REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Teuku Zulkhairi, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Melalui tulisan ringan ini saya hanya ingin sedikit membahas bahwa keislaman yang dipahami dan diajarkan para ulama dayah di Aceh saat ini adalah sejalan dengan paradigma keislaman ulama di masa lalu. Selain itu juga sejalan paradigma Keislaman umat Islam di negeri jiran saat ini, baik Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand Selatan.
Setidaknya tiga negara itu saja saya sebutkan karena kebetulan saya pernah berdiskusi panjang dengan sejumlah akademisi atau ulama dari negara-negara tersebut. Namun saya yakin, alam Melayu sama semuanya paradigma keislaman mereka.
Beberapa hari lalu, Ketua HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab yang akrab disapa Ayah Sop Jeunieb mengunjungi Brunei Darussalam dan berfoto bersama dengan menteri agama kerajaan tersebut. Menurut informasi yang saya baca, banyak kerja sama yang dilakukan karena banyaknya kesamaan antara ulama Aceh, dalam hal ini Ayah Sop dengan ulama-ulama Brunei.
Di masa lalu, banyak ulama dayah yang terlibat perang melawan penjajah Belanda. Dayah-dayah banyak yang dibakar Belanda. Bukan itu saja, kitab-kitab ulama Aceh zaman dulu juga banyak yang dicuri Belanda dibawa pulang ke negeri mereka agar generasi muda Aceh terputus dengan sejarah masa lalunya. Agar generasi muda Aceh tidak paham bagaimana Islam yang berkembang di Aceh di bawah perjuangan para ulama.
Intinya, paradigma keislaman yang lurus para ulama dayah adalah tantangan besar bagi Belanda dalam upayanya melakukan sekulerisasi, sebagai bagian dari agenda imperialisme. Karena itu, ulama (dan) dayah adalah musuh mereka. Sebab, para ulama tidak pernah mau tunduk kepada penjajahan kafirun. Jadi, Belanda memusuhi ulama (dan juga) dayah adalah karena penolakan mereka terhadap setiap misi kaum imperialis.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kongkritnya paradigma keislaman ulama-ulama Aceh dahulu sehingga kita dapat melihat kondisi saat? Jawabannya adalah dapat dilihat dalam literatur kitab-kitan turast yang mereka pelajari, mereka tulis dan ajarkan kepada masyarakat.
Ya, kita dapat melihatnya pada kitab-kitab turast yang mereka tinggalkan, yakni dalam kitab-kitab Arab-Melayu atau di Aceh disebut sebagai kitab Jawoe. Kenapa kitab Arab-Melayu? Karena kitab-kitab ini telah melewati serangkaian seleksi ketat yang mereka lakukan.
Pertama yaitu seleksi dalam proses penerjemahan. Kitab-kitab Arab-Melayu atau jawoe yang diterjemahkan dari kitab berbahasa Arab oleh para ulama menunjukkan bahwa seperti itulah paradigma Islam yang diajarkan oleh para ulama Aceh dahulu sejak awal Islam masuk ke Aceh.
Jadi, kitab-kitab Arab-Melayu adalah cerminan bagaimana keIslaman masyarakat Aceh tempo dulu, baik di Banda Aceh sebagai ibu kota provinsi maupun wilayah lainnya di Aceh. Kedua, kitab-kitab Arab-Melayu yang ditulis para ulama Aceh dahulu yang kemudian berkembang pesat dan menjdi referensi dunia Melayu dengan sangat jelas menunjukkan bagaimana keIslaman masyarakat Aceh yang dipahami dan berkembang saat itu.
Dari kitab-kitab Arab-Melayu itulah kita dapat memahami aqidah masyarakat Aceh di masa jayanya, praktek ibadah atau sayaariah maupun tasawuf yang diizinkan berkembang. Baik yang dikarang oleh ulama-ulama Aceh seperti Syekh Nuruddin Ar-Raniry, Syekh Abdurrauf As-Singkili maupun yang dikarang oleh ulama-ulama dari dunia Melayu lainnya seperti Syekh Abdul Samad Al Falimbani.
Maka dari situlah kita dapat memahami keIslaman para endatu kita masa lalu. Maka itu kadangkala saya sangat bingung mengapa misalnya kitab-kitab Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Sayaaikh Abdurrauf As-Singkili (Syekh Kuala) tidak begitu mendapatkan perhatikan orang Aceh untuk dikaji.
Malahan apresiasi atas kitab-kitab karangan kedua ulama besar tersebut justru datang dari ulama-ulama dan intelektual dari negeri Jiran. Merekalah yang mengkaji secara sangat serius karena mereka memahami akar Islam Melayu sangat dipengaruhi oleh ulama-ulama Aceh.
Jadi, timbul pertanyaan, apakah paradigma Keislaman ulama dayah di Aceh saat ini sama dengan ulama-ulama Aceh di masa dahulu seperti kedua nama ulama besar yang saya sebutkan di atas yang nama keduanya diabadikan menjadi nama kedua kampus jantong hate rakyat Aceh?
Jawabannya ya sama sekali tidak beda. Baik bidang aqidah, ibadah/sayaariah maupun akhlak tasauf. Selanjutnya kembali ke masing-masing pembaca untuk mengkaji literatur-literatur terkait.
Oleh sebab itu, saya menyimpulkan sebagaimana di masa dahulu para ulama di Aceh senantiasa menjaga Aceh dari segala sesuatu makar yang datang dari luar, maka peran itu masih terus dan akan terus dilakukan sampai kapanpun. Maka jangan heran jika para ulama dayah menolak segala sesuatu yang jika melawan dengan apa yang dahulu sudah berlaku di Aceh dan mengantarkan Aceh pada era kegemilangannya. Karena itu, bukankah tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa "ulama dayah adalah pengawal agama masyarakat Aceh".