tidak boleh serampangan dan sembarangan menyamakan radikalisme dengan "Manipulator Agama". Para pemangku kepentingn buatlah pernyataan, program dan kebijakan yang tidak membuat masalah dan kegaduhan baru disaat persoalan ancaman resesi ekonomi, masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, potensi konflik horizontal dan separatisme, penegakkan hukum dan rasa keadilan yang masih jauh dari harapan, dan seterusnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement