REPUBLIKA.CO.ID, Usai sudah masa libur sekolah yang berlangsung hampir selama tiga pekan dan hari ini (6/1) para siswa sudah harus kembali memulai aktivitasnya bersekolah. Hari-hari pertama kembali bersekolah selepas libur panjang selalu menjadi tantangan bagi guru maupun orang tua untuk dapat mengembalikan semangat siswa kembali pada rutinitas mereka di sekolah.
Tantangan besar tentang persepsi siswa akan sekolah, tidak serta-merta dapat menempatkan liburan menjadi 'kambing hitam' atas keengganan sebagian siswa untuk kembali bersekolah setelah liburan mereka. Seringnya, anak-anak enggan dan bermalas-malasan kembali bersekolah karena mereka kehilangan kebahagiaan dalam belajar. Kebahagiaan belajar, patut diakui, masih menjadi pekerjaan rumah pendidikan yang belum juga usai dan terurai solusinya.
Padahal, semua orang pasti menyetujui pendapat Rheinald Kasali dalam Simposium Internasional tentang Pendidikan pada 3 September 2019 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa belajar harus menjadi aktivitas membahagiakan dan sekolah harus menjadi tempat menyenangkan bagi siswa.
Kebahagiaan dalam belajar berkaitan dengan sikap dan persepsi siswa pada sekolah yang pada beberapa kajian dipengaruhi banyak hal. Lynley Anderman dalam Academic and Social Perceptions as Predictors of Change in Middle School Student's Sense of School Belonging (2003) menyatakan, guru, teman sekolah, orang tua, masyarakat, dan lingkungan berpengaruh pada sikap siswa terhadap sekolah.
Sekolah menjadi lingkungan utama siswa menghabiskan cukup banyak waktu, yaitu sekitar enam sampai tujuh jam setiap hari selama hampir 10 bulan. Pada kondisi ini siswa menjadi lebih banyak berinteraksi dengan guru dan sesama siswa lainnya daripada orang tuanya.
Ini menyebabkan, apa yang terjadi di sekolah akan menorehkan kesan mendalam bagi kehidupan seorang anak kelak. Siswa Indonesia memang tidak sepenuhnya tidak bahagia dengan sekolah mereka.
Setidaknya, mengacu pada hasil Survei PISA tahun 2018 ditemukan, sebanyak sembilan dari 10 siswa di Indonesia senang berada di sekolah. Siswa perempuan di jenjang SMA di kota adalah mereka dengan karakteristik siswa yang memiliki rasa senang di sekolah paling tinggi.
Sedangkan, yang paling rendah adalah para siswa SMP laki-laki yang bersekolah di perdesaan. Namun, banyak orang bersepakat, hasil Survei PISA tidak dapat mewakili penggambaran mutu pendidikan secara keseluruhan.
Karena, faktanya, peserta PISA dari Indonesia hanya mewakili 0,003 persen dari total populasi siswa Indonesia berusia 15 tahun. Maka, menyimpulkan bahwa siswa Indonesia telah bahagia dengan sekolah mereka justru akan menutup berbagai inovasi dalam pendidikan kita untuk mewujudkan sekolah yang benar-benar menyenangkan.