Rabu 13 Nov 2019 17:11 WIB

Kita Sekarang Hidup di Zaman Fitnah

Di zaman fitnah, tolok ukur kesuksesan bergeser ke arah material duniawiyah.

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
fitnah (ilustrasi)
Foto: Foto : MgRol_93
fitnah (ilustrasi)

Oleh: Ziyadul Muttaqin

Tidak diragukan lagi, kita sekarang hidup di zaman fitnah. Di mana tolok ukur kesuksesan ataupun kebahagiaan sudah mulai bergeser ke arah material duniawiyah.

Penghormatan seseorang bukan dari segi ilmu atau kedekatannya dengan Allah, melainkan dengan seberapa banyaknya harta kekayaan yang ia punya. Orang yang tidak punya harta benda kekayaan seakan tersisih sejauh mata memandang dari pandangan manusia.

Demikian juga nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) yang dibangun karena Allah pun mulai pudar. Orang-orang tidak saling berhubungan, melainkan karena pertimbangan materi belaka.

Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Memasang wajah manis karena ada kepentingan dan maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam. Akhirnya terjadilah yang namanya saling memaki, menghasut, membenci, menipu, berdebat dan ujung-ujungnya adalah pecahnya ukhuwwah di antara sesama.

Sebagai contoh nyata adalah ketika menjelang pemilihan umum beberapa tahun lalu. Kita bisa melihat bagaimana antara pendukung pasangan capres-cawapres saling membela dan menghina, bahkan sampai fitnah memfitnah untuk membela kepentingannya. Tentunya peristiwa kelam beberapa tahun lalu menjadi pelajaran bersama untuk tidak bersikap demikian pada tahun depan. Hadits dari Abu Hurairah di bawah ini memberikan pelajaran penting bagi kita agar jangan sampai terjadi perpecahan ukhuwwah.

Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata, Rasulullah saw bersabda, “janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling menipu, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi (mengisolir), dan janganlah sebagian kalian menjual sesuatu di atas penjualan sebagian yang lain, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lainnya. Tidak boleh ia menzaliminya, tidak boleh mengacuhkannya, tidak boleh berbohong kepadanya, dan tidak boleh meremehkannya -merendahkannya. Takwa itu ada di sini, dan beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seseorang dikatakan buruk, jika ia menghina-merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya-kehormatannya”. (HR. Muslim)

Hadits ini memberikan gambaran yang luas akan persaudaraan Muslim. Tidak saling membenci, membelakangi, menghina adalah bentuk perwujudan dari rasa memiliki cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Ekspresi cinta itu berbentuk dengan tidak saling membenci, menipu, merendahkan dan membelakangi sebagaimana dalam hadits di atas.

“Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Bathal berkomentar dalam Syarah Shahih Al-Bukhari, makna hadits ini adalah tidaklah salah seorang di antara kalian beriman secara sempurna sehingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Engkau suka apabila dirimu kaya, berilmu, dan mendapat pujian, maka engkau juga suka bila saudaramu kaya, berilmu, dan mendapat pujian. Demikian seterusnya untuk semua perkara yang beraneka ragam.

Tahasadu-Hasad (dengki) adalah salah satu sifat tercela. La tahasadu bermakna janganlah sebagian kalian mengharapkan hilangnya kenikmatan yang dirasakan oleh sebagian yang lain (Musthafa Dieb al-Bugha, Muhyiddin Mistu, Al-Wafi fi Syarh al-Arba’in anNawawiyah, hal. 284). Bahkan bisa jadi ingin agar kenikmatan tersebut hilang dan diberikan kepadanya atau orang lain. Keinginan saling mendengki ini akan berlanjut pada sifat untuk melihat, mengamati, memata-matai sehingga pelarangan ini sangatlah tepat. Dalam hadits ada istilah tajassus dan tahassus.

Tajassus berarti memata-matai, galibnya dipakai dalam hal kejelekan. Sedangkan tahassus galibnya dipakai dalam hal kebaikan sebagaimana perintah Nabi Yakub kepada anak-anaknya untuk mencari berita tentang Yusuf (Qs Yusuf: 87) (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, jilid 13, hal. 158). Akan tetapi dua istilah tersebut-pun bisa dipakai dalam hal keburukan sebagaimana telah disebutkan dalam hadits Al-Bukhari: “Wala Tajassasu, wala tahasssasu, wala tabaghadhu, wala tadabaru, wakunu ibadallahi ikhwana” (HR. AlBukhari, kitab adab, bab ma yanha ‘an at-tahasudi wa at-tadabur, no. 6064). Untuk penjelasan lebih lengkap, bisa dilihat dalam tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Hujurat ayat 12.

Tanajasyu-An-Najsyu, secara bahasa artinya menipu, meninggikan atau menambah. An-Najsyu bermakna menambah harga barang yang dijual di pasaran dengan tujuan merugikan pembeli lainnya, padahal ia tidak bermaksud membeli barang tersebut.

Tabaghadhu artinya melakukan sebab-sebab yang dapat menimbulkan dan memicu api kebencian (permusuhan). Tadabaru artinya saling berdiam diri, tidak saling tegur sapa dan memutuskan tali silaturrahim, saling mengisolir-memboikot. Dengan demikian, seseorang tidak lagi senang jika bertemu dengan saudaranya. Bahkan saling membelakangi dengan sebab kebencian yang terjadi pada keduanya.

Menjual sesuatu di atas penjualan orang lain terjadi dalam kasus ketika jual beli antara si penjual dan pembeli masih dalam rentang tawar-menawar (khiyar majlis dan khiyar syarat), kemudian datang penjual yang lain mengatakan “batalkan saja jual beli itu, aku jual barang yang lebih baik dari itu dengan harga yang sama atau barang yang serupa dengan harga yang lebih murah”.

Persaudaraan Iman Syarat Kebangkitan Umat

Pada potongan hadits edisi sebelumnya disebutkan bahwa,

Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram (menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan (mengganggu) harga dirinya/kehormatannya (HR Muslim)

Inilah hak-hak persaudaraan yang dibangun dalam masyarakat Muslim, dimana setiap Muslim merasa tenang dengan jiwa, harta dan kehormatannya. Setiap Muslim terhadap Muslim lainnya mempunyai hak untuk saling ketiga hal tersebut. Tidak saling membunuh, mencuri dan merendahkan kehormatan sesama manusia. Seseorang yang melakukan tindakan demikian berarti telah mempersembahkan dirinya di hadapan murka dan hukuman Allah.

Allah mensyariatkan adanya qishas terhadap jiwa dan anggota badan sebagai perlindungan jiwa manusia, demikian juga penjagaan terhadap harta dan kehormatan. Diperbolehkan mengambil harta saudaranya dengan cara yang hak dan tepat seperti dengan jalan perniagaan atas dasar saling ridha. Penjagaan kehormatan harga diri seorang Muslim pun tidak kalah pentingnya. Di antara penjagaan kehormatan seorang Muslim adalah dengan tidak melakukan ghibah hingga memfitnah saudaranya. Di masa sekarang, bukan hanya menjaga diri dari ghibah berbentuk oral, tapi juga berbentuk tulisan.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, perpecahan sering kali diawali dengan membangkitkan isu lama ataupun dengan hoax dan berita yang tidak jelas. Isu-isu semacam wahabi dan teroris sengaja diputar kembali di masyarakat. Pada mulanya sebagai problem keagamaan dan dakwah, sekarang merambah ke isu politis.

Tidak lain karena digunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai amunisi untuk mendiskreditkan kelompok yang dianggap sebagai rival. Terlebih jika isu ini bersinggungan dengan kepentingan politik-pragmatis.

Contoh riilnya adalah isu terorisme yang selalu dikaitkan dengan ideologi wahabi. Stigma wahabi mudah sekali diucapkan dan diluncurkan bebas kepada siapapun yang berseberangan pandangan. Hal seperti ini seringkali menciderai persaudaraan dan persatuan umat.

Hadits ini bukan hanya berbicara sebatas persaudaraan Muslim semata, bahkan lebih. Dalam konteks kebangsaan dan sesama manusia pun, tidak diperbolehkan seseorang membunuh, mengambil harta maupun merendahkan harga diri-kehormatan orang lain. Bahkan dalam tataran hukum, pencemaran nama baik bisa menjadi suatu hal yang dipidanakan di muka pengadilan.

Lebih dari itu, persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah yang ditegaskan dalam hadits Abu Hurairah ini menjadi salah satu dasar untuk merealiasikan cita-cita luhur persatuan umat dalam beberapa metode ringkas berikut:

a. Menyerukan persaudaraan dan persatuan serta melarang perpecahan.

Kontradiksi antara persatuan dan perpecahan tidak mungkin dapat disatukan. Bersatu adalah kewajiban dan perpecahan adalah sesuatu yang diharamkan. Islam sebagai hablullah -tali Allah- (Qs Ali Imran: 103) adalah pemersatu dalam dekapan ukhuwah. Menyerukan persatuan dan melarang perpecahan haruslah berlandaskan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Nabi-Nya.

Allah berfirman “Dan janganlah kalian bermusuhan niscaya kalian akan menjadi lemah dan hilang kekuatan” (Qs Al-Anfal [8]: 46). Dalam hadits juga pernah disabdakan oleh Rasul saw: “Sesungguhnya setan telah berputus asa untuk terus disembah oleh kaum Muslimin di Jazirah Arab, akan tetapi setan akan menimbulkan perpecahan di antara mereka”. (HR. Muslim).

Ayat-ayat ukhuwwah dan solidaritas dalam Al-Qur’an menjadi sebuah momok yang sangat menakutkan dan paranoid bagi oknum-oknum tertentu yang tidak ingin umat bersatu. Sebab, jika umat Islam sudah bersatu, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan besar.

Maka cara yang paling mudah adalah dengan memecah belah dengan politik adu domba-belah bambu. Terbukti sangat efektif, sebagaimana yang dilakukan oleh Snouck Hurgrouje (1837-1936) saat menaklukkan para pejuang Aceh.

Sejarah mencatat, Snouck Hurgrouje dikirim oleh pemerintah Belanda untuk membantu melumpuhkan pejuang-pejuang Aceh. Mereka paham, Aceh saat itu sulit dikuasai jika hanya mengandalkan kekuatan dan keahlian bertempur sistem persenjataan teknik (sispertek). Akhirnya mereka membuat perlawanan dengan sistem persenjataan sosial (sispersol). Belanda menyadari bahwa perjuangan rakyat Aceh bersendikan ajaran Islam.

Hingga diangkatlah Snouck Hurgrouje sebagai penasehat kolonial untuk melumpuhkan perlawanan ulama dan umat Islam. Bahkan untuk menuntaskan misinya, Snouck Hurgrouje berpura-pura masuk Islam dengan nama Abdul Ghafar dan tinggal di Jeddah (1884 M), kemudian masuk Makkah dan tinggal selama enam bulan lamanya (Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, jilid 1, 272).

Di Indonesia populer istilah “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Ungkapan ini bukan hanya sekedar jargon, namun sejatinya menjadi titik acuan untuk segera berbenah. Bukan hanya sibuk mengurusi khilafiyah hizbiyah furu’iyyah yang membuat semakin renggang hubungan persaudaraan Islam.

Di hadapan dunia Internasional pun posisi umat Islam semakin terpojok dan lemah terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok. Kebanggaan terhadap kelompok, ormas dan suku, ternyata membuat perselisihan dan perpecahan, sehingga eksistensi umat belum diperhitungkan di mata internasional.

b. Memandang kebenaran melalui hakikatnya, bukan dari figur tokoh.

Sebagian perselisihan tidak jarang berujung perpecahan. Terhambatnya persaudaraan, persatuan dan kebangkitan umat tidak jarang berpangkal pada sikap fanatisme buta terhadap golongan, partai, ormas atau jamaah tanpa mendasarkan ilmu. Berdasarkan hal ini Rasul saw bersabda: “Bukanlah golongan kami, orang yang mengajak kepada ashabiyyah (fanatisme)” (HR. Al-Bukhari).

c. Membuat Aliansi Sesama Muslim.

Budaya silaturrahim yang selama ini mulai luntur harus dibangun kembali, dari lingkungan yang terkecil hingga yang paling besar. Sehingga akan tercipta suasana umat yang saling terbuka, khususnya dalam menyelesaikan masalah yang besar.

Sebagai tindak lanjut dari adanya silaturahim yang terjaga ini diharapkan terbentuknya afiliasi antar sesama Muslim dan membuat sebuah kekuatan besar. Untuk itu diperlukan pemahaman, bahwa persatuan adalah keniscayaan dan pokok agama. Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan akidah dan tauhid, meninggikan agama Allah dengan keteguhan hati dan konsistensi hingga terwujud sebuah kekuatan besar yang lebih tersistem.

Untuk mengatasi masalah persatuan yang sengaja diledakkan oleh kekuatan-kekuatan yang tidak punya itikad baik terhadap Islam, diperlukan hati dan pikiran yang baik pula, termasuk afiliasi para tokoh dan keteladan serta keikhlasan membimbing umat yang mengarah pada persatuan u m a t . Tentunya dibarengi dengan keadilan pemerintah dan transparansi informasi dalam mengolah isu-isu.

Wallahu a’lam bi as-shawab

Ziyadul Muttaqin, Alumni Pendidikan Ulama Tarjih (PUTM) Yogyakarta dan staf pengajar Pesantren Muhammadiyah Kudus.

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SM Edisi 23-24 Tahun 2018

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement