Sabtu 21 Dec 2019 21:41 WIB

Menunggu Janji Jokowi Menyelesaikan Masalah HAM

Keseriusan penyelesaian kasus pelanggaran HAM sangat dinantikan.

Anggota Komisi III DPR-RI, Nasir Djamil.
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Anggota Komisi III DPR-RI, Nasir Djamil.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammd Nasir Djamil, Anggota Komisi III DPR.

Bagi sebagian besar aktivis, penggiat dan pejuang hak asasi manusia khususnya di Indonesia, munculnya Jokowi sebagai salah satu kontestan dalam pemilihan presiden di tahun 2014 membawa angin segar kepada mereka yang memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Apalagi pesaingnya adalah prabowo yang disinyalir punya masalah kelam soal pelanggaran HAM. Bahkan saat maju untuk kedua kalinya dalam pilpres tahun lalu, prabowo masih juga tersangkut kampanye negatif soal pelanggaran HAM. Bersihnya Jokowi dari stigma masa orde baru, terutama isu pelanggaran HAM membuat mantan wali kota Solo itu pun melenggang dua kali menjadi presiden RI.

Tapi apa hendak dikata, bagaikan pungguk merindukan bulan. Begitulah metafora yang tepat untuk menggambarkan kekecewaan para aktivis, penggiat dan pejuang HAM terhadap Jokowi. Alih-alih ingin menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, Jokowi melalui pembantunya bernama Mahfud MD justru mengatakan bahwa selama menjabat Presiden, Jokowi tidak pernah melanggar HAM. Kontan saja pernyataan Menko Polhukam itu menimbulkan reaksi. Bisa jadi apa yang dimaksud Mahfud MD adalah pelanggaran HAM berat seperti orde baru pernah lakukan. Tapi tentu saja, ucapan itu memberikan kesan bahwa Mahfud MD seperti mempraktekkan asal bapak senang dan dangkal dalam melihat banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama Jokowi menjabat, termasuk segala bentuk program pembangunan yang dalam perspektif HAM adalah sebuah pelanggaran.

Berdasarkan pada laporan Komnas HAM, setidaknya di tahun 2018 tercatat ada sekitar 52 kasus pelanggaran HAM yang diadukan. Masih teringat dengan jelas di antara peristiwa itu terdapat beberapa peristiwa yang sifatnya merupakan rentetan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, misalnya; 64 peristiwa kekerasan di beberapa wilayah Papua, tertangkapnya sekitar 1.615 orang serta ditahan secara sewenang-wenang oleh aparat, hingga peristiwa aksi kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019 yang lalu.

Dari banyaknya rangkaian peristiwa tersebut lantas kemudian memberikan pandangan bahwa penyelesaian HAM akan sulit diselesaikan mengingat presiden yang dianggap bebas dari catatan pelanggaran HAM malah pelanggaran di masa kepemimpinannya kian bertambah. Sikap apatis masyarakat pun semakin menguat ketika melihat ketidakpedulian presiden terhadap penyelesaian pelanggaran HAM. Pandangan apatis ini muncul karena di satu sisi Indonesia sebagai negara besar memiliki dosa HAM masa lalu yang sangat banyak dan belum juga diselesaikan. Upaya penyelesaian telah dicoba dengan melimpahkan berkas pelanggaran HAM masa lalu dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Setidaknya ada 11 berkas yang disampaikan dengan harapan bisa segera di selesaikan di pengadilan.

Sebelas berkas tersebut adalah; Peristiwa 1965/1966, Peristiwa Penembakan Misterius (Petrus) 1982/1985, Peristiwa penghilangan paksa para Aktivis tahun 1997-1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tahun 1998, Peristiwa Talangsari tahun 1989, Peristiwa Kerusuhan Mei tahun 1998, Peristiwa di Wasior Wamena tahun 2000-2003, Peristiwa Pembunuhan terhadap tertuduh Dukun Santet tahun 1998-1999, Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003, Peristiwa pembantaian Rumoh Geudong, dan yang terakhir Peristiwa pelanggaran HAM Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Tahun 1999.

Jika ditelusuri secara lebih jauh kebelakang, masih banyak terdapat peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Selain sebelas peristiwa yang telah diberkaskan dan diberikan kepada Kejaksaan Agung, terdapat peristiwa lain di antaranya Peristiwa Tanjung Priok ditahun 1984 dan Tragedi pembantaian 1965. Kemudian pelanggaran HAM dari perspektif pembangunan seperti penggususran, okupasi, dan konflik sumber daya di lahan tambang dan kebun sawit.

Petani Kendeng atau yang lebih familiar dengan sebutan Samin versus Semen sangat melekat pada perilaku Jokowi yang membiarkan pelanggaran HAM terjadi. Dimana kaum Samin yang berada di pegunungan Kendeng berjuang membela tanahnya dan lingkungannya dari penjajahan pabrik industri semen yang telah merusak lingkungan, lahan dan sumber air masyarakat di sana. Upaya pengadilan jalanan telah dilalui oleh masyarakat Samin, hingga dari daerah Kendeng masyarakat berjalan kaki untuk menemui Jokowi, namun masyarakat dihadapkan dengan gerbang istana negara yang besar dan megah yang tidak menerima keberadaan kaum Samin yang hak asasinya di ambil oleh negara. Negara melalui aparatnya justru membantu pihak perusahaan untuk mengambil tanah kaum Samin tersebut.

Begitu juga di daerah Kulonprogo, negara yang ingin membangun bandara justru dengan ganasnya mengambil lahan masyarakat dengan alasan pembangunan, padahal masyarakat setempat sangat tidak butuh bandara di wilayah mereka. Rumah masyarakat menjadi korban di tengah bantuan aparat yang mencoba mengusir warga Kulonprogo sebagai pemilik rumah.

Tanggungjawab moral HAM

Sebagai seorang presiden yang terpilih dengan visi misi HAM, tentunya Jokowi harus memiliki tanggungjawab moral tentang HAM. Sebagai contoh, dalam program prioritas Jokowi untuk menegakkan HAM di Indonesia, Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla di periode pertama memiliki program priorotas dengan berkomitmen menyelesaikan kasus kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I dan II, Talangsari, Penghilangan paksa para Aktivis, Tanjung Priok, dan Tragedi pembantaian di tahun 1965.

Melihat kenyataan, Program yang diklaim sebagai program prioritas dalam penegakan HAM tersebut sama sekali tidak berjalan, justru jauh dari harapan. Pasalnya, dari berbagai peristiwa HAM yang dilaporkan kepada Komnas HAM dan dilimpahkan ke Kejagung, tidak satupun berkas perkara yang ditindaklanjuti hingga ke Meja Hijau dengan alasan berkas-berkas tersebut belum lengkap dan tidak bisa disidangkan.

Jika Jokowi selaku presiden menganggap penegakan HAM sangat sulit dijalankan, mengapa hal tersebut dijanjikan sebagai visi misi yang tertuang dalam program prioritas. Padahal, Undang-undang telah mengamahkan dengan sangat jelas jika mengenai pelanggaran HAM dalam pasal 21 dan 23 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka Jaksa Agung memiliki peran penting sebagai yang berwenang melakukan Penangkapan, Penahanan, Penyidikan dan Penuntutan. Presiden hanya tinggal memastikan semua proses itu berjalan dengan baik sehingga proses peradilan HAM tentunya bisa berjalan.

Tidak hanya itu, untuk menunjukkan keseriusan, Presiden selaku Eksekutif dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk penyelesaian dengan cepat pelanggaran HAM masa lalu. Hal ini juga sangat dimungkinkan mengingat kapasitas dan kesesuaian visi misi yang harus dijalankan sebagai bentuk komitmen kuat terhadap penegakan HAM.

Mengelak dan membuat pembelaan

Pada periode kedua, Jokowi yang terpilih lagi juga masih mengampanyekan mengenai HAM dan penyelesaiannya. Dalam debat Pilpres sesi ke-9 mejelang pilpres 2019, Jokowi yang berpasangan dengan Kyai Haji Ma’ruf Amin setidaknya menyampaikan Sembilan poin visi-misi terkait HAM, diantaranya; Memperluas cangkupan kampung/ desa layak anak untuk memastikan pendidikan usia dini, Memberikan Jaminan Perlindungan dan hak kebebasan beragama dan juga berkeyakinan serta menindak tegas pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, Meningkatkan kebudayaan dan kebijakan yang berprespektif HAM termasuk dibuatkannya materi-materi HAM dalam Kurikulum pendidikan, Melindungi Hak-hak masyarakat dibidang pertanahan, meningkatkan perlindungan terhadap perempuan, anak, dan kelompok renta dari tindak kekerasan dan Meningkatkan kerja sama berbagai institusi dan lembaga dalam rangka perlindungan dan penegakan HAM.

Program prioritas di periode awal belum selesai, malah kemudian menjanjikan penegakan HAM dengan sembilan poin visi misi. Ini justru membuat wajah presiden Jokowi semakin menujukkan sikap ketidakseriusannya akan penegakan HAM.

Tidak hanya itu saja, pada masa-masa akhir menjabat, telah kita ingat bersama banyak sekali peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM. Misalnya peristiwa kekerasan di Papua, penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang hingga peristiwa aksi kerusuhan yang terjadi pada 21-23 Mei 2019 yang lalu.

Sikap seperti ini merupakan bentuk dari justice delayed is justice denied yaitu pengingkaran terhadap keadilan. Hal ini terlihat dengan sikap presiden Jokowi yang menunjukkan ketidakjelasan dan ketidakeseriusannya atas penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM.

Pembelaan pun muncul membuat beban atas HAM Jokowi kian meningkat, melalui Menkopolhukam Profesor Mahfud MD meyebutkan jika pada masa periode Jokowi menjabat tidak ada pelanggran HAM yang terjadi. Padahal bukan hanya tidak terjadi pelanggaran HAM di masa Jokowi, namun penyelesaian HAM masa lalu juga diabaikan.

Upaya penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu dan juga pelanggaran HAM yang selama ini terjadi seharusnya menjadi beban yang berat bagi seorang presiden. Terlebih kampanye-kampanyenya terus menjual isu-isu atas penyelesaian HAM. Presiden perlu memahami bahwa upaya penyelesaian HAM di masa lalu telah menjadi cita-cita dan impian masyarakat. Kita juga tidak bisa pungkiri jika pelanggaran HAM yang terjadi baru-baru ini juga menjadi tantangan tersendiri dimana masyarakat bisa melihat komitmen seorang presiden Jokowi dalam penyelesaian masalah HAM dengan sikap yang akhir-akhir ini mulai terlihat.

Jokowi seharusnya berkomitmen dengan apa yang disampaikannya, terlebih penyelesaian HAM disampaikan pada janji kampanye dan merupakan janji yang keduakalinya. Keseriusan Penyelesaian kasus HAM sangatlah dinantikan. Negara harus mengakui segala bentuk pelanggaran yang terjadi baik di masa lalu maupun yang telah terjadi baru-baru ini. Presiden juga harus bisa memprediksi dan mengantisipasi adanya pelanggaran-pelanggran HAM di masa depan.  Namun hal yang menurut saya penting untuk dilakukan oleh Presiden Jokowi sebagai bentuk komitmennya terhadap pelanggran HAM adalah dengan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang penyelesaian dengan cepat dan tepat pelanggaran HAM berat di masa lalu serta menyelesaikan semua pelanggaran HAM yang baru-baru ini terjadi sehingga Presiden Jokowi benar-benar tidak memiliki beban atas HAM.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement