REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Ronald Yusuf, Kepala Bidang Program Analisis Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Akhir-akhir ini terdapat beberapa pandangan mengenai integrasi jaminan sosial bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri (Pekerja Publik) yang saat ini diselenggarakan oleh PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan. Semua pandangan tersebut umumnya mengacu kepada Pasal 65 Undang Undang nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) yang menyatakan PT Asabri dan PT Taspen menyelesaikan pengalihan program yang diselenggarakan mereka ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.
Pandangan-pandangan tersebut menyebutkan adanya kekhawatiran baik dari Pekerja Publik maupun yang bukan. Pekerja Publik khawatir manfaat yang mereka terima akan berkurang. Sementara bukan Pekerja Publik khawatir bahwa pengalihan program tersebut akan menguras dana mereka yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan untuk menanggung sebagian manfaat pekerja publik, terlebih dengan sedang berkembangnya isu terkait PT Asabri. Klarifikasi dan beberapa pandangan terkait hal tersebut sepertinya diperlukan.
Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Indonesia (UU SJSN) memberikan pernyataan jelas tentang sistem jaminan sosial yang dipilih negara, setidaknya sampai saat ini. Fitur utama sistem tersebut adalah menganut prinsip Asuransi Sosial, kepesertaan bersifat wajib, dan memberikan perlindungan dasar baik kebutuhan kesehatan maupun ketenagakerjaan.
Untuk program Kesehatan, SJSN berlaku bagi seluruh masyarakat sementara program Ketenagakerjaan berlaku bagi seluruh pekerja, tidak membedakan apakah dia Pekerja Publik atau bukan. Dalam tulisan ini, saya akan sebut fitur dan ketentuan ini sebagai Ketentuan 1.
Pasal 57 UU BPJS menyatakan bahwa PT Asabri dan PT Taspen tetap melaksanakan kegiatan operasional seperti biasa sampai dengan pengalihan ke BPJS Ketenagakerjaan. Pada Pasal 65 dan Pasal 66 disebutkan program-program yang akan dialihkan dimaksud secara umum adalah program tabungan hari tua dan jaminan pensiun.
Penjelasan pasal 66 menegaskan bahwa program yang dialihkan adalah bagian program yang sesuai dengan UU SJSN. Atas penjelasan ini, beberapa pihak mengartikan apabila program yang diselenggarakan pada PT Asabri dan PT Taspen tidak sesuai dengan UU SJSN maka tidak perlu ada pengalihan ke BPJS Ketenagakerjaan.
Mereka berpandangan bahwa program tabungan hari tua dan pensiun yang diselenggarakan PT Asabri dan PT Taspen, baik dari sisi besaran iuran dan manfaat, berbeda dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) di BPJS Ketenagakerjaan. Atas pandangan tidak perlu ada pengalihan ini, saya hanya ingin mengingatkan tentang Ketentuan 1 di atas yakni SJSN berlaku bagi seluruh pekerja.
Sebagian pihak, di sisi lain, berdalih menggunakan ketentuan pada UU nomor 5 tahun 2014 tentang ASN (UU ASN). Pasal 91 UU ini menyatakan bahwa jaminan pensiun dan jaminan hari tua bagi ASN mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional (SJSN). Istilah ‘mencakup’ disini ada yang mengartikan sebagai diperkenankannya Pemerintah menyelenggarakan jaminan pensiun dan jaminan hari tua bagi ASN secara terpisah dengan BPJS Ketenagakerjaan selama manfaat yang didapatkan ASN lebih baik dari yang diberikan SJSN.
Dalih ini cenderung didengungkan oleh pihak-pihak yang khawatir atas dampak dari pengalihan ke BPJS Ketenagakerjaan. Baik yang khawatir manfaat yang diterima ASN setelah bergabung dengan BPJS Ketenagakerjaan akan lebih rendah dibanding saat ini maupun yang khawatir dengan akan dibubarkannya PT Taspen dan PT Asabri. Terhadap dalih ini, kembali saya mengingatkan mengenai Ketentuan 1 di atas.
Pertanyaannya sekarang, apakah UU ASN bertentangan dengan UU BPJS atau dengan UU SJSN? Sama sekali tidak. Sebagian tokoh penyusun UU BPJS merupakan kontributor UU ASN dan mereka merumuskan sedemikan harmonisnya kedua UU tersebut, termasuk juga dengan UU SJSN. Istilah ‘mencakup’ dalam Pasal 91 UU ASN saat itu disusun dengan pemahaman bahwa ASN juga wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU SJSN. Karena itu, perlindungan dasar yang didapatkan ASN paling sedikit adalah perlindungan wajib yang ada pada SJSN.
Pemerintah diperkenankan memberikan manfaat tambahan kepada ASN yang dapat dikelola sendiri oleh Pemerintah maupun meminta institusi lain untuk mengelola. Hal ini juga berlaku bagi pekerja swasta dan pemberi kerjanya.
Pertanyaan berikutnya, apakah PT Taspen dan PT Asabri akan dibubarkan? Jawabannya sangat tergantung oleh keputusan Pemerintah. Di banyak negara, merupakan hal yang lazim bagi Pemerintah memberikan perlindungan ketenagakerjaan tambahan (selain SJSN) kepada Pekerja Publik.
Untuk mengelola tambahan perlindungan ini, Pemerintah memiliki banyak pilihan. Dapat dikelola oleh Pemerintah sendiri, PT Taspen dan PT Asabri, gabungan keduanya, atau bahkan institusi baru. Apabila skema program pensiun ASN yang baru nanti adalah iuran pasti, Pemerintah sepertinya memerlukan pihak lain untuk mengelolanya. Skema iuran pasti menuntut pengelolaan akun ASN secara individual, tata kelola yang baik, dan membutuhkan keahlian pengelolaan investasi yang baik juga.
Apakah dengan integrasi ke BPJS Ketenagakerjaan manfaat yang diterima ASN akan turun? Apakah dengan integrasi nanti akan mengurangi uang peserta BPJS Ketenagakerjaan saat ini karena akan digunakan juga untuk membayari manfaat pensiun Pekerja Publik? Termasuk dengan isu yang beredar saat ini dimana ada kemungkinan beban PT Asabri dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan melalui integrasi nanti?
Dengan prinsip yang ada pada UU SJSN dan UU ASN, jawaban atas semua pertanyaan itu adalah tidak. Amanat pengalihan program pada dasarnya ditujukan untuk pengintegrasian ke program JHT dan JP SJSN. Program JHT pada SJSN secara umum memiliki skema iuran pasti, dimana akumulasi iuran dan hasil pengembangannya dicatat dalam akun tiap peserta. Karena itu, pengalihan dari PT Taspen dan PT Asabri ke program ini tidak akan mengurangi Rp1 pun dari tiap akun peserta JHT saat ini.
Sementara pada program JP dengan skema manfaat pasti, tambahan peserta dari Pekerja Publik ke program ini juga tidak akan mengurangi manfaat yang akan diterima oleh peserta program JP saat ini. Berapapun dana program JP, manfaat yang akan diterima oleh peserta saat ini adalah sama.
Dalam kasus terburuk, memang ada kemungkinan bertambahnya peserta Pekerja Publik ke program JP dapat mengurangi ketahanan dana program ini yang berpotensi membuat Pemerintah melakukan beberapa perubahan disain program guna mempertahankan atau meningkatkan ketahanan dana program JP. Namun disisi lain, tambahan peserta ASN ke program JP juga memiliki potensi menambah ketahanan dana dalam hal profil risiko tambahan peserta ASN lebih rendah dibanding peserta SJSN saat ini.
Salah satu tugas rumah yang cukup pelik adalah kesulitan pengalihan program pensiun Pekerja Publik saat ini ke program JP SJSN. Hal ini sudah diperkirakan sejak awal dan merupakan alasan utama mengapa dalam UU BPJS pengalihan program ini diatur paling lambat tahun 2029. Skema manfaat program pensiun pada Pekerja Publik saat ini adalah manfaat pasti dengan skema pendanaan lebih mendekati pay as you go (PAYG) (Saya cukup sering menemukan pihak-pihak yang memiliki pemahaman keliru yang mengartikan manfaat pasti itu adalah PAYG). Formula manfaat pada program pensiun Pekerja Publik saat ini berbeda dengan formula manfaat program JP pada SJSN.
Variabel-variabel dalam formula manfaat (seperti tingkat akrual, maksimal masa kerja yang diperhitungkan, penghasilan dasar pensiun) program pensiun Pekerja Publik sangat berbeda dengan program JP SJSN. Secara pendekatan aktuaria, semua itu bisa saja dikonversikan. Tapi itu tidak sederhana dan akan sangat sulit menjelaskan kepada peserta.
Saat ini Pemerintah masih dalam proses menyusun disain program pensiun ASN yang baru. Apapun disainnya nanti (baik manfaat pasti atau iuran pasti), sesungguhnya integrasi dengan SJSN tetap dimungkinkan dengan tidak mengorbankan Pekerja Publik dan/atau peserta SJSN saat ini. Anggap saja desain program pensiun ASN yang baru nanti akan menggunakan skema iuran pasti baik bagi ASN saat ini maupun ASN baru.
Asumsikan iuran untuk program JHT sebesar lima persen dan untuk program JP sebesar 15 persen atas penghasilan (bukan lagi gaji pokok) dan ditanggung bersama oleh Pemerintah, selaku pemberi kerja, dan ASN (masing-masing 10 persen). Dengan asumsi penghasilan bulanan sebesar Rp 15 juta, maka total iuran tiap bulan untuk program JHT dan JP ASN ini adalah sebesar Rp 3 juta. Untuk dapat diintegrasikan dengan program JHT dan JP di BPJS Ketenagakerjaan, ASN dan Pemerintah cukup membayar total iuran yang seharusnya untuk program JHT dan JP SJSN. Sisanya dikelola oleh institusi yang ditunjuk sebagai manfaat tambahan.
Asumsikan iuran program JHT SJSN sebesar 5,7 persen dari penghasilan dan iuran program JP SJSN sebesar tiga persen dari penghasilan dengan batas untuk pengenaan iuran sebesar Rp 8 juta. Maka total iuran ASN ini untuk program JHT dan JP adalah sebesar Rp 1,095 juta. Dengan total iuran untuk JHT dan JP sebesar Rp 3 juta, sebesar Rp 1,095 juta disetor ke BPJS Ketenagakerjaan dan sebesar Rp 1,905 juta dikirim ke rekening JHT dan JP tambahan bagi ASN yang (diasumsikan) dikelola oleh pihak lain.
Dalam hal Pensiun ASN yang baru nanti menggunakan skema iuran pasti, menyertakan ASN ke program JP SJSN merupakan cara terbaik saat ini dalam memberikan perlindungan dasar bagi ASN. Salah satu konsekuensi dalam skema iuran pasti murni adalah risiko investasi dan risiko longevity ditanggung oleh peserta. Apabila nantinya ada kebijakan Pemerintah dan atau pihak pengelola yang kurang tepat sehingga mengakibatkan buruknya pengembangan dana, penanggung risiko tersebut adalah ASN, bukan Pemerintah ataupun pengelola. Kondisi pasar yang buruk dampaknya juga akan ditanggung peserta.
Krisis keuangan global pada tahun 2007-2008 berdampak besar terhadap pengurangan saldo peserta pada skema iuran pasti. Situasi yang sama juga terjadi dengan risiko longevity. Untuk memberikan manfaat yang layak, suatu skema iuran pasti membutuhkan masa akumulasi yang relatif lama. Setidaknya diperlukan 20-25 tahun. Anda bisa bayangkan betapa kecilnya manfaat yang didapat oleh anak dan istri/suami dari seorang ASN yang meninggal dunia dan baru mengiur selama dua tahun.
Saya tidak mengatakan skema manfaat pasti itu pasti lebih baik dari iuran pasti. Kita perlu melihat keseluruhan sistem terkait untuk memilih skema yang cocok. Negara kita belum seperti Australia yang memberikan manfaat pensiun universal bagi para orang tua (Pilar 1). Dalam situasi seperti ini, kegagalan pengelolaan investasi pada superannuation mereka yang merupakan iuran pasti (Pilar 2) setidaknya sudah memiliki perlindungan dasar dari pilar 1 tadi.
Ditengah belum adanya pilar 1 di Indonesia, menyertakan ASN sebagai peserta JP SJSN akan memberikan perlindungan dasar, terlebih apabila skema pensiun ASN nantinya adalah iuran pasti. Integrasi Jamsos ASN, TNI, dan Polri ke SJSN dapat menjadi solusi beberapa permasalahan. Hal itu dapat dilakukan secara harmonis tanpa ada pihak yang dirugikan. (Tulisan ini merupakan pandangan pribadi)