Jumat 10 Jan 2020 14:16 WIB

Nasib Indonesia di Era Perang Asimetris

Ternyata kolonialisme belum mati.

Pesawat Tempur F16 C Skadron Udara 16 Wing Udara 7 Lanud Roesmin Nurjadin - Pekanbaru beroperasi melintas di atas Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (9/1/2020).
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Pesawat Tempur F16 C Skadron Udara 16 Wing Udara 7 Lanud Roesmin Nurjadin - Pekanbaru beroperasi melintas di atas Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (9/1/2020).

Oleh: Batara R. Hutagalung, Pemerhati Sejarah dan Ketua Umum Komite Nasional Pembela Kedaulatan Negara dan Martabat Bangsa (PKNB)

Analisis situasi masa kini. Sejak dimulainya perang dingin antara kubu yang dipimpin oleh Amerika Serikat melawan kubu yang dipimpin oleh Uni Sovyet tahun 1947, selain berada di era perang asimetri (Asymmetric Warfare), Indonesia selalu menjadi “medan perang” untuk berbagai konflik kekerasan, atau perang perwakilan (Proxy War), baik itu yang berlatar belakang ideologi maupun SARA. Serangan terhadap ketahanan nasional Indonesia, yaitu IPOLEKSOSBUD, diperluas dengan serangan terhadap Konstitusi, ketahanan energi dan ketahanan pangan.

Di era perang dingin, pemerintah dari negara-negara barat tidak pernah menuding Indonesia melakukan pelanggaran HAM, termasuk di Timor Timur. Bahkan pada waktu itu, Negara-negara barat memasok Indonesia dengan persenjataan dan bantuan dana serta dukungan lain. Setelah hancurnya imperium komunis Uni Sovyet, beberapa Negara, terutama Belanda, Australia, Inggris dan Amerika Serikat (ABDACOM) sangat gencar melakukan pembentukan opini negatif terhadap Indonesia.

Indonesia kemudian dipersepsikan sebagai NEGARA PELANGGAR HAM. Beberapa Negara barat kemudian melakukan embargo senjata. Selain yang sehubungan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan (dahulu) Timor Timur, juga yang selalu di-blow-up oleh Negara-negara tersebut adalah peristiwa tahun 1965.

Sangat ironis, Negara-negara yang RATUSAN TAHUN melakukan berbagai pelanggaran HAM berat, seperti penjajahan, perbudakan, kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan, kini bertindak seolah-olah mereka adalah pembela dan pengawas HAM di seluruh dunia.

Bung Karno telah memprediksi apa yang akan dihadapi baik oleh bangsa Indonesia maupun negara-negara berkembang lainnya, dalam pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955 Bung Karno mengatakan:

“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.”

Yang telah diprediksi oleh Bung Karno tahun 1955 (!), apabila mencermati perkembangan perpolitikan dunia internasional 50 tahun belakangan ini, di Indonesia terlihat dengan sangat nyata.

Pengaburan penulisan sejarah nasional juga merupakan bagian dari perang asimetri ini. Hal ini diformulasikan dengan tepat sebagai berikut:

Adapun langkah pengaburan sejarah suatu bangsa lazimnya melalui beberapa tahapan. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menemui, mengenang, atau menyaksikan bukti-bukti atas kejayaan nenek moyangnya, sehingga otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.

Kedua, memutus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa nenek moyangnya dulu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Inilah pola berulang dalam kolonialisasi.”

Memasuki tahun 2015, pelaksanaan hukuman mati terhadap sejumlah gembong narkoba dilaksanakan, antara lain ada warganegara belanda dan australia. Kedua Negara tersebut bereaksi sangat keras terhadap pelaksanaan eksekusi, dan mengecam Indonesia, Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM.

Apabila mengetahui sejarah penjajahan Belanda di Nusantara, terutama di masa agresi militer Belanda di Indonesia tahun 1945 – 1950, tentu dapat segera melihat, bahwa ini juga cara belanda untuk memutar-balik fakta mengenai pelanggaran HAM.

Selama masa penjajahan Belanda sampai tanggal 9 Maret 1942, dan di masa agresi militer Belanda di Indonesia, Belanda telan membantai JUTAAN PENDUDUK SIPIL (NON-COMBATAN) TANPA PROSES HUKUM APAPUN.

Di masa penjajahan belanda, pemerintah kolonial memonopoli perdagangan opium, menggunakan opium sebagai senjata untuk menghancurkan mental pribumi dengan resmi diizinkan didirikan rumah-rumah madat.

         

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement