Rabu 06 Nov 2019 07:39 WIB

Membaca Arah Politik Kebangsaan NU di Kabinet Jokowi

Masyaikh NU tidak akan pernah mutung, ngambek, dan merasa dikhianati.

Pelantikan Kabinet Indonesia Maju. Jajaran Kabinet Indonesia Maju mengikuti acara perkenalan bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10).
Foto: Republika/ Wihdan
Pelantikan Kabinet Indonesia Maju. Jajaran Kabinet Indonesia Maju mengikuti acara perkenalan bersama Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Aguk Irawan MN

Membaca tulisan Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) “Posisi NU dan Keseimbangan Sosial-Politik” (Geotimes,2/11/2019), membuka dengan terang-benderang selubung dan arah politik NU belakangan ini. Demikian itu sudah selayaknya, bagi siapa pun yang ingin membaca NU, hendaklah melihat dari kacamata yang holistik, dan itu, salah-satunya bisa ditemukan landasan-landan filosofisnya ada pada kitab-kitab kuning. Teori-teori sosial-politik yang diimpor dari Barat tidak cukup kuat untuk menganalisa.

Tulisan Gus Nadir, mungkin sebenarnya hanya punya satu tujuan. Yakni, meluruskan asumsi miring publik, baik yang diam-diam maupun terang-terangan melihat NU sebagai organisasi yang mutungan, ngambekan, dan merasa dirinya diperlakukan seperti pepatah habis manis sepah dibuang. 

Asumsi publik tersebut mungkin berlebihan, dan jauh dari kebenaran. Pemerintah, akademisi, pemerhati, dan publik luas apabila membaca kitab kuning, maka mereka akan mendapatkan kesimpulan, politik NU selalu terukur dan tidak pernah keluar dari kaidah-kaidah kitab kuning.

Kita bisa ambil contoh kaedah ke-87 dalam kitab Qawa’id Fiqhiyah (Damsyik: Dar al-Qolam, 1989; 441), yang berbunyi an-ni’mah bi qadri an-niqmah (kenikmatan berbanding lurus dengan kadar kesulitan). Publik paham, sejak pra-kemerdekaan, hingga munculnya resolusi Jihad, warga Nahdliyin telah berkorban. Hasilnya nyata, bangsa ini terbebas dari masa kegelapan akibat kolonialisme. Sebelum Pilpres 2019, warga NU juga berjuang melawan radikalisme. Hasilnya juga nyata, KH Ma’ruf Amin tampil sebagai wakil presiden.

Namun, sebagaimana yang sudah menajadi konsumsi publik, pascakemerdekaan posisi warga NU seperti hanya warga kelas dua, apalagi saat zaman Orde Baru. Mungkin, kondisi ini tak berlebihan, lantas dikaitkan dengan keadaan pasca-pilpres 2019. Sebab, nyaris tidak ada representasi NU. 

Di situ Gus Nadir benar, NU tidak diberi jatah dalam kabinet Jokowi. Tetapi, apakah para masyaikh NU kecewa? Sebelum menjawab, lihatlah sosok KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan lapang dada melepas jabatan kepresidenannya, meskipun sampai hari ini fitnah yang menjadi penyebab jatuhnya itu masih belum bisa dibuktikan di pengadilan.

NU sadar politik kebangsaan jauh lebih berat dibanding politik kekuasaan. Bagi NU, jatah atau jabatan hanya salah satu wasilah untuk mengisi kemerdekaan dalam rangka mencerdaskan dan mensejahterakan umat (rakyat) seluruhnya, bukan semata untuk golongan, sebagaimana tudingan sementara kelompok. Tentu tugas ini tidak mesti ada di dalam pemerintahan, di luar, NU sudah banyak membuktikannya.

Kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi (kalian umat terbaik yang diutus kepada seluruh manusia), bukan tugas ringan yang Allah amanahkan untuk manusia. Karenanya, NU akan terus berjuang dan berusaha sekalipun berat dan mungkin lebih sulit. 

Hal lain yang perlu dicatat adalah, bagi NU, lebih baik lelah (berjuang) meskipun tidak “mendapatkannya” dari pada “mendapatkan” tapi dari hasil keringat orang lain. Selain itu, tentu saja masyaikh NU tidak akan pernah sakit hati pada siapa pun yang mendapat jatah kekuasaan tanpa kucuran keringat. Itu karena, pemerintah dan negara Indonesia di mata NU sudah seperti ‘anak’ di hadapan bapaknya. Adakah orang tua menuntut upah atas cinta yang ia berikan pada anaknya?

Kedua, selain politik kebangsaan yang selalu menuntut pengorbanan, NU juga mengemban spirit politik profesional. Hal itu digali dari kaedah ke-94 Qawaid Fiqhiyah, yang mengatakan “al-amru bit tasharruf fi milkil ghairi bathilun (perintah dengan menggunakan milik orang lain adalah batil.”) 

Seperti kata Gus Nadirsyah Hosen, masyaikh NU tidak akan pernah mutung, ngambek, dan merasa dikhianati. Selain hal itu memang bagian dari risiko perjuangan di jalur politik, masyaikh NU tahu bahwa mendikte presiden dalam menyusun kabinetnya adalah pelanggaran. 

Kabinet Indonesia Maju adalah wilayah kekuasaan presiden. Para menteri adalah orang-orang yang menjadi tumpuan presiden untuk membantu dirinya mengemban amanah rakyat. Dan presiden adalah milik rakyat. Karenanya, presiden memiliki hak prerogatif dalam menentukan siapa saja menterinya.

Memerintahkan presiden Jokowi agar menggunakan hak prerogatifnya sesuai dikte dari NU adalah larangan kitab kuning. Hak prerogatif presiden adalah amanah konstitusi, bukan amanah dari NU. Karenanya, politik intervensi adalah larangan atau haram secara fikih politik.

Cara NU berpolitik berbeda dengan kelompok-kelompok pragmatis. Dengan kekuatan modal-kapital yang besar dan jejaring underground yang luas, mereka mendikte presiden. Mendikte presiden untuk menggunakan hak dan wewenangnya demi kepentingan kelompok adalah perkara batil dalam kacamata fiqih politik NU.

Terakhir, yang terpenting bagi NU—sebagaimana disampaikan Gus Nadirsyah Hosen—adalah sejarah kiai NU dan pondok pesantren yang mandiri sejak dulu kala. Kiai dan pesantren tidak hidup dari uluran tangan penguasa. 

Misalnya, ketika raja-raja berpihak kepada umat, maka para Walisongo berada dalam pusat kekuasaan. Tetapi, ketika raja-raja mulai berteman dengan kolonial, kiai-kiai menyingkir ke pedalaman. Dari sana, mereka angkat senjata menjadi oposisi. Pangeran Diponegoro contohnya. Karenanya, tersingkirnya ulama-ulama representatif NU dari Kabinet Jokowi bukan hal baru. 

Pondok pesantren hidup di dalam hati umat, tumbuh bersama umat, usianya jauh lebih tua dari negara. Kiai dan warga NU tidak bergantung pada uluran tangan pemerintah. Itu fakta sepanjang sejarah. 

Namun, perlu diingat, hidup bersama umat 24 jam non-stop merupakan perkara berat, tidak senikmat di dalam istana kepresidenan. Tapi apa boleh buat, itulah konsekuensi dari prinsip an-ni’mah bi qadrin niqmah. Warga NU juga tidak akan banyak menuntut pada presiden, karena presiden adalah milik rakyat tanpa kecuali. Ini juga konsekuensi dari prinsip al-amr bit tasharruf fi milkil ghairi bathilun.

Arah politik NU adalah politik keummatan, kebangsaan, dan nilai-nilai ideal kemanusiaan serta nilai luhur agama. Karenanya, jika jalannya pemerintah ini nanti absen dari kehidupan umat dan para elit partai politik asyik-masyuk berbagi “properti” kekuasaan dan proyek untuk golongannya, maka disitulah politik kebangsaan NU akan mengawal! Wallahu’alam bishawab.

 

-- Kasongan-Bantul, 04 November 2019

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement