REPUBLIKA.CO.ID, Berselang hampir sebulan lalu, Presiden Joko Widodo memberikan arahan kepada para menterinya. Bahan utama arahan terkait regulasi, yakni masih banyaknya aturan yang tumpang tindih antara level daerah dan level wilayah administrasi di atasnya.
Pada pembukaan rapat perdana Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Kamis (24/10) lalu itu, Presiden meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian untuk membongkar peraturan daerah ataupun peraturan gubernur yang tidak sinkron. Semua kementerian dan lembaga juga diminta mengevaluasi aturan dan kebijakan masing-masing.
Jika dinilai ada aturan yang berdampak pada terhambatnya kerja, pelayanan terhadap masyarakat, dan masuknya investasi dunia usaha, Jokowi meminta agar aturan dan kebijakan itu ditinjau ulang dan atau dihapus. Presiden memberi batas waktu sebulan sejak rapat perdana tersebut. Pada pekan inilah ultimatum sebulan itu berakhir.
Aturan yang tidak bersinergi jelas bisa berdampak panjang. Dampak ke dalam sudah pasti bakal menghambat percepatan kerja pemerintahan itu sendiri. Bila kerja aparat birokrasi terkendala, membawa konsekuensi tidak tereksekusinya program-program pemerintah.
Program yang tidak berjalan berdampak pada tersendatnya roda perekonomian karena di antara sumber program ekonomi berasal dari perputaran anggaran pemerintah. Jika ini yang terjadi, jangan berharap terbuka lapangan pekerjaan, jangan berharap bergulirnya roda perekonomian.
Perlu digali penyebab terjadinya tumpah tindih aturan dan kebijakan ini. Apakah karena ego sektoral pemerintah daerah dan pemerintah pusat atau karena memang belum ada upaya untuk melakukan koordinasi dan sinergi. Apakah karena selama ini belum pernah dilakukan pemetaan kebutuhan, apa yang tidak dibutuhkan satu pihak dan pihak lainnya. Mengurai permasalahan bisa menjadi lebih mudah bila sudah diketahui penyebabnya.
Rabu (20/11) kemarin, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengungkapkan, setidaknya ada 347 peraturan daerah bermasalah yang berpotensi menghambat investasi. Perinciannya, terdapat 235 perda yang bermasalah terkait dengan pajak dan retribusi daerah, 63 perda terkait perizinan, tujuh perda berkaitan masalah ketenagakerjaan, dan 42 perda berkorelasi dengan urusan lain. Sebagian besar perda ini bermasalah dalam aspek yuridis, substansi, hingga prinsip.
Ternyata banyak peraturan pada level pusat, mulai dari UU hingga peraturan menteri, yang saling bertentangan. Kesimpulan KPPOD, rezim sektoral masih kuat yang menyebabkan terjadinya disharmoni. Hal ini membingungkan pemda ataupun dunia usaha. Ujung-ujungnya, kepastian berusaha menjadi sulit dipastikan karena regulasi yang samar-samar.
Regulasi pada level pusat yang saling bertentangan, menjadikan pemda enggan menyesuaikan perda yang ada dengan regulasi baru pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah komitmen politik lembaga eksekutif dan legislatif di daerah. KPPOD menilai, mereka cenderung kontraproduktif dengan semangat peningkatan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Pada akhirnya, perda yang disahkan cenderung menjadi instrumen politik ormas atau politisi daerah demi mengeruk keuntungan pribadi. Tentu hal ini membuat ketidaknyamanan dunia usaha. Misalkan, ada perda yang mewajibkan kuota tenaga kerja lokal. Aturan ini bisa digunakan ormas untuk menekan dunia usaha agar menggandeng tenaga lokal.
Sejatinya tidak ada masalah dengan aturan ini asalkan proses rekrutmen dilakukan berbasiskan kompetensi dan kapabilitas, bukan faktor kolusi dan nepotisme. Aturan penggunaan tenaga kerja lokal haruslah mensyaratkan kompetensi dan kapabilitas. Bila belum dipenuhi, pihak terkait mesti melakukan upaya upgrading tenaga kerja daerah tersebut agar kompetensi dan kapabilitasnya melewati ambang batas dalam proses seleksi yang terbuka dan transparan.
Sebaliknya, tidak perlu memborong tenaga kerja asing bilamana kompetensi dan kapabilitasnya setara tenaga lokal. Sebab, aturan yang menyertakan tenaga lokal bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan di daerah tempat usaha berada. Keberadaan investasi yang masuk bisa mengatrol perekonomian daerah setempat.
Berkaca dari pantauan KPPOD ini, pemerintah pusat mesti kerja keras mengurai kusutnya tumpang tindih aturan. Kemendagri dan pemprov serta pemda harus duduk semeja. Mekanisme evaluasi mutlak dibuat bareng-bareng. Rencana pemerintah pusat membuat omnibus hukum UU Cipta Lapangan Kerja wajib dieksekusi secepatnya. Bisa jadi terbentuknya semacam Badan Regulasi Nasional yang secara struktural di bawah Presiden dan berwenang membentuk peraturan dalam satu atap, menjadi opsi untuk diwujudkan.
Di level daerah, komitmen politik lembaga eksekutif dan legislatif adalah mendorong perekonomian masyarakat daerahnya, bukan kelompoknya. Ekosistem kerja dalam semangat sinergitas untuk mendorong terciptanya investasi yang berdampak signifikan.
Alhasil, sinkronisasi dan harmonisasi aturan dan kebijakan ini harus cepat dilakukan. Membongkar aturan penghambat investasi guna memacu perekonomian daerah ataupun nasional menjadi keniscayaan. Telat bergerak berdampak tergilas! n