REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuad Nasar, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama (Kemenag)
Bencana banjir yang secara ekstrim melanda beberapa wilayah DKI Jakarta Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek) awal 2020 menggugah kepedulian dan solidaritas berbagai elemen masyarakat untuk melakukan tindakan evakuasi dan penyelamatan warga. Di samping lembaga yang secara formal tugas utamanya adalah menanggulangi bencana, melakukan tindakan search dan resque (pencarian dan penyelamatan) korban, seperti BNPB, Badan SAR Nasional, Palang Merah Indonesia (PMI), peran lembaga pengelola zakat seperti BAZNAS dan Lembaga-Amil Zakat sebagai non state actor melalui unit tanggap bencana layak diapresiasi.
Menurut pandangan beberapa ahli ilmu agama di Majelis Ulama Indonesia (MUI), dana zakat boleh digunakan sebagai santunan kepada para korban bencana, sebab mereka termasuk dalam orang yang berhak menerima (mustahik) zakat. Setidaknya dalam korban bencana terdapat tiga golongan (asnaf), yakni fakir, miskin, dan penanggung utang (gharim) Pandangan Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah (2009) dapat diambil sebagai salah satu rujukan.
Memang dalam Alquran Surah At-Taubah ayat 60 memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganalogikannya sebagai golongan fakir dan miskin, dengan pertimbangan:
Pertama, korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
Kedua, orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan ini diperbolehkan untuk meminta-minta, bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang (gharimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang lain tidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama.
Kendati dalam 8 golongan asnaf yang berhak menerima zakat, tidak ada kata bencana di dalamnya. Namun Majelis Tarjih Muhammadiyah memasukan korban bencana ke dalam golongan fakir miskin dengan pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin
menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
Setiap terjadi bencana, tanpa diminta, teman-teman dari lembaga zakat, BAZNAS dan sejumlah LAZ, melakukan langkah cepat dan tindakan resque dalam merespon bencana di berbagai wilayah. Petugas dan relawan dari sejumlah lembaga zakat turun ke lapangan melakukan evakuasi warga, distribusi makanan, pembersihan fasilitas umum, layanan kesehatan, hingga dukungan psikosial bagi anak-anak.
Saya amati permintaan masyarakat yang begitu tinggi, sementara lembaga zakat mengalami keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan serta titik sebar layanan yang bisa disediakan dalam waktu bersamaan. Bisa dimaklumi kondisi lapangan luar biasa berat. Karena keterbatasan personil yang dimiliki, banyak wilayah tidak tercover dan pos siaga banjir lembaga zakat hanya menjangkau sebagian kecil saja dari wilayah terdampak banjir misalnya.
Walau demikian, kerja keras dan dedikasi luar biasa teman-teman dari lembaga zakat tanpa kenal lelah dan tanpa kenal waktu sangat berarti dan bermanfaat, terutama bagi warga masyarakat yang sedang ditimpa kesusahan. Lembaga zakat dalam membantu korban bencana alam, seperti banjir ini, tidak memandang status sosial, suku, atau agama. Bukti konkrit bahwa Islam rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).
Peristiwa banjir yang terjadi berulang dan bertambah dari tahun ke tahun merupakan sebuah peringatan keras bahwa ada yang salah dalam praktik pembangunan kita selama ini. Pembangunan fisik yang kadang mengabaikan analisa dampak lingkungan, merusak keseimbangan ekosistem dan ekologi, secara sunnatullah pasti membawa akibat yang mengancam keselamatan kehidupan umat manusia di muka bumi, seperti tanah longsor, banjir bandang, sungai meluap, dan banjir di perkotaan yang disebabkan penyusutan daerah resapan air. Juga perilaku masyarakat dalam membuang sampah hingga mengganggu aliran sungai.
Pada setiap peristiwa banjir, selain kerugian materil, tidak terhitung pula betapa kerugian immateril seperti buku-buku, manuskrip, surat dan dokumen rusak atau hancur. Kerugian immateril dan kerugian yang bernilai historis tidak bisa diganti dan tidak bisa diperbarui.
Dalam Alquran, Surah Rum ayat 41 telah diperingatkan tentang kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia. Selain aksi kepedulian terhadap bencana dan bergotong royong membantu meringankan beban saudara-saudara kita yang jadi korban bencana, sepatutnya pula kita muhasabah dan mawas diri.