Selasa 07 Jan 2020 04:31 WIB

Fatwa Mati Iran: Dari Salman Rushdie Hingga Donald Trump

Sayembara membunuh tokoh penting hal jamak dilakukan Iran

Presiden AS Donald Trump menyambut anjing bernama Conan yang membantu memburu pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, Senin (25/11).
Foto: EPA
Presiden AS Donald Trump menyambut anjing bernama Conan yang membantu memburu pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi, Senin (25/11).

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Dalam sejarah Iran moderen, pasca Syah Iran, fatwa hukuman mati dengan cara menghargai kepala orang memang bukan barang baru. Dahulu pada tahun 1980-an ada fatwa menggegerkan yang dikeluarkan pemimpin spritual Iran, Sayyid Ayatollah Ruhollah Khomeini

Isinya tak tanggung-tanggung. Mengerikan. Sang Imam mengeluarkan fatwa akan memberikan hadiah uang kepada siapa yang bisa membunuh novelis penulis 'Ayat-ayat Setan' kelahiran Kashmir India, Salman Rusdhi yang saat itu berlindung di Inggris.

Tentu saja fatwa Khomeini pada 14 Februaru 1989 di depan corong Radio di Teheran, saat itu menimbulkan kehebohan. Salman Rusdhi jelas tak tenang. Kala itu dikabarkan dia selalu dikawal aparat keamanan Inggris setiap kali bepergian. Dia juga tak berani tampil di muka umum seperti jalan-jalan biasa di tempat perbelanjaan.

Hal ini makin seru, karena sejak Fatwa itu publik Iran mulai mengumpulkan uang dalam jumlah besar sebagai hadirah bagi siapa saja yang bisa mengeksekusi Rushdie. Alhasil Salman Rusdhie semakin sibuk mencari pelrindungan untuk menyelamatkan namanya. Tangal 14 Februari yang di barat dijadikan hari Valentie (kasih sayang) bagi Rushdie malah dianggap sebagai hari bencana.

Dengan kata lain, walapun novelnya 'Satanic Verses' dianugerahi penghargaan 'Booker Prize' dan laris manis tak berati apa-apa. Fatwa Khomeini itu membuat hidupnya luruh dan harus terus menerus menyembunyikan diri. Fatwa Khomeini yang menyatakan dia harus dihukum mati karena menghina nabi Muhammad SAW betul-betul mengkerangkeng hidupnya. Dia mati dalam hidup!

Hasil gambar untuk Salman Rushdie

Apakah dunia saat itu tidak marah atau malah mendukung fatwa Khomeini tersebut? Ternyata tak ada jawaban tunggal. Memang negara-negara Islam  marah meski tak sampai ada yang mengeluarkan ancaman agar Salman Rudhie dibunuh.

Ini berbeda dengan dunia barat. Atas nama kebebasan berekpresi mereka malah balik mengecam fatwa itu. Inggris yang menjadi tempat tinggal Salman Rushdi memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran. Ini mereka lakukan tak tanggung-tanggung selama satu dasawarsa.

Sikap kalem Inggris ini atas karya Salman Rudhi jelas berbeda. Di sana memang tak ada kerusuhan. Tapi di negara-negata Islam, novel tersebut memantik amarah banyak kalangan. Novel itu pun dilarang beredar di beberapa negara seperti India, Sudan, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Di Indonesia publik Muslim pun marah. Bahkan, grup Godbless melalui suara Ahmad Albarnya dengan lagu yang ditulis Dony Fatah menulis lagu 'Maret '89 (Satanic Verses)': Dunia resah, dunia gelisah.. Ayat setan yang kau kumandangkan membakar dunia..!

Selang beberaa tahun kemudian, yakni pada akhir dekade 1990-an, memang sempat ada kabar Iran telah mencabut fatwa itu. Koran Inggris, The Guardian, sempat menulis bila Presiden Iran kala itu, Muhammad Khatami, sudah menganggap fatwa Khomeini telah berakhir. Tapi kabar ini tak jelas juntrungnya. Hingga kini tak jelas apakah fatwa itu telah dicabut atau belum. Bahkan, kadang fatwa itu timbul tengelam dan kadang digaungkan kembali setiap tiba perayaan 14 Februari di Iran.

Namun sumber pejabat Iran ketika ditanya soal Fatwa Imam Khoemeni menyatakan fakta tersebut berlaku sepanjang zaman. "Fatwa Imam Khomeini adalah dekrit keagamaan dan takkan habis tempo atau surut," ujar wakil menteri kebudayaan Iran, Seyed Abbas Salehi, pada suatu waktu.

Dan soal fatwa kepada Salman Rushdie media Iran menanggapi dengan sangat serius. Sekitar 40 media Iran pun sempat berpatungan untuk terus menaikan harga 'kepada' Salman Rushdie. Tercatat hadiah yang ditawarkan mencapai 600 ribu dolar AS, atau hingga Rp 8 milyar.

Takk hanya itu, pada 2012, ada sebuah lembaga keagamaan menawarkan imbalan sebear 2,7 juta dolar AS, Bahkan tak berapa lama kemudian, seperti dilansir Reuters, lembaga ini menaikkan hadiah sampai 3,3 juta dolar AS. Dan bila ditotal, maka harga kepala Salman Rushdie akibat fatwa Imam Khoemeini mencapai 4 juta dolar AS.

Bagaimana nasib Rushdie sampai hari ini? Dia ternyata masih segar bugar. Dan celakanya nasib baik dia berbanding terbalik dengan nasib para penerjemah novelnya. Mungkin karena tidak dilindungi aparat keamanan nasib mereka banyak yang mengenaskan akibat mati ditikam orang tak dikenal.

Beberapa contoh nasib naas ini menimpa penerjemah 'Satanic Verses' dalam bahasa Jepang, Hitoshi Irarashi. Pada suatu hari tubuhnya ditemukan jadi mayat akibat tikaman pisau. Hal yang sama juga terjadi penerjemah Satanic Verses ke dalam bahasa Italia, Ettore Capriolo. Dia terluka parah karena diserang orang tak dikenal di apartemennya. Tubuhnya menerima banyak tusukan hingga berdarah-darah. Beruntung Ettore mash bisa diselamatkan.

Di Norwegia, penerbit novel Salman Rushdie, William Nygaard, pada tahun 1993 juga mendapat bencana. Beruntung dia lolos dari maut meski diberondong tembakan. Meski begitu tiga peluru sempat mampir ke tubuhnya. Dan ini berbeda dengan nasib penerjemah Satanic Verses dalam bahasa Turki, Aziz Nesin. Kala itu dia bisa lepas dari ancaman pembunuhan yang membakar hotel yang ditinggalinya. Dia berhasil selamat, sementara 37 orang lainnya yang berada dalam hotel tersebut tewas terpanggang api.

Tapi, apakah dendam Iran atas Salam Rushdie benar-benar berakahir? Jawabnya, ternyata tidak! Beberapa tahun silam ketika Salman Rushdie terpilih menjadi pembicara dalam ajang pameran buku internasional di Frankrut, Jerman, pihak Iran segera menyatakan mundur dari ajang tersebut. Pihak kementerian luar negeri Iran mengatakan: tak bisa menerima ketika panitia festival itu 'mengundang seseorang yang dibenci dunia Islam dengan dalih kebebasan berekpresi!

Jadi bila hari ini pemerintah Iran mengeluarkan seruan yang sama kepada Presiden Donal Trump dengan hadiah sampai lebuh dari Rp 1 triliun bagi siapa saja yang bisa membunuhnya, maka ancaman ini serius yang akan berkepanjangan terjadi.

Sekali lagi, ini mengingatkan adanya fatwa dari Imam Khoemeini semasa hidup yang menganggap Amerika sebagai 'Setan Besar!''

Akhirnya apakah ini akan memicu perang besar? Jawabnya, dari dahulu Iran pasca Syah Reza Pahlevi tumbang, Iran memang tak pernah akur dengan Amerika Serikat. Mereka pun pernah berperang, meski secara tidak langsung melalui proxi-nya yang bernama Sadam Hussein saat menjadi Presiden Irak.

Atau jangan-jangan ini hanya gertak sambal belaka sebab perang besok itu jangan-jangan malah akan meletus di kawasan Laut Cina Selatan? Apakah Indonesia siap?

Wallahualam

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement