REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferdiansah, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pernyataan Menteri pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makariem terkait dengan peghapusan Ujian Nasional (UN) menjadi trending topic di linimasa media sosial. Pernyataan Nadiem tersebut menjadi perdebatan yang cukup panjang dan menjadi narasi pro-kontra di ruang publik.
Nadiem makarim menyatakan, ia akan menggantikan UN dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter sebagai tolok ukur pendidikan Indonesia. UN dianggap kurang ideal untuk mengukur prestasi belajar. Materi UN juga terlalu padat, sehingga cenderung berfokus pada hafalan, bukan kompetensi. UN belum menyentuh ke aspek kognitifnya, lebih kepada penguasaan materi. UN juga belum menyentuh karakter siswa secara holistik.
kebijakan kemendikbud tersebut menjadi perbincangan yang cukup panjang di ruang publik. karena berkaitan dengan masa depan pendidikan di Indonesia. Setidaknya ada dua tokoh nasional yang kontra terhadap penghapusan UN, yakni Jusuf Kalla (JK) dan Buya Syafii Ma'arif.
JK mengatakan bahwa jika UN dihapus, maka akan ditakutkan para siswa nanti akan lembek dalam belajar dan tidak memiliki ukuran kompetensi. UN mendorong anak belajar dan bekerja keras, karena kerja keras syarat kemajuan negara. Sedangkan Buya menyampaikan UN jangan serta merta dihapuskan karena di banyak negara model ini masih dipakai sebagai ukuran kompetensi belajar siswa. Buya khawatir Penghapusan UN akan menggangu semangat belajar siswa.
Terlepas dari pernyataan kontra di atas, cukup banyak masyarakat dan para pendidik yang mendukung penuh terhadap kebijakan penghapusan UN tersebut. Karena sebagian masyarakat banyak yang terbebani dengan UN. Jika kita lihat dalam perjalanan pendidikan kita, UN di berbagai wilayah di Indonesia diselenggarakan sebagai suatu formalitas belaka dan banyak juga yang menyelenggarakan UN dengan ketidakjujuran.
Sudah menjadi rahasia umum ketidakjujuran yang dilakukan ketika UN. Misalnya ketika UN berlangsung siswa dan para guru bekerja sama agar para siswa mampu menjawab materi soal dari UN yang cukup rumit dengan membagikan kunci jawabannya. Karena sekolah juga tidak ingin siswanya banyak yang tidak lulus hanya karena nilai UN-nya tidak mencukupi.
Maka dari itu, asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang ditawarkan oleh kemendikbud untuk menjadi ukuran pendidikan di tahun 2021 menjadi suatu angin segar dan tantangan baru bagi sekolah, dari SD hingga SMA untuk meningkatkan kualitas pendidikannya.
Dalam kebijakan tersebut, setidaknya ada dua hal yang akan mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita. pertama, peningkatan kualitas literasi. Ke depannya siswa tidak hanya diajarkan untuk mampu menjawab soal, tetapi juga mampu berpikir kritis. Artinya kebijakan tersebut telah menjalankan philosophy based curriculum, kurikulum pendidikan kritis yang sudah banyak diterapkan di negara-negara maju di seluruh dunia.
Kedua, revolusi mental dan karakter sekaligus. Dengan konsepsi revolusi mental, maka siswa akan mampu meningkatkan kualitas mentalnya untuk mampu bersaing dengan siswa yang lain.
Ahmad Munjid (2019), Dosen FIB UGM, menyatakan bahwa pendidikan karakter menjadi kunci mengukur kualitas pendidikan siswa. karena sistem pendidikan kita tidak cukup efektif menjalankan tanggung jawab utamanya: mengasah kritisisme dan nalar logis para siswa. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengurus prosedur dan formalitas, kurang memedulikan esensi. Dengan demikian, karakter menjadi suatu ukuran yang proporsional dalam pendidikan.