Oleh: Mohammad As'adi, Mantan Jurnalis Republika
Ia tidak cantik, tidak pula seksi namun tahun 80-an menjadi primadona bahkan ‘legenda’ Pasar Legi Parakan, Temanggung. Kenceng, demikian populer di kalangan lelaki hidung belang berkantong tipis, bahkan juga di mata pemuda-pemuda sekitar pasar.
Lantaran memakai gigi emas , wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai wanita penghibur liar yang mangkal di sebuah kios rokok di pasar itu – dipanggil Kenceng-. Saya tidak tahu nama sebenarnya,tahunya ya Kenceng. Padahal Kenceng jamaknya adalah alat dapur semacam Waskom , cuman lebih dalam dan terbuat dari tembaga. Kenceng biasa digunakan mengaduk wajik atau semacamnya.
Karena bergigi emas berwarna tembaga itulah, ia dipanggil Kenceng. Eloknya, kemudian Kenceng tidak hanya identik dengan wanita bergigi emas tadi, namun identik dengan wanita-wanita penghibur kelas teri di Pasar Legi. Dunia malam di tempat itu lebih akrab disebut sebagai dunia perkencengan.
Meski kelas pasar, kenceng-kenceng tadi tidak sedikit memanfaatkan calo-calo lelaki hidung belang, sekaligus bertindak sebagai pengawal pribadi mereka . ‘’Erectus’’ Geng yang saya pimpin menyebutnya sebagai ‘Para Centeng’.
Saya jadi ingat teman lama dari Jogja, yang beberapa waktu lalu mampir ke rumah. –Seru- dua seniman satu beken satunya lagi seniman kelas kuaci. Ngobrol sana-sini sambil mengenang masa muda di Malioboro, Kampung Minggiran dan Rotowijayan yang dulu jadi markas anak-anak Sanggar Bambu.
Ujung-ujungnya sampai ngobrol soal komik karya Djair, Hans Djaladara, Ganes TH , Tatang , Wid NS sampai HASMI dan lain-lain. Maklum, seniman yang berjiwa merdeka, bebas bertafsir dan satu yang menjadi fokus obrolan kami : Soal centeng yang banyak bertebaran di komik-komik yang bercerita tentang Jakarta dan sekitarnya, seperti Si Pitung, Si Djampang atau Djaka Sembung.
Kenapa soal centeng jadi menarik bagi kami ? Karena ada korelasi dengan kekinian.-ini menurut penafsiran kami dua seniman, satu berkelas satunya tak berkelas.
Centeng pertama kali muncul pada abad 16 di daerah onderneming (perkebunan) milik tauke Cina di Tangerang. Kata ini merupakan kata pinjaman dari bahasa orang-orang Cina Selatan (Tang) terhadap dialek Betawi. Berasal dari kata Qinding, yang berarti penjaga. Di lidah orang Betawi menjadi Centeng.
Centeng, seperti pasukan pengawal khusus. Harus bermuka sangar, jawara silat,- ber otot kawat balung wesi- Mereka harus tunduk pada yang membayar –
Seiring perjalanan waktu, profesi centeng mengalami perluasan fungsi menjadi pengawal pribadi para Tauke dan Meneer Belanda, dan mengabdi pada siapapun yang sanggup membayar sesuai nilai resiko pekerjaannya. Bahkan para Centeng acapkali berperilaku melebihi aparat keamanan milik negara. Atau melebihi tuannya. Merasa paling jawara tak ada tandingannya.
Seorang bos biasanya memiliki sejumlah centeng dan yang paling jawara jadi ‘komandan’ mereka. Kemanapun bos pergi, para centeng ini dengan pongahnya berjalan di kiri-kanan sang bos, bahkan pemimpinnya berada paling depan. Selalu pasang muka seram dan jelalatan. Tak segan-segan pancal sana, pancal sini untuk menyingkirkan barang yang menghalangi jalan, termasuk orang lewat.
Para centeng Betawi di masa lalu.Pak Silun dan anak buahnya. (sejarahjakarta.com)
Teman saya itu bilang, Centeng-centeng bayaran itu merupakan sejarah kelam rakyat Jakarta.
"Seharusnya sudah lenyap dari negeri ini, namun sebaliknya, banyak orang justru pingin jadi centeng, malah tidak hanya di Jakarta, tapi di seantero negeri. Demi entah apa, mereka merasa bangga kemana-mana berjalan bersama seorang pejabat. Kalau perlu, meski hanya seorang centeng, berlaku seperti yang dipertuan," kata seniman itu.
Saya hanya cengar-cengir.
"Masak iya sih,'' celatu saya
Teman saya itu terkekeh.
"Kalau dulu modal seorang centeng adalah jawara dan mata jelalatan, sekarang cukup dengan senyum, pakai celana kolor eh..pandai ngolor…pandai mengambil hati dan kepintaran bersilat lidah serta bersedia mengawal bos kemana-mana,'' lanjutnya.
Saya cengar-cengir lagi sambil mbatin : "Ooooo….ternyata dunia perkencengen eh percentengan pun tak mau ketinggalan, menyesuaikan diri dengan dinamika politik dan kehidupan kita. Hahahahahaha….."